Kuasa dalam Sinema*
Sebagai negara yang masih berkembang, Indonesia sempat mengalami rezim otoritarian yang bercokol selama puluhan tahun. Hampir tak ada kebebasan sama sekali. Segala sesuatunya dikendalikan demi keberlangsungan stabilitas politik maupun ekonomi. Saat itu, militer adalah penguasa paling disegani. Gerak-gerik sipil diawasi dari ujung rambut hingga ujung kaki. Bahkan, dengan cukup lincah, mereka menciptakan sejarahnya sendiri.
Konstruksi sejarah yang dibangun oleh rezim militer ini ‘diawetkan’ melalui berbagai hal, misalnya pendidikan dan monumen-monumen perjuangan. Sampai hari ini pun, kurikulum pendidikan sejarah kita masih didominasi oleh kegagahan militer sebagai pejuang revolusioner melawan kolonialisme. Sementara itu, kota-kota memoles diri dengan membangun monumen-monumen perjuangan sebagai simbol kemenangan perang. Akan tetapi, apakah dominasi militer berhenti sampai di sini? Sayangnya tidak. Karena cengkeraman ideologi militer juga tersemai dalam satu produk kebudayaan: film.
Buku Film, Ideologi dan Militer ini kemudian mencoba membongkar praktik ideologi militer pada era Orde Baru di Indonesia. Buku ini merupakan adopsi dari skripsi karya Budi Irawanto, staf pengajar pada Departemen Ilmu