Pengorganisasian Rakyat; Tempatkan Rakyat sebagai Lokus Utama

Pengorganisasian Rakyat; Tempatkan Rakyat sebagai Lokus Utama*

Seperti buku cerita, tapi tak memuat banyak kisah. Bagai buku panduan, tapi tak benar-benar rinci. Marsen Sinaga sepertinya menulis buku yang memang belum selesai. Ya, itu karena buku ini ia anggap sebagai sebuah proses. Di mana Arkomjogja, tempat ia bernaung, terus menerus memperjuangkan tata ruang dan tata sosial yang harmonis, ditengah dunia yang sangat dinamis. Dan itu tak akan berhenti, apalagi selesai.

Arkomjogja berjalan begitu saja. Menikmati proses, sembari melewati halang rintang. Saat kapitalisme sedang muntah-muntah, dan rembesannya lebih banyak mengotori ruang-ruang hidup rakyat, para ‘arkomis’ hadir, berusaha sedikit-sedikit membersihkan. Dengan cara pandang partisipatif, rakyat diajak bersama-sama ‘menyucikan’ kembali ruang hidup tersebut. Menata sesuai apa yang rakyat inginkan, Bukan yang Arkom inginkan, apalagi kapitalisme.

Hasilnya memang belum luar biasa, tapi tak bisa juga disebut biasa.Ruang bagi Arkomjogja adalah sesuatu yang hidup dan mesti dihidupi. Ruang diisi oleh keberagaman, dihidupkan oleh interaksi dan berkembang sebagai sebuah proses.

Proses itu tidaklah linier tetapi berjalan sesuai arus kontestasi beragam identitas. Ada banyak identitas yang saling tumbang menumbangkan. Dalam hal ini, siapa yang memenangkan kontestasi bisa mengarahkan proses perkembangan ruang tersebut.

Saat ini, ruang hanya sebagai objek, yang boleh dibentuk sesuai keinginan yang menang dan kehendak yang berkuasa. Tanpa memperdulikan, bahwa dalam ruang, ada sesuatu yang hidup, yang turun temurun menghidupi ruang tersebut.

Dari pemahaman tentang ruang, cara kerja Arkomjogja berusaha menempatkan masyarakat sebagai lokus utama. Karena masyarakatlah, yang lebih memahami ruangnya sendiri, dan telah sejak lama menghidupinya. Mula-mula yang dibangun adalah kesadaran kritis dan kepercayaan diri. Bahwa masyarakat bisa mengubah dirinya dan menata ruangnya, dengan logika dan kekuatannya sendiri.

Meski muntahan kapitalisme jauh merasuk ke dalam mental masyarakat, sebagaimana anggapan Marsen Sinaga, yang membuat individualisme dan persaingan semakin mencolok di tengah masyarakat, pendekatan partisifatif dengan mengambil pola pengorganisasian yang dekat dengan ruang hidup sehari-hari akan mampu mengembalikan nalar kolektif. Dengan begitu, ruang bisa ditata sesuai dengan cara hidup komunitas setempat.

Cara ini setidaknya berhasil di beberapa kelompok masyarakat yang telah dibentuk oleh Arkomjogja. Marsen Sinaga juga banyak mengulik soal keberkuasaan yang harus dikembalikan kepada rakyat. Soal-soal pemiskinan dan ketimpangan, adalah karena relasi-relasi kuasa yang begitu mencengkeram ruang penghidupan. Dengan mengutip perkataan Fernad Braudel.

“Kapitalisme hanya berjaya kalau semakin menyatu dengan negara, saat kapitalisme adalah negara itu sendiri”, Marsen Sinaga berusaha menunjukkan pesimismenya akan peran negara dalam mengembalikan keberkuasaan rakyat. Keberadaan NGO harus terus menerus berupaya mengarahkan perubahan bersama-sama komunitas, tanpa terlalu bergantung pada negara. Jangan sampai mulut negara adalah mulut harimau itu sendiri.

