Melihat Kembali Peran Pesantren dalam Mengembangkan ASWAJA*
JAUH sebelum Indonesia lahir sebagai negara merdeka pada 17 Agustus 1945, pesantren-pesantren sudah berdiri. Eksistensi pesantren sejatinya tak bisa begitu saja dipinggirkan dalam kancah pendidikan di Indonesia. Nurcholis Madjid mengindentifikasi bahwa seandainya Bangsa kita tidak pernah dijajah Belanda, maka barangkali tak pernah berdiri universitas-universitas besar seperti UGM, UI, ITB, yang ada adalah Pesantren-pesantren seperti Lirboyo, Jampes, Cirebon, dan lain-lain.
Apa yang dikatakan oleh Cak Nur tadi hendak menegaskan kembali peran dan sumbangsih pesantren dalam mendidik anak-bangsa. Pendidikan ala pesantren memiliki kekhasan tersendiri, bagaimana ia membentuk jati-diri keilmuan, khazanah intelektual serta beragam sejarah dan tradisi yang melingkupinya sepanjang zaman. Pesantren sebagai garda depan kawah candradimuka, ruang di mana pengajaran tentang keislaman diajarakan, dipraktikkan dan ditransformasikan. Ada satu pertanyaan mendasar, yang mewakali kegelisahan sebagian pihak, betapa merefleksikan sebuah nilai penting yang sampai hari ini masih dipertahankan oleh pesantren: Aswaja (ahlussunnah waljamah).
Apakah aswaja yang ada di pesantren-pesantren di Indonesia dipahami sebagai sebuah doktin atau kemudian mengalami perkembangan menjadi sebuah disiplin ilmu, ini yang akan dianalisa agar bagaimana pranata-pranata keilmuan di dalam pesanteran itulah, didesiminasikan dan diproduksi lagi oleh Prof. DR. K.H. Chozin Nasuha, dalam buku terbarunya, “Diskursus Kitab Kuning: Pesantren dan Pengembangan Ahlussunah Wal Jamaah”, yang diterbitkan oleh Institut Study Islam Fahmina (ISIF) Cirebon.
Aswaja sebagai Ilmu
Ahlussunnah wal-Jamaah (Aswaja) sebagai paham keislaman yang lahir pada abad ke-7 dan mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-13, memiliki nilai dasar dan ajaran filosofis yang, di satu sisi dari konteks kesejerahannya, berkembang pesat dan banyak dianut oleh umat Islam di dunia, kemudian menjadi sebuah doktrin keagamaan yang menubuh dalam tradisi masyarakat hingga ke Nusantara, dan di sisi lain, dalam konteks budaya mengalami tantangan, bagaimana ia mampu menjawab problematika umat dari fase zaman ke zaman lainnya, yang kian mengalami perubahan secara gradual.
K.H Chozin mendapati dewasa ini Aswaja mengalami kemunduran, yang dalam tahap tertentu bisa dikatakan kritis. Asumsi tersebut berangkat dari sudut historis-antropologis melihat telah terjadi kesenjangan antara “Aswaja ideal” dengan “Aswaja Realitas” (Halaman 54-55). Secara lebih sederhana “Aswaja Ideal” merupakan kondisi ketika pemikiran tentang aswaja berhenti sebatas menjadi doktrin belaka, yang menyebabkan Praktik-praktik amaliyah-nya terjadi diferensiasi yang begitu tajam. Hal ini bisa dilihat dari praktik penganut Syiah, Mu’tazilah, ‘Ibadliyah dan Tasawuf modern yang secara pengamalannya mengalami kontradiksi dengan ajaran ulama aswaja terdahulu.
Sedangkan aswaja realitas lebih ingin melihat bagaimana umat Islam khususnya merespons berbagai probelmatika kekinan, dengan cara pandang transformatif dan futuristik. Doktrin-doktrin aswaja, dengan begitu, dikombinasikan dengan berbagail ilmu seperti politik, ekonomi, budaya dan sosial. Ketidakmampuan umat Islam merespons problematika tadi melahirkan kondisi kritis. Meski hal demikian dikatakan wajar, akan tetapi akan lebih penting melihat secara komperhensif lagi, bagaimana signifikansi Ahlussunnah wal-Jamaah (Aswaja) sebagai ilmu, salah satunya melalui metedologi yang terdapat dalam Kitab Kuning.
Buku ini mencakup keseluruhan dinamika yang menjadi diskurus panjang yang dilakukan komunitas Nahdliyin. Sebut saja, di awal pembahasannya, Kyia Khozin menarasikan seputar genealogi keilmuan aswaja. Tokoh-tokoh seperti Syekh Ahmad Zaini Dahlan dan Syaikh Ibn Hasan al-Dimyati menempati posisi yang cukup sentral, mengingat kedua tokoh itu menancapkan pengaruh besar dalam perkembangan aswaja, untuk selanjutnya, dilanjutkan oleh ulama-ulama Nusantara, di antaranya Syeikh Nawawi al-Bantani, Kyia Kholil Bangkalan, Kyia Shaleh Darat Semarang (lihat ulasan di halaman 41)
Kalangan pesantren (baca: santri) patut diakui merupakan gerbang penjaga terakhir untuk keberlangsungan aswaja. Ilmu dan pengetahuan yang didapat dari ngaji kitab-kita kuning (turats) memang sebagian besarnya adalah diskursus tentang aswaja. Apakah hal tersebut akan justru berhenti pada tataran dogmatis (amaliyah aswaja), atau senantiasa direproduksi ulang menjadi konstruksi keilmuan yang kokoh, ini menjadi pertanyaan yang memantik banyak kalangan. Sebagaimana model yang dipelajari kalangan santri masih dominan dalam dua model, menurut Kyia Chozin sendiri, yaitu al-bayani (analitik) dan al-irfani (intutif) dalam berargumen soal aswaja.
