Sekolah “Sudah Mati”?

Sekolah “Sudah Mati”?*

Bertahun lalu saya menemukan kalimat “sekolah sudah mati” di salah satu judul bab buku Roem Topatimasang yang berjudul Sekolah Itu Candu. Kalimat itu mungkin terinspirasi dari kalimat Nietzsche yang mengatakan “tuhan telah mati“. Tentu saja kalimat tersebut tidak bisa diterima secara telanjang. Karena kalimat itu hanya metapora atau kiasan untuk mengindahkan tutur dan kata. Tentu saja dalam tulisan ini saya tidak ingin membahas tentang ungkapan Nietzsche yang atheis itu. Tapi membicarakan tentang persekolahan di negeri ini.

Awalnya istilah sekolah ini lahir di Yunani yaitu scholae yang berarti waktu senggang. Orang Yunani memiliki kebiasaan sepulang bekerja berkumpul dengan para filosof untuk mendengar petuah-petuah tentang yang ada dan mungkin ada, khas objek kajian filsafat. Kemudian kebiasaan ini ditularkan kepada anak-anaknya dengan menitipkan mereka kepada para filosof tersebut untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Istilah scholae diadopsi ke dalam Bahasa Inggris berubah menjadi school yang dalam bahasa Indonesia kita menyebutnya sekolah.

Tak kurang enam belas tahun waktu digunakan orang untuk bersekolah demi mengejar gelar sarjana. Beragam disiplin ilmu diajarkan di lembaga bernama sekolah tersebut. Jika ditanya kepada mereka yang bersekolah tersebut, kenapa mereka sekolah, maka mereka akan menjawab untuk mendapatkan pekerjaan serta menaikkan strata sosialnya. Dengan kata lain sekolah adalah modal mereka untuk bersaing dengan dunia kerja. Ijazah menjadi demikian penting dengan deret nilai di lembar transkrifnya. Hampir semua lembaga atau perusahaan mensyaratkan calon pekerjanya melampirkan foto copi ijazahnya. Sebagai sebuah bukti telah menyelesaikan suatu tingkatan pendidikan tertentu. Walaupun ijazah dengan pekerjaan yang akan dilakukan tidak memiliki hubungan sama sekali. Sekolah dan dunia kerja seolah berjalan tidak bersamaan dengan logika yang berbeda

Seperti halnya sarjana hukum menjadi guru. Saya yakin banyak kita tidak akan mempermasalahkannya. Tapi kalau logika yang sama kita gunakan, sarjana hukum berprofesi perawat bahkan dokter tentu kita akan protes dengan alasan takut akan terjadi mal praktek. Perlu diingat guru dan dosen sama dengan dokter, keduanya adalah pekerjaan profesional yang termaktub dalam undang-undang.

Jika kita kemukakan contoh senada maka akan kita temukan banyak sekali hal seperti di atas. Jurusan agama jadi kasir, sarjana sains jadi operator alat berat, sarjana pertanian jadi kontraktor. Apakah salah ? Tentu tidak salah. Saya hanya berbicara tentang fungsi sekolah, ilmu dan output-nya. Hal ini dapat difahami karena ada sebagian guru yang mengajar di sekolah-sekolah tanah air yang bukan dari jurusan pendidikan atau non pendidikan. Bahkan dijadikan profesi pelarian setelah tidak diterima di pekerjaan lain. Menjadi guru bukanlah pekerjaan mudah, justeru pekerjaan yang melibatkan semua potensi seperti kemampuan konseling, administrator, fasilitator dan penguasaan terhadap ilmu yang diajarkannya. Guru adalah pekerjaan profesional yang dituntut keahlian maksimal.

Selain itu, grafik kemajuan pendidikan dinilai dengan seberapa banyak lulusan yang dihasilkan oleh suatu lembaga pendidikan. Sehingga seolah terjadi perlombaan memproduksi ijazah namun minim karya dan kreativitas. Perguruan tinggi dengan bangganya mengumumkan bahwa jumlah alumni mereka sudah sekian ribu orang.

Disebabkan “sakti”-nya selembar ijazah, orang berlomba-lomba untuk mendapatkannya baik dengan legal maupun ilegal sehingga kemudian marak kita dengar banyak kasus pemalsuan ijazah untuk berbagai kepentingan. Ada yang digunakan untuk mendapatkan pekerjaan bahkan untuk menjadi pejabat publik. Sedangkan pihak penyedia menjadikan hal tersebut sebagai lahan bisnis yang menggiurkan. Tak perlu sekolah tapi dapat ijazah. Sungguh simbiosis mutualisme yang memprihatinkan, bersekongkol dalam keburukan.

