Hak Hidup dan Janji Palsu Korporasi*
“Ketika pemberadaban, diikuti oleh modernisasi, dibayangkan sebagai cara satu-satunya menuju pencerahan, maka dua kata kunci selalu dijadikan jalan untuk keluar dari kegelapan, yakni pembangunan dan kemajuan. Tetapi ke mana arah kemajuan? Maju merayakan kehidupan atau mundur membentur matinya kemanusiaan?”
Kasus-kasus agraria terbentang melimpah sepanjang tahun pasca kelahiran era Reformasi. Kebebasan atas pelbagai akses informasi dan pendapat, mempertontonkan benturan kepentingan pemilik modal (baca: korporasi) melawan rakyat yang selama Orde Baru dibungkam dengan tangan besi. Kita bisa menyaksikan banyaknya kasus konflik agraria sepanjang tahun kemarin, dan awal tahun ini, kasus Kendeng menjadi perhatian utama. Kita masih berharap-harap cemas, apakah Kendeng akan menjadi milik rakyat atau justru jatuh juga ke tangan pemodal. Namun, andai Kendeng jatuh ke pemilik modal, besar kemungkinan cerita kelam kehidupan masyarakat asli yang telah tumbuh dan membentuk identitas diri bersama tanah yang ditempatinya, akan terulang sebagaimana yang dikupas secara mendalam oleh Laksmi A. Savitri dalam buku Korporasi dan Politik Perampasan Tanah.
Ribuan kilometer dari Kendeng, Merauke menjadi saksi yang mempertontonkan bagaimana korporasi yang mengusung visi pembangunan dan kemajuan untuk masyarakat kecil tak pernah sejengkal pun memenuhi janji manis tersebut. Pada 2010, Pemerintah Indonesia mencanangkan program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Merauke, Papua. Berbeda dari masterplan ala Belanda bernama Tanam Paksa atau Revolusi Hijau untuk mengerek Indonesia sebagai negara swasembada beras, megaproyek MIFEE lebih progresif, yakni menjadikan Indonesia sebagai bakul pangan berskala internasional.
Saat itu, tepatnya 2007, dunia sedang mengalami krisis pangan dan energi karena Bahan Bakar Minyak (BBM) dunia tengah naik. Naiknya BBM itu memicu kenaikan harga-harga pangan dunia. Pangan mahal mendatangkan kepanikan, terutama bagi negara-negara yang tak memiliki cukup tanah untuk memproduksi pangannya sendiri. Kondisi itu dipandang sebagai peluang besar yang mesti dimanfaatkan. Food estate, yakni pengkonsentrasian areal produksi bahan pangan di satu lokasi dalam luasan tanah yang besar, harus didirikan. Pertanian skala kecil yang digerakan oleh keluarga diubah menjadi bisnis skala gigan dengan modal milyaran yang berorientasi pada keuntungan besar. Kerja petani diubah menjadi kerja korporasi, sehingga proses produksi bisa lebih masal dan seragam karena ditunjang oleh mesin pertanian yang canggih, dan bukannya oleh tenaga kurang terdidik. (hal. 4)
Sayangnya, rencana muluk-muluk itu tak sedikit pun berbuah hasil, baik untuk keuntungan negara maupun masyarakat sekitar. Justru yang hadir adalah ketercerabutan masyarakat dari akar kehidupan alaminya sehingga menghadirkan kemiskinan akut, dan lebih jauh lagi, pelbagai patologi sosial. Orang Marind, warga Merauke yang berdiam di tanah itu sejak alam diciptakan, menjadi korban utama dari kerja korporasi yang berorientasi keuntungan semata. Janji-janji korporasi saat melakukan sosialisasi dan negosiasi, nyatanya tak terpenuhi.
Kelakuan korporasi yang ditunjang oleh kehadiran negara, menggunakan cara-cara yang terkesan licik untuk mendapatkan hak atas eksploitasi tanah dari orang-orang Marind. Misalnya, saat perusahaan Medco Papua Industri Lestari datang dengan wajah “ramah” dan menawarkan sejumlah perbaikan dan fasilitas, seperti pembangunan gereja, balai desa, pengaspalan jalan, menyekolahkan anak-anak Marind hingga perguruan tinggi, dan menjamin kebutuhan hidup orang-orang Marind. Dari kamuflase di awal tersebut, Medco berhasil mengakuisisi 300.000 hektare hutan asli dengan kompensasi uang 300 juta untuk masa pakai selama 60 tahun. Grup Rajawali mengakuisisi tanah di kampung Domande seluas 40.000 hektar dengan besaran uang “ketuk pintu” senilai 3 miliar rupiah untuk masa pakai 35 tahun. (hal. 62) Itu baru dua korporasi dari 46 korporasi yang mendapat izin usaha dari 2008-2010.
