Melacak Akar Pendidikan Berbasis Agama Zaman Hindia Belanda

Membaca karya begawan pendidikan, Mochtar Buchori tentang Evolusi Pendidikan di Indonesia: Dari Kweekschool sampai ke IKIP pada tahun 1852-1998, membawa saya pada sebuah pemahaman dari akar Pendidikan keguruan yang berbasis Agama.

Buku ini memang tidak secara khusus membahas lembaga pendidikan keguruan untuk pendidikan khusus, vokasi dan berbasis agama seperti madrasah, pesantren atau seminari. Tetapi secara implisit menyingkap akar sejarah pendidikan keguruan yg berbasis agama.

Menurut Buchori (2007), Kweekschool adalah sekolah guru pertama yg didirikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1852, hingga akhir periode pada tahun 1942 dimana era kolonial berganti dibawah Pemerintah Jepang.

Lebih lanjut, menurut Buchori sistem pendidikan keguruan era Hindia Belanda, bersistem diskriminatif berbasis ras, sosial-ekonomi siapa murid yg akan diajar dan belajar.

Terdapat tiga macam sekolah guru yaitu sekolah guru bagi orang pribumi, keturunan Tionghoa dan Belanda.

Awalnya Kweekschool hanya dikelola oleh pemerintah Hindia Belanda tetapi dikarenakan kebutuhan akan pendidikan keguruan semakin meningkat, pihak swasta (non pemerintah) diberikan keleluasaan untuk mendirikan sekolah pendidikan keguruan.

Berdasarkan Buchori, terdapat empat sekolah guru swasta yang diijinkan untuk mendirikan lembaga pendidikan keguruan yaitu HIK (Hollandsch Inlandshe Kweekschool) Gunung Sari di Lembang Bandung yang didirikan oleh Perguruan Neutrale Scholen.

Perguruan Neutrale Scholen lembaga keguruan yang netral dan tidak berafiliasi dengan salah satu gereja, kedua adalah HIK Kristen di Solo yang didirikan oleh Gereja Kristen Protestan.

Ketiga adalah HIK Katolik yang didirikan oleh Gereja Katolik dan yang keempat adalah HIK Muhammadiyah di Solo yang didirikan oleh Perserikatan Muhammadiyah.

Walaupun keempat sekolah keguruan tersebut dikelola oleh pihak swasta tetapi secara finansial lembaga tersebut masih disubsidi oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Yang membedakan lulusan sekolah keguruan dari pemerintah Hindia Belanda dan swasta, menurut Buchori bukan hanya sekedar secara apresiasi finansial dimana guru dari lulusan sekolah keguruan Belnda mendapat gaji yang lebih besar juga pandangan atau pemikiran dari guru-guru tersebut.

Buchori juga menambahkan bahwa guru-guru produk dari HIK swasta memiliki pandangan nasionalis yang pro Pribumi jika dibandingkan guru-guru produk HIK pemerintah. Sikap politik mereka juga berbeda pada umumnya,

Dari penjelasan secara ringkas tentang sejarah sekolah keguruan dari Buchori, saya pribadi menyimpulkan bahwa lembaga keagamaan secara politis dan memiliki kepentingan untuk kaderisasi dan misionaris lewat pendidikan.

Lembaga agama diberi ruang untuk mengembangkan dan menyebarkan kegiatan keagamaan mereka pada era awal abad ke 19.

Referensi:

*Sari Oktafiana. Mahasiswa semester 3 dan masih menulis Tesis di The Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS) Sekolah Pasca Sarjana UGM. | Sumber: www.qureta.com – 17 Februari 2017.