Peran swasta dalam membangun pendidikan di negeri ini tidak dapat dinafikan, sebab pemerintah tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut secara keseluruhan. Hal ini memberi peluang kepada warga negara untuk ikut serta dalam menyelenggarakan pendidikan. Tentu tidak bisa gratis karena ada biaya yang digunakan untuk operasional penyelenggaraan pendidikan tersebut. Hal itu berakibat menjadikan pendidikan laksana industri yang mau tidak mau memperhitungkan profit agar tetap eksis dan survive.

Komersialisasi Pendidikan

Dalam perkembangan berikutnya pendidikan juga ternyata bisa menjadi sesuatu yang bersifat materialisme karena komersialisasi seperti dikemukakan oleh Milton Friedman dan Frederik Van Hayek (2008: 115) bahwa “Komersialisasi pendidikan merupakan keadaan pendidikan yang berpegang pada masyarakat industri dan selera pasar (market society)”. Selain itu, juga diungkapkan oleh Habibie (2005 : 257), bahwa “Komersialisasi pendidikan telah mengantarkan pendidikan sebagai instrument untuk melahirkan buruh-buruh bagi sektor industri, bukan sebagai proses pencerdasan dan pendewasaan masyarakat”. Adanya komersialisasi pendidikan telah menggambarkan keadaan pendidikan saat ini bahwa pendidikan lebih mengarah kepada praktik pendidikan layaknya lembaga penghasil mesin yang siap mem-supplay pasar industri dan diukur secara ekonomis (Hartini, 2011 : 16)

Sedangkan menurut pendapat Giroux (2008: 115), “Adanya komersialisasi pendidikan telah mengubah institusi pendidikan yang berbasis efisiensi ekonomis menjadi perusahaan penyedia elite masyarakat dan kuli kerja”. Akibat komersialisasi pendidikan inilah, banyak lembaga pendidikan yang kemudian menganut paradigma pendidikan yang bersifat ekonomis. Banyak lembaga pendidikan yang akhirnya gagal mengimplikasikan bahwa proses pembelajaran menjadi salah satu pilar utama dalam humanisasi hidup manusia (Hartini, 2011 : 16)

Hal ini mengakibatkan melonjaknya biaya pendidikan, karena sekolah akan mengikuti selera pasar dan trend. Mahalnya biaya pendidikan tersebut akan semakin membuat jarak antara si kaya dan si miskin, serta membatasi orang untuk dapat mengakses pendidikan yang berkualitas. Tidak jarang kita temukan biaya sekolah dasar dan menengah melampaui biaya kuliah di perguruan tinggi.

Komersialisasi pendidikan menjalar ke berbagai aspek, pendidikan bukan lagi untuk mencari ilmu pengetahuan dan menempa diri, tapi menjadi ajang berburu gelar-gelar akademis yang akan disandingkan dengan namanya serta memajang foto-foto wisuda dengan ukuran raksasa di ruang tamu. Pendidikan menjadi gengsi yang mendongkrak strata sosial. Pertanyaannya apakah untuk itu pendidikan dihadirkan?

Tujuan Pendidikan 

Menurut Undang-Undang No20 Tahun 2003 Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Pada paparan di atas dapat kita ketahui pendidikan bertujuan untuk memaksimalkan segala potensi yang dimiliki manusia, sehingga dengan pendidikan yang diterima membuatnya bisa menyelesaikan persoalan hidup yang dihadapinya dengan penuh kemandirian dan penuh kreatifitas terutama untuk bertaqwa kepada Allah SWT. Karena memang begitulah tabiat ilmu, menyelesaikan persoalan. Tidak ada ruang komersialisasi pendidikan yang bersifat kapitalistik.

Dalam Islam diperingatkan, jika manusia menuntut ilmu mencari selain keridaan Allah SWT maka mereka tidak akan mencium bau surga. Kegiatan menuntut ilmu dalam Islam adalah bagian ibadah yang diwajibkan kepada semua kaum muslimin. Jika dari kegiatan menuntut ilmu mendapatkan gelar akademis itu hanya bonus, subtansinya adalah perolehan ilmu yang akan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi baik oleh diri yang bersangkutan maupun masyakarat di sekitarnya. Jika tidak seperti itu maka hakikatnya sekolah sudah mati. Wallahua’lam bishshawab.***

*Syahrizul, Kepala SMP An Namiroh, Pekanbaru | Sumber: riaupos.co – 28 Januari 2017.

*Rehal buku: Sekolah Itu Candu/ Roem Topatimasang/ INSISTPress, 2013.