Sekolah itu Candu

Sekolah itu Candu*

Sekolah Itu Candu, itulah buku yang pertama kali saya baca ketika saya pertama kali menjadi mahasiswa di FISIPOL UGM tahun 1999 silam. Buku karya Roem Topatimasang (1998) yang begitu memprovokasi dan merenungkan kembali mengapa kita harus menghabiskan waktu bertahun-tahun di sekolah, bahkan kalau saya hitung sejak TK hingga sekarang, saya telah menghabiskan setidaknya 19.5 tahun di sekolah.

Tentunya konteks sekolah yang kita diskusikan di sini dimaknai sebagai pendidikan formal. Gugatan Roem tentunya adalah sekolah (baca sekolah formal) bukan satu-satunya lembaga yang berkontribusi untuk mencerdaskan bangsa. Bila itu kita renungkan, mungkin kita akan menjawab bahwa memang sekolah bukan satu-satunya tempat untuk belajar.

Arena dan media tempat untuk belajar itu adalah kehidupan, that’s the truly school! Semua orang secara informal bisa menjadi guru, ketika kita mau melapangkan diri untuk senantiasa belajar dari dan kepada siapa pun.

Bagi saya, belajar itu candu! Saya membenarkan kepada diri saya untuk senantiasa belajar. Hidup adalah perjalanan dan proses belajar baik itu sekolah formal, informal dan nonformal! Apa pun adalah sekolah, dan sekolah itu benar-benar candu! Hal yang membedakan dari semua sekolah adalah otorisasi.

Sekolah formal pemegang otorisasi untuk menerbitkan ijazah yang konon diakui keabsahannya sebagai tanda yang menerangkan bahwa kita telah menempuh sekian banyak ilmu pengetahuan.

Keampuhan sekolah dan pendidikan, yang akhirnya diakui oleh Nelson Mandela dan menjadi pepatah yang begitu populer bahwa pendidikan (sekolah) adalah senjata yang ampuh untuk mengubah dunia. Sampai-sampai tujuan dari SDG (Sustainable Development Goals) terutama nomor 4, khususnya tentang target untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas bagi semua harus dapat tercapai hingga 2030 mendatang.

Memahami tentang pendidikan dan sekolah, tentunya kita tidak sedemikian naif, bahwa pendidikan dan sekolah adalah arena yang steril yang memiliki tujuan untuk mewujudkan generasi mendatang yang berakhlak mulia, terampil dan tangguh. Begitu indah memang! Begitu hebatnya tujuan ideal dunia pendidikan kita.Karena memang tujuan itu harus hebat dan keren. Kalau tidak keren, artinya melempem tanpa visi.

Bagi saya, sekolah adalah arena kontestasi. Sekolah adalah ruang publik di mana banyak pihak memiliki kepentingan. Negara memiliki kepentingan atas pendidikan, baik itu politis, sosial, kultural maupun pertahanan keamanan. Kelompok maupun organisasi keagamaan juga memiliki kepentingan disana, agen kaderisasi dan regenerasi, internalisasi nilai-nilai organisasi.

Kelompok pebisnis juga berkepentingan yang tak kalah hebatnya, berbagai macam perangkat pendidikan dibuat, diciptakan sehingga menjadi kebutuhan primer. Kurikulum dan standarisasi dibisniskan. Konon aktivis juga bermain di sini, membuat model pendidikan yang katanya alternatif. Menjadi alternatif karena berbeda yang mainstream punya dari pemerintah.

Every one want to change the people! According to who? Common good? ketika demi kebaikan umum itu sedemikan abstrak dan berkonteks.

Baiklah, sekolah itu memang (candu) kalau begitu harapan saya kita dan anak-anak kita aware akan dibawa ke mana kita, dan tentunya sikap kritis senantiasa harus dipupuk agar kita menjadi “agen” yang cerdas. Stay aware, keep on learning!

*Sari Oktafiana, Mahasiswa semester 3 dan masih menulis Tesis di The Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS) Sekolah Pasca Sarjana UGM. | Sumber: www.qureta.com – 25 November 2016.

*Rehal buku: Sekolah Itu CanduRoem Topatimasang/ INSISTPress, 2013.