Arkomjogja hanya sebatas fasilitator. Komunitaslah yang mesti membangun kekuatannya sendiri. Kekuatan itu dibangun di atas prinsip, “mau berubah”. Komunitas bukan dilihat sebagai masalah yang harus diselesaikan oleh orang pintar, seperti yang Marsen Sinaga bilang. Tujuan keberpihakan pada rakyat adalah mengajak rakyat percaya diri akan pendapatnya sendiri dan menjadi lebih kritis pada sistem atau struktur yang tidak adil atau memiskinkan, termasuk lebih kritis dalam melihat sistem yang berlaku saat ini telah mempengaruhi diri mereka secara mendalam (Hal. 79).

Pengalaman-pengalaman Arkomjogja dalam melakukan pengorganisasian rakyat, tidak hanya mendapat tantangan dari sistem yang konon merasuki sebagian besar mental masyarakat, tetapi ia juga berasal dari dalam diri orang-orang yang bergelut di Arkomjogja. Pun, tantangan itu banyak berasal dari dinamika organisasi. Pergelutan dengan diri sendiri atau dalam ruang lingkup organisasi, seringkali menghambat proses kerja-kerja bersama komunitas. Buku ini memberi sedikit banyak soal manajemen organisasi yang baik dan rapi. Tentang bagaimana kerja di dalam NGO, harus dilakukan dengan penuh semangat, memberi kebebasan berpikir kepada anggota, dan menyulut daya kreatif yang lebih inovatif.

Hal-hal yang belum diselesaikan oleh Marsen Sinaga dalam buku ini, sebenarnya diarahkan kepada mereka yang mendaku dirinya aktivis NGO. Teks yang dihadirkan Marsen Sinaga, adalah bagian dari konteks yang sedang dihadapi ratusan NGO lainnya. Bahwa, ada banyak sekali tantangan dalam proses pengorganisasian rakyat. Ada banyak hal yang sedikit keliru, dalam berjalannya proses tersebut. Pengorganisasian rakyat tak boleh jauh dan berjarak dari realitas masyarakat itu sendiri.

Soal metode dan bahan, boleh diambil dari kearifan lokal masyarakat setempat. NGO mesti bersama-sama rakyat mengembalikan ruang yang harmonis dan lebih adil. Sebagaimana Marsen Sinaga mengutip Mao Tse Tsung, “Jika menginginkan pengetahuan, anda harus mengambil bagian dalam praktik mengubah realitas”. Buku ini hanya sebatas buku cerita tentang Arkomjogja atau hanya buku panduan yang tidak keren-keren amat, jika pembaca tidak menyelam ke dalam realitas yang timpang, lalu berusaha untuk mengubahnya. ***

Buku ini terutama berisi tema-tema refleksi kegiatan dari tahapan rekonstruksi historis yang obyektif yakni: rakyat sebagai pelaku utama perubahan, kerja-kerja arsitektur sebagai sarana pengorganisasian, pendekatan pembangunan yang ‘dari-bawah’ (bottom-up) dan keberlansungan (masa depan) lembaga. Tema-tema refleksi menghantar ke tahapan subyektif, yaitu menggali, menjelaskan dan membuat eksplisit asumsi dan keyakinan-keyakinan di balik atau yang melatar-belakangi pilihan-pilihan intervensi dan strategi-strategi yang dipilih oleh ArkomJogja dalam kerja-kerjanya.

Tema-tema yang dapat dikatakan sebagai abstraksi dari kegiatan dan program konkret yang dilakukan oleh ArkomJogja. Tema-tema ini juga merupakan jembatan yang menghubungkan pengalaman Arkomjogja dengan pengalaman banyak orang dan organisasi lain yang terlibat dalam memikirkan dan mengerjakan perubahan/transformasi sosial.

*Oleh Ilham Badewe. Sumber dari Seputarsulawesi.com – 13 April 2017.

*Rehal buku: Pengorganisasian Rakyat & Hal-Hal yang Belum Selesai: Belajar Bersama ArkomJogja/ Marsen Sinaga/ INSISTPress & ArkomJogja, 2017.