Panggilan Tanah Air

Panggilan Tanah Air*

Buku Korporasi dan Politik Perampasan Tanah ini karya Laksmi A. Savitri, buku ini memberikan potret riil dan data akurat dengan bubuhan analisis yang tajam. Buku tersebut merupakan buah pikir yang dipadu oleh kerja kolaborasi peneliti, pendidikan kritis, dan pembuatan film dalam pendidikan dan juga merupakan media kampanye yang dilakukan oleh empat institusi yaitu Sekretariat untuk Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Meurauke (SKP-KAM), Sajagyo Institute, Indonesian Society For Social Transformation (INSIST), dan Komunitas Perfilman Intelektual (Kopi).

Buku ini hadir sebagai kajian etnografi yang menyajikan temuan-temuan di delapan kampung di wilayah selatan Papua yaitu Meurauke. Dalam buku ini juga penulis menceritakan secara mendalam mengenai suku Anim Ha atau Manusia Sejati, dengan empat marga yaitu: Gebze, Kaize, Mahuze, dan Basik-basik. Buku ini juga memadukan seluruh aspek kemanusiaan Marind Anim secara seimbang dalam konteks rencana pembangunan pemerintah melalui Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Dalam buku ini ada membahas beberapa periode yang diulas baik oleh penulis.

1. Periode sejarah Suku
Bagian sejarah penulis menceritakan asal usul moyang suku yang masih hidup dengan budaya mangayau, berpakaian cawat dan tempurung kelapa. Perempuan dan laki-laki hidup terpisah terkecuali jika mereka sudah dikawinkan, sumber makanan pokok mereka adalah sagu, babi hutan dan binatang lainnya, mata pencaharian dengan bercocok tanam dan berburu dengan alat-alat tradisional.

2. Periode Merauke
Pada periode ini dikenal sebagai periode misionaris masa pemerintah Belanda. Pada tahun 1915 seorang Pastor Petrus Partante dari Biak didorong untuk menyatukan beberapa sub suku untuk membentuk suatu kampung yang bertujuan untuk menghilangkan budaya mengayau. Pada tahun 1923 sudah mulai dibangun sekolah-sekolah. Sekolah tersebut disebut sebagai sekolah buta huruf yang mengajarkan tentang baca dan tulis. Pada awal tahun 1965, sekolah tersebut sudah mulai berjalan dengan guru ajar didatang kan dari Kei. Sekolah yang didirikannya yaitu Sekolah Dasar YPK (Kristen) dan YPPK (Katolik) yang kemudian dijadikan satu sekolah. Pada tahun 1940-1950-an orang Zenegi baru mengenal budaya melayu, yang ditandai dengan pakaian, lampu petromaks dan lampu minyak. Mereka pun menggunakan dua bahasa sebagai bahasa keseharian.

3. Periode Indonesia NKRI
Pada masa ini mereka masih harus berpindah-pindah karena kemarau panjang. Pada 1972, pertama kalinya memilih kepala kampung dalam konteks administrasi pemerintah NKRI. Beberapa kampung: Zanegi, Baad, Wayau, dan Koa diberi nama Desa Anim Ha. Pada masa peralihan ini sangat dirasakan oleh warga karena papare (peristiwa penentuan pendapat rakyat) yang mengakibatkan warga bercerai-berai. Pada masa ini kampung-kampung mulai menetap dan memiliki struktur pemerintahan selain ketua adat dan juga kepala suku.

4. Periode Transmigrasi dan Bantuan (Orde Baru)
Pada tahun ini masyarat Zanegi ini mengalami penggusuran (1983-1984). Masyarakat digusur tanpa penjelasan, mereka hanya diberi kan uang sebesar Rp. 90.000 per kepala keluarga. Periode ini juga ditandai dengan masuknya berbagai macam bantuan. Tahun 1990-an masuk proyek Bantuan Pembangunan Desa (Bangdes), Impres Desa Tertinggal (IDT), dan ABRI Masuk Desa (AMD).

5. Periode Bupati Gebze (Reformasi)
Pada tahun 2000 kampung Zanegi mendapatkan bantuan rumah dan untuk pertama kalinya juga Kabupaten Merauke memiliki Bupati orang Papua asli yaitu Jhon Gluba Gebze. Pada masa pemerintahannya mulai muncul Program Perbaikan Kampong (PPK) yang memberikan bantuan berupa beras, pembangunan sumur, saluran air, dan pengembangan kelompok usaha. Pada masa bupati ini juga awal mula penanaman palawija dari dinas pertanian kerjasama dengan PT. Agrindo. Proyek penanaman gagal, para warga di areal percontohan itu kemudian diberikan traktor dan beras 2 ton.