Praktis, kondisi demikian menjadi kegelisahan yang menjadi landasan dalam buku ini. Oleh karenanya, ke depan aswaja perlu dikembangkan dengan model keilmuan yang lebih sistematis dan transformatif, dengan mengembangkan model aswaja sebagai ilmu, meliputi (1) dasar-dasar ilmu (fann) terdapat, definisi (had) 2) tema obyek kaji (maudlu’)3) hasil kaji (tsamaroh), dalam hal ini berorientasi pada faidah dan praktik, atau aksiologi 4) keutamaan atau keunggulan (fad) 5) hubungan dengan ilmu lain (nisbah) 6) tokoh peletak dasar (wadli’) 7) nama ilmu (‘ism), 8) sandaran berfikirnya (istimdad) 9) hukum syara’ (sebagai pendukung ilmu tadi) dan 10) permasalahan yang dipecahkan secara parsial (halaman 56)
Kesepuluh metedologi pengembangan aswaja sebagai ilmu dipaparkan Kyia Chozin dalam buku ini, tentu saja, dengan pola sangat sederhana, berisikan metanarasi keilmuan aswaja dari segi sejarah, budaya, sosial dan hukum. Sederhana karena ia dekat dengan wilayah praksis kehidupan kita. Tidak melulu bicara ranah teoritis. Di tambah lagi, problematika seputar pembacaan teks-teks keislaman yang jumud dan rigid, yang acapkali, hanya berlandaskan sumber-sumber sekunder, bagi saya sendiri, kajian ini menambah wawasan dalam dua arah sekaligus: menggali sumber-sumber masa lampau, tanpa menghakimi masa kini. Artinya, saat aswaja dipandang sebagai sebuah metoda keilmuan, ia akan mampu menjawab persoalan keberagaman, sumberdaya alam, lingkungan, bahkan dalam taraf yang melampui masalah tata-kelola kebijakan. Dan abah Chozin sudah memulai langkah ini.
Kitab Kuning dan Pesantren
Kitab kuning dan Pesantren ibarat dua mata uang yang sama. Kitab kuning yang diajarkan di pesantren itu unik. Keunikan itu dicontohkan K.H Chozin dalam buku ini misalnya soal pola penulisannya, yang tanpa tanda baca titik (.). Tidak hanya seputar cara penulisan di kitab kuning, yang menarik, buku ini juga mengulas eksistensi pesantren-pesantren di Cirebon dalam kaitannya dengan diskursus aswaja.
Pada bagian akhir buku ini, pesantren-pesantren di Cirebon banyak dibahas dari segi sejarah dan praktik pengetahuan aswaja. Pesantren Babakan Ciwaringin, Buntet, Kempek, Palimanan, dan juga Pesantren Jatisari yang mungkin saat ini sudah terlupakan oleh banyak orang. Selain itu, penulis juga mengungkapkan perjumpaannya dengan guru-guru dengan penuh rasa takjub dan takdim. Salah satunya mengenai K.H. Ahmad Syatori dari pesantren Babakan yang merupakan salah satu guru yang istimewa baginya.
Dalam buku ini penulis memaparkan pemikirannya nyaris tanpa celah kekurangan. K.H A. Chozin Nasuha adalah seorang pemikir besar yang hidup pada zaman modernitas, menulis dengan jujur, tanpa menggurui, dan yang paling penting: berlandasakan argumentasi dan metedologi yang kuat. Saat pesantren sudah mulai ada sinyalemen kemundurunnya pada bidang pengembangan ASWAJA, ketika problematika yang dihadapi oleh kaum Nahdliyin terus melingkupi tanpa henti, maka buku ini sangat dianjurkan untuk dibaca, dikaji dan dikritisi, secara mendalam oleh siapa saja. Dengan harapan bahwa keilmuan Islam sejatinya berangkat dan berkembang dari dan untuk nurani, akal sehat dan keilmuan yang matang, juga teliti dan sabar, setabah dan tawadhu penulis buku ini: K.H. Chozin Nasuha.[]
*Oleh: Abdurahman Sandriyani | Sumber: www.cirebontrust.com – 28 April 2016.
*Rehal buku: Diskursus Kitab Kuning, Pesantren dan Pengembangan Ahlu as-Sunnah wa al-Jamaah •Penulis: Prof. Dr. K.H. A. Chozin Nasuha •Penyunting: Wakhit Hasim •Penerbit: Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) dan Pustaka Sempu •Edisi: Pertama, Februari 2015.