Perjalanan Menemukan Kemanusiaan*
Tidak jarang selama berdemonstrasi, kita acap kali meneriakkan: Boikot, Boikot, Boikot! Tetapi mungkin kita tidak pernah bertanya, bagaimana sebuah konsep perlawanan bisa diasosisikan dengan kata boikot.
Ya, Boycott adalah nama seorang kapten Charles Cunningham Boycott, seorang kaki tangan tuan tanah Lord Erne di sebuah kecamatan bernama Mayo, bagian barat daratan Irlandia yang dikuasai oleh Inggris. Pada tanggal 23 September 1880, para penggarap lahan yang berada di bawah pengawasan Boycott melawan dan memprotes harga sewa dan pencaplokan lahan yang dilakukan secara tidak adil. Mereka melakukan mogok kerja, alhasil Boycott dan keluarga harus mengurusi segalanya sendiri, dari mulai memerah susu sampai memasang sendiri sepatu kuda-kuda mereka. Para tukang pos berhenti mengantarkan surat, penjaga toko menolak melayani Boycott dan keluarga yang ingin berbelanja dan pada akhirnya semua orang mengucilkan mereka. Pada saat itu, penggerak aksi mogok, James
Redpath tidak dapat menemukan satu kata yang tepat untuk menyebut bentuk ketidakpatuhan yang masif dan kompak itu. Maka atas nasihat seorang pastor yang bersimpati Romo John O’Malley menyarankan untuk menyebut fenomena ini dengan ‘mem-Boycott-nya’. Maka, hingga hari ini, semua orang diseluruh dunia latah menyebutkan setiap jenis ‘ketidakpatuhan’ akan aturan-aturan yang mengekang dan tidak adil sebagai aksi mem-boikot. Kisah Boikot hanya salah satu dari 80 kisah yang terdapat dalam buku ini: Tindakan- Tindakan kecil perlawanan. Kumpulan kisah-kisah dari seluruh belahan dunia, yang menggambarkan sebuah tekat dan perjalanan menemukan kemanusiaan, yang semuanya tergambarkan pada satu kata: Perlawanan. Sebenarnya ada sedikit keraguan untuk menyebut kesatuan kisah dalam buku tersebut ini sebagai ‘tindakan kecil’. Saya sebagai pembaca acap kali merasakan perubahan emosi yang drastis, dari sedih, kecewa, marah hingga terkagumkagum akan keberanian orang-orang yang dimunculkan dalam buku tersebut. Bayangkan bagaimana sebuah kereta bayi dapat menjadi simbol perlawanan atas dominasi berita yang dilakukan oleh Rezim Komunis Polandia. Atau aksi masa mencuci bendera yang dikenal dengan istilah ‘lava la bendera’, yang dilakukan oleh ribuan orang di Peru pada tahun 2000, demi untuk menunjukkan perlawanan atas kediktatoran Alberto Fujimori. Masih banyak lagi kisah-kisah lainnya yang menampilkan keberanian besar dari orang-orang yang mungkin namanya tidak tercatat dalam narasi besar. Namun memberikan angin segar bagi diskursus mengenai perlawanan sipil.
Buku ini terdiri dari 80 kisah nyata perlawanan yang dimulai dari orang, kumpulan orang, kelompok maupun kumpulan kelompok dari hampir seluruh belahan dunia. Setiap ceritanya ingin menunjukkan bahwa banyak perubahan besar yang terjadi di dunia justru dimulai dari tindakan-tindakan kecil yang pada awalnya mungkin terlihat amat sepele atau bahkan tidak ada apa-apanya, namun setelah dilakukan dengan keyakinan dan rasa kemanusiaan, maka dampak yang dibawanya sungguh menakjubkan.
80 kisah tadi dikelompokkan kedalam 15 sub-bab: Kekuatan orang banyak, Mengecoh maksud sebenarnya, memanfaatkan peluang olahraga, mengelabui lembaga sensor, menjegal para rampok suara, perempuan bilang’tidak’, jika tidak sekarag ‘kapan?’, membongkar rahasia, kehidupan pribadi dampak publik, mengerahkan para saksi, mengorganisir kesenian, demi tegaknya hukum, ketika tembok kokoh roboh, kekuatan satu orang dan pembangkangan digital. Semua kisah tadi meramu sebuah keyakinan bahwa perlawanan rakyat sampai kapanpun akan terus hadir selama ketidakadilan ada.
Yang unik dari buku ini adalah edisi bahasa Indonesia nya diterjemahkan oleh seorang pengorganisir rakyat: Rome Topatimasang. Pengalaman Rome melakukan pengorganisiran dan pendidikan kerakyatan di antero nusantara selama hampir dalam kurun waktu 30 tahun, membuat saya sebagai pembaca merasakan bahwa setiap kata yang ia pilih sebagai bagian dari penerjemahan adalah bahasa-bahasa perlawanan. Ia mampu membuat buku ini, begitu ringan untuk dipahami substansi setiap ceritanya.
Satu bab yang paling menarik perhatian saya tentu saja adalah bab ‘Perempuan bilang tidak’. Kisah-kisah di dalamnya menunjukkan bagaimana perempuan melakukan perlawanan dengan apapun, bahkan dengan ketubuhan mereka. Di Sudan bagian selatan misalnya, perempuan-perempuan disana melancarkan aksi sexual abandoning (Penelantaran seksual), demi untuk menekan suami-suami mereka agar mau berunding dan menghentikan perang saudara yang sudah terjadi selama dua puluh tahun antara kawasan selatan dan kawasan utara, bahkan pemimpin gerakan tersebut yaitu Samira Ahmed, juga berhasil membujuk para pekerja seks untuk tidak memberikan akses layanan seksual selama aksi terjadi.
Alhasil akibat kampanye ini, para laki-laki disana menyerah dan mau melakukan perundingan untuk berdamai. Di Kenya, terjadi perlawanan yang serupa sex strike, untuk mendesak perdamaian antara dua kubu politik terbesar disana, yaitu Perdana Menteri Raile Odinga dan Presiden Mwai Kibaki. Gerakan ini sempat menuai protes dari kalangan laki-laki, James Kimondo berencana ingin menuntut organisasi perempuan yang menggawangi aksi ini, dia manyatakan bahwa sex strike sudah menyebabkan tekanan mental, sakit punggung dan kegelisahan yang luar biasa bagi para laki-laki. Kaum perempuan tentu saja bukan menganggap sex sebagai sesuatu yang tidak penting, namun justru karna mereka menyadari bahwa sex adalah penting, dan tidak memandang kepentingan politik, agama, suku, maupun ras, sehingga sex adalah kekuatan. Maka menahan untuk tidak melakukan sesuatu yang fitrah adalah jua bentuk jihad untuk sebuah tujuan mulia.
Buku ini sangat menarik untuk dibaca, terutama bagi kalangan anak muda yang kadang terjebak dalam romantisme gerakan-gerakan besar, yang sifatnya melulu soal massa dan kuantitasnya. Buku ini mengajak kita melihat lebih lekat, bentuk-bentuk perlawanan yang sangat patut untuk diilhami dan dijadikan panutan dalam metode perjuangan.
*Rasela Malinda | Sumber: pejuangtanahair.org – Februari 2017.
*Rehal buku: Tindakan-tindakan Kecil Perlawanan: Bagaimana Keberanian, Ketegaran dan Kecerdikan Dapat Mengubah Dunia •Penulis: Steve Crawshaw & John Jackson •Penerjemah & pengantar edisi Indonesia: Roem Topatimasang •Penerbit: INSISTPress •Edisi: Pertama, November 2015.