6. Periode MIFEE
Dalam kurun waktu yang berdekatan, tahun 2005 hingga 2007-2008 di Zanegi dan Domande mulai dilakukan sosialisasi masuknya perusahaan yaitu Medco dan Rajawali. Grup Medco beroperasi di wilayah Kali Bian melalui dua anak perusahaan yaitu PT. Selaras Inti Semesta yang memengang izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Nomor 18/Menhut-II/2009 dengan total luas 169.400 hektar dan PT. Medco Papua Industri Lestari yang memusatkan di Buepe dengan total areal 2.800 hektar untuk pengembangan Industry Wood Chips dan Wood Pellet. Pada 2009, lebih dari 3.000 hektar hutan telah ditebang.

Sedangkan Group Rajawali memegang izin lokasi untuk usaha perkebunan tebu seluas 7. 500 hektar di Distrik Marind dan Kurik atas nama dua anak perusaan, yaitu PT. Cendrawasi Jaya Mandiri dan PT. Karya Bumi Papua.

Pada 2010 disepakati oleh seluruh ketua dari tujuh marga untuk memperbolehkan perusahaan beroperasi dengan beberapa kesepakatan. Pada saat itu dibangun sebuah tegu yang bertuliskan 10 janji perusahaan yang tidak kunjung dilaksanakannya. Pergeseran budaya yang antara lain ditandai oleh hadirnya berbagai fasilitas kehidupan modern, padahal alam masih menjadi pijakan sistem kehidupan.

Di bagian ini, penulis menceritakan soal kerja produksi petani menjadi kerja korporasi. Sebagai mana kita ketahui bahwa sebelum kerja korporasi ini berlanjut Indonesia telah lebih dulu menyandang sebagai penerapan revolusi hijau dan dieksploitasi melalui tanam paksa. Ketika peradaban, diikuti oleh modernisasi, sebagai cara satu-satunya menuju pencerahan, maka dua kata kunci selalu dijadikan jalan untuk keluar dari kegelapan, yakni pembangunan dan kemajuan. Tetapi, kemana arah kemajuan? Maju merayakan kehidupan atau mundur membentur matinya kemanusiaan?

Pada tahun 2010 juga, pemerintah Indonesia merencanakan program Meurauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Proyek ini merupakan konsorsium usaha swasta yang melibatkan perusahaan dari lima negara. Walaupun dampak yang ditimbulkan baik secara sosial maupun ekologis begitu merusak, namun proyek MIFEE di Meurake belum kunjung berhenti.

Dalam buku ini saya menemukan beberapa problem yang dihadapi oleh masyarakat Papua atas sebuah program yang dianggap sebuah kemajuan kolaborasi perusahaan dengan pemerintah. . Pemerintah menghadirkan MIFEE yang merupakan bagian dan program MP3EI, bukan hanya usaha untuk swasembada beras sahaja melainkan secara progresif pemanfaatan peluang pasar yang dianggap membantu pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan kemajuan perkembangan Indonesia itu sendiri.

Konflik berkepanjangan di wilayah Papua mirip seperti di Aceh. Sehingga tidak menutup kemungkinan,konflik-konflik di Papua tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Aceh__politik perang dingin antara GAM dan TNI_ adanya konflik rakyat Papua dan TNI bermuara soal perebutan sumber daya alam. Melalui kekuasaan dan politik dalam bentuk apapun yang terus dimainkan di Aceh, begitu juga dengan Papua. Jika krisis ini masih terus berlanjut tanpa upaya penanganan dan pemahaman dari si pemilik tanah dan lahan. Maka akan sulit bagi rakyat Papua untuk kembali hidup sesuai dengan konteks kehidupan mereka yang sebelumnya dan sangat tergantung dengan tanah dan alam.

Pesan dari penulis buku ini adalah: ”Saudara-saudara, mama-mama, kakak-kakak, adik-adik, bapak-bapak, jangan jual tanah untuk perusahaan. Kasihan, itu milik kalian dan anak cucu dimasa mendatang” yang sudah diterjemahkan dalam bahasa indonesia.

*Pereview: Kasmoini | Sumber: pejuangtanahair.org – April 2017.

*Rehal buku: Korporasi & Politik Perampasan Tanah/ Laksmi A. Savitri/ INSISTPress/ Edisi: I, Oktober 2013.