Keterbelakangan dan bujuk rayu yang manis membuat orang-orang Marind tergiur dan pada akhirnya melepas tanah ulayat yang telah lama menjadi bagian semesta kehidupannya dengan harga murah. Tak bisa tidak, kerusakan ekologis, sosial, budaya, dan ekonomi, adalah tanggungan yang harus dipikul orang Marind sendiri. Sementara korporasi yang diundang pemerintah menikmati keuntungan luar biasa banyak.
Relasi Marind dan Alam
Hal yang sering dilewatkan, kalau tidak bisa dikatakan tidak dipedulikan, oleh para korporasi adalah relasi semesta alam dengan manusia yang telah mendiami tempat tersebut. Relasi alam dan manusia membentuk pola yang sinkron, bahkan membentuk identitas dan konsep-konsep spiritualistik yang terangkum dalam budaya, sosial, dan adat masyarakat. Bagi orang Marind, tanah memiliki hubungan material dan hubungan spiritual. Jauh melampaui hitung-hitungan angka yang seringkali dihadirkan demi menunjang logika kemajuan dan pembangunan.
Hak, kewajiban, dan tanggung jawab yang lahir dari hubungan material antara manusia Marind dan alam adalah sistem pemanfaatan dan perlindungan yang menjamin terpenuhinya segala kebutuhan hidup sehari-hari. Versschueren (1970) menjelaskan fungsi tanah bagi masyarakat adat Marind sebagai dasar dari segala sistem kehidupan yang berlaku bagi mereka. Tanah, yang diasosiasikan sebagai tempat asal, merupakan salah satu elemen identitas yang menjadi penanda hak atas tanah dan melekat pada nama orang. Di antara susunan nama orang Marind sebelum nama marga, dilekatkan nama tempat dari mana moyang mereka pertama kali menetap dan membuka kampung.
Jika hubungan material orang Marind dengan tanah mengatur sistem terkait pemanfaatan sumber daya alam demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, manusia Marind juga memiliki hubungan dalam konteks spiritual atas alam. Hubungan itu memuat nilai-nilai yang terkandung dalam simbolisme benda-benda atau kehidupan alam yang melingkupi kehidupan mereka sehari-hari, yaitu totem. Totemmerupakan penjelmaan dari dema, yakni sesuatu yang dipercaya menjadi asal mula dari kehidupan Marind. (hal. 19). Bagi mereka, setiap benda, binatang, dan peristiwa alam merupakan perwujudan daridema–dema yang mereka percayai. Di dalamnya terkandung kedirian Marind yang telah terbagi menjadi marga-marga inti (Gebze, Kaize, Mahuze, Basik-basik). Setiap marga terkait langsung secara eksistensial dengan totem masing-masing yang berbeda, tapi justru saling melengkapi dan menjaga. (hal. 21)
Hubungan yang terjalin antara manusia Marind dan totem–totem telah melahirkan suatu mekanisme timbali balik dengan alam yang setara. Pemaknaan atas pelbagai dema tersebut adalah sebentuk pertanggungjawaban eksistensial orang Marind terhadap identitas diri mereka sebagai Anim-Ha (Manusia Sejati). Jadi, tatkala hutan ditebangi, orang Marind tak hanya berpikir tentang keberadaannya, tetapi juga keberadaan dema–dema, seperti “Akan hidup dimanakah burung kasuari, buaya, pohon-pohon jika hutan ditebangi? Kalau tanah dikeruk, akan tinggal dimanakah batu-batu?” Kalau relasi orang Marind dengan alam tersebut dipandang sebagai praktik pelestarian lingkungan, itu hanya sebatas konsekuensi logis yang muncul dari sistem kehidupan spiritual yang lebih dalam.
Bertanah, Berkehidupan
Yang menarik dari buku ini adalah upaya perbandingan kehidupan orang-orang Marind sebelum dan setelah mereka melepaskan tanah. Setelah segala janji manis di awal tak terpenuhi, orang-orang Marind yang secara pendidikan dan keterampilan tidak memenuhi kualifikasi untuk menjadi pemain aktif di deru proyek tersebut, berakhir sebatas kuli dan pekerja kasar. Pemuda-pemuda kampung hanya menjadi Buruh Harian Lepas (BHL) yang tak kunjung diangkat, apalagi janji-janji “mengolah” manusia Marind dari “tidak tahu” menjadi “tahu”, tidak pernah terwujud. Mereka tidak pernah naik kelas apalagi mendapatkan posisi bergengsi, menjadi operator atau duduk di kantor berhadapan dengan komputer sebagaimana janji-janji manis di awal. Tidak. Mereka bekerja di bagian cleaning service, menanam dan menyiram bibit akasia, pelapor kejadian-kejadian yang merugikan perusahaan, dan paling jauh menjadi pengidentifikasi jenis-jenis kayu yang akan ditebang.
