Membaca Refleksi Gerakan Sosial ArkomJogja

Membaca Refleksi Gerakan Sosial ArkomJogja*

Tujuan keberpihakan pada rakyat adalah mengajak rakyat percaya diri akan pendapatnya sendiri dan menjadi lebih kritis pada sistem atau struktur yang tidak adil atau memiskinkan, termasuk lebih kritis dalam melihat sistem yang berlaku saat ini telah mempengaruhi diri mereka secara mendalam.

Arkomjogja adalah sekumpulan orang yang berasal dari berbagai macam latar belakang profesi dan pengetahuan yang tertarik dengan pembangunan wilayah ataupun bangunan pada masyarakat menengah kebawah, maupun masyarakat yang sedang terlibat masalah. Berbeda dengan komunitas – komunitas arsitek pada umumnya, Arkomjogja menitikberatkan pada membantu dan mencerdaskan masyarakat menengah ke bawah yang tidak begitu mengetahui dan mengenal arsitektur agar dapat menikmati manfaat arsitektur. Dikutip dari web HMA, begitulah Arkomjogja.

Awal-awal saya mengetahui Arkomjogja adalah saat kampus mengadakan diskusi refleksi 10 pasca tsunami Aceh yang pernah saya tulis juga di sini.

Buku Belajar dari Arkomjogja: Pengorganisasian Rakyat dan Hal-hal yang Belum Selesai karya Marsen Sinaga ini dibuka dengan tulisan Pak Yuli Kusworo, ‘ayah’nya Arkomjogja, tentang bagaimana awal mula lahirnya Arkomjogja. Pak Yuli awalnya mendampingi seorang dosen yang meriset kampung-kampung informal di bantaran sungai berbagai kota untuk keperluan disertasi dosen tersebut. Dengan live in di kampung-kampung tersebut, Pak Yuli mulai sedikit demi sedikit memahami kehidupan warga-warga miskin di bantaran sungai tersebut. Sampai di beberapa kesempatan, seperti membantu memberi desain alternatif perkampungan bantaran sungai Wonokromo yang akan digusur, rekonstruksi pasca tsunami Aceh, bertemu arsitek-arsitek India yang berpengalaman dalam hal pembangunan berbasis kemasyarakatan, berkegiatan di Urban Poor Consortium (UPC) dan menyaksikan upaya-upaya pengorganisasian di kampung-kampung Jakarta yang berakhir dengan penggusuran besar-besaran, membuat Pak Yuli yakin arsitek komunitas sangat dibutuhkan masyarakat terpinggirkan. Lebih lanjut beliau juga mengkritik lemahnya sistem pendidikan dan pemikiran bahwa peradaban hanya ada di kota-kota. Karena beliau tahu, 80 persen masyarakat membuat huniannya tanpa bantuan arsitek, yang lebih memilih sektor perumahan formal dan lebih menjanjikan.

Apa-apa saja yang dialami Arkomjogja, selanjutnya saya sebut Arkom, dalam kegiatannya direfleksikan dengan jelas di buku ini. Bagaimana cara kerja Arkom sebagai NGO dan kebermanfaatan maupun kendala yang dialami agar bisa diketahui oleh kita-kita ini. Arkomjogja sendiri awalnya tak memiliki visi atau misi apapun dalam kegiatannya, semua berjalan apa adanya. Sampai pada satu titik mereka merasa benang merah apa yang mereka lakukan selama ini adalah mengawal isu perebutan ruang untuk masyarakat kecil dengan berusaha menciptakan ruang yang nyaman dan harmonis. Menurut Arkom, berkegiatan dengan masyarakat juga tidak gampang karena paham-paham individualis sudah masuk ke kampung-kampung. Iklim persaingan di masyarakat tinggi dan berimbas mulai saling tidak percaya. Dan program-program yang Arkom gagas hanyalah sebagai sarana saja, pengorganisasian masyarakat adalah hal yang diutamakan agar warga dapat menyadari kekuatannya, yaitu kebersamaan.

Arkom, sebagaimana organisasi rakyat lainnya, tentu menarik untuk dijadikan objek penelitian oleh pihak-pihak lain, seperti lembaga penelitian, maupun universitas dalam dan luar negeri. Arkom juga dengan senang hati menerima menerima mereka, dengan syarat ‘kemewahan’ yang mereka dapat dalam proses studinya juga dibagikan kepada rakyat-rakyat yang tidak mendapat hal itu agar tidak hanya menjadi sekadar proses mengumpulkan data untuk para peneliti. Bagian dialog-dialog Arkom bersama calon peneliti terkait ‘kontribusi’ di buku ini menurut saya menarik. Ada yang hanya menganggap kontribusinya adalah finansial, yang jelas kurang tepat. Jika dibedah lebih dalam ditemukan dua pemahaman, yang pertama baru memungkinkan akan berkontribusi signifikan jika sudah selesai dengan jenjang studinya. Kedua, kontribusi mereka pada ranah kebijakan yang diharapkan dampaknya bisa merasakan rakyat. Sesuatu yang di dalam buku ini pertanyakan adalah tidak semua penelitian itu pasti,  secara otomatis, akan berkontribusi positif untuk gerakan-gerakan sosial ini. Maka dari itu, Arkom menuntut peneliti yang ingin terlibat di Arkom harus secara langsung selama penelitian berbagi dan menemukan cara agar penelitian tersebut bermanfaat bagi perjuangan yang Arkom atau gerakan sosial lain lakukan bersama masyarakat.

Pemerintah juga tidak lepas disorot buku ini. Program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan pemerintah adalah pelatihan-pelatihan kewirausahaan padahal konsep pemberdayaan yang sesungguhnya adalah membangun masyarakat kritis, percaya diri, dan bisa memikirkan strategi untuk menaikkan hajat hidupnya sendiri. Pemerintah juga hanya sebatas mengapresiasi kerja Arkomjogja tanpa berinisiatif mengadopsi keberhasilan itu ke berbagai daerah yang punya permasalahan serupa.

NGO pun, dibalik semua nilai baiknya, kadang juga banyak terdapat kontradiksi. NGO dipandang kebanyakan terlalu termakan ‘mantra suci’ sebagai pihak rakyat dan menjadikan rakyat sebenar-benarnya pelaku utama. Aspirasi rakyat dianggap tidak mungkin salah, padahal cukup dianggap sama penting dan bernilainya dengan ahli. Kontradiksi lain juga lebih banyak soal pendanaan yang tidak pasti. Kalaupun ada dari donor, pastilah ada tenggat waktu yang tentu saja sulit dipenuhi karena nantinya malah akan menghasilkan hasil yang sekedarnya saja. Juga disinggung persoalan kaderisasi, dimana biasanya di beberapa NGO hanya pendirinya saja yang vokal dan paham seluk beluk organisasinya karena tidak memberi ruang untuk penerusnya. Konsepsi ‘tidak ada yang salah’ di Arkom memberi kebebasan berpikir kepada anggota. Senior tidak serta merta selalu ‘memberi tahu’ dan membuat junior berketergantungan terhadap masukan senior, konsepsi inilah menyulut daya kreatif yang lebih inovatif.

“Jika para penghuni memegang kontrol atas keputusan-keputusan penting dan memiliki keleluasaan berkontribusi dalam hal rancangan, pembangunan, atau pengelolaan rumah mereka, baik prosesnya maupun lingkungan yang tercipta kemudian akan mendorong terwujudnya kesejahteraan individual dan sosial.” – John F.C. Turner

Buku ini menekankan bahwa seharusnya masyarakatlah yang mesti membangun kekuatannya sendiri. Arkomjogja di sini hanyalah contoh yang terlibat sebagai fasilitator. Semua masyarakat dilibatkan dalam prosesnya. Memang kehadiran Arkom tidak serta merta langsung memperbaiki hal-hal yang salah dalam sekejap, semuanya mengalami proses yang panjang juga berliku. Buku ini mengupasnya dan bukan hanya itu, buku ini juga mengajak kita untuk hidup sederhana.

*Pengulas: Ega Abdi Satrio, pembelajar arsitektur. Sumber: egaabdi.tumblr.com – 28 April 2017.

*Rehal buku: Pengorganisasian Rakyat & Hal-Hal yang Belum Selesai: Belajar Bersama ArkomJogja/ Marsen Sinaga/ INSISTPress & ArkomJogja, 2017.