Bagaimana dengan upahnya? Rp 50.000 sehari! Dengan persediaan kebutuhan keluarga yang tak lagi bisa diambil dari alam secara gratis, tetapi mesti dibeli di toko-toko. Beras, mie, ikan kaleng, rokok adalah kebutuhan yang harus dibeli karena tak lagi bisa memangkur sagu di ladang atau berburu hewan atau memetik sayuran. Berselang sang bapak yang menjadi buruh perusahaan, “tubuh mama menjadi kurus seperti pinsil karena hanya makan satu kali satu hari.” Ibu Bidan yang rutin menjadi tenaga medis sejak sebelum perusahaan datang terkaget-kaget melihat kondisi bayi yang menderita Infeksi saluran Pernapasan Akut (ISPA) karena sang ibu—demi mengalah pada sang anak dan bapa—memilih menguyah pinang dan tembakau untuk mengganjal perut. Ibu Bidan mendapati lima anak balita meninggal karena gizi buruk. Tak sampai di situ, konsekuensi logis dari keterpencilan daerah kerja adalah dibukanya praktek jual jasa penikmatan seksual. Untuk kedua kalinya, Ibu Bidan terkejut karena ada tiga mama yang terindikasi Human Immunodeficiency Virus Infection/ Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/ AIDS). (hal. 75) Sesuatu yang tak pernah ia jumpai sebelum-sebelumnya.
Kerusakan ekologis, sosial, ekonomi, bahkan spiritual hadir setelah orang-orang Marind kehilangan tanah, yang sialnya, datang atas ide dari negara. Sekali lagi, dalam hal ini, negara memandang kehidupan rakyatnya dengan state optic—meminjam istilah Goenawan Mohammad dalam esainya berjudul Sabangau. Cara pandang negara yang jauh dari atas, dan bukannya mendalam dari dekat berpotensi melihat segala di bawahnya sama rata. Padahal, tiap-tiap wilayah dan kelompok masyarakat di dalamnya memiliki kekhasan masing-masing yang seharusnya diolah berdasarkan potensinya, dan bukan dengan menyepelekannya—kalau tidak bisa dikatakan membunuhnya.
Tapi toh, sekejam apa pun kenyataan itu, orang-orang Marind tetap mewarisi kedirian mereka sebagai Anim-Ha: manusia sejati! Dan sebagaimana manusia sejati, kehidupan harus terus diperjuangkan hingga ajal tiba, dengan setegar-tegarnya, sekuat-kuatnya. Laksmi mencoba memperlihatkan ke pembaca, bahwa harapan hidup dan mempertahankan tanah serta masa depan orang-orang Marind masih ada. Polikarpus Balagaize, bertahan untuk tidak menjual tanahnya sekalipun hutan di sekitarnya telah hilang. Ia mencoba menghidupi diri dan tanahnya, menanam pelbagai macam tanaman yang berhasil menjaga kebutuhan hidupnya. Pun juga dengan Bonaficius Gebze yang menyulap hamparan tanah gundul menjadi firdaus tanaman hijau.
Meninggalkan kampung Zanegi, dan memasuki kampung Wayau, ada nenek Rufina. Nenek bertubuh mungil ini dengan penuh semangat tetap berkebun sampai hari tua. Lebih masuk ke dalam lagi ke perkampungan Selil, kita dapati tanah-tanah ditumbuhi beraneka buah. Orang-orang Wambon yang mendiami tempat itu menjual buah-buahan, juga sebagai konsumsi sehari-hari. Berjalan sedikit, menjauhi pemukiman dan memasuki hutan, ratusan hektar pohon karet dapat menghasilkan berlembar-lembar karet dengan cara pengolahan yang sudah lumayan maju. Mereka tak pernah khawatir tidak punya uang atau kehabisan makanan. Memangkur sagu mereka lakukan berkelompok dan sudah dibantu alat parut untuk membuat sagu menjadi tepung.
Buku lahir dari hasil kerja kolaborasi penelitian oleh empat institusi, yakni Sekretariat untuk Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke (SKP-KAM), Sajogyo Institute, Indonesian Society for Social Transformation (INSIST), dan Komunitas Perfilman Intertekstual (Kopi). Barangkali, isinya memang tendensius membela hak-hak hidup masyarakat Marind. Hal itu pun lahir dari kehendak untuk menumbuhkan pendidikan kritis yang mencoba menegakkan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya suatu masyarakat. Toh, sampai saat ini pun, tawaran dan janji-janji manis atas kehidupan khalayak banyak yang sering diajukan oleh para penganut paham developmentalis dan penghamba kemajuan bernalar pembangunan modern, justru melahirkan banyak patologi sosial, ketimpangan ekonomi, ketercerabutan budaya, pengikisan spiritual, dan akhirnya, matinya kemanusiaan!
*Artikel oleh: Zarah Amala | Sumber: www.bp2munnes.org – Januari 2017.
*Rehal buku: Korporasi & Politik Perampasan Tanah •Penulis: Laksmi A. Savitri •Penerbit: INSISTPress •Edisi: Oktober 2013 •Kolasi: 14 x 21 cm; xiv+110 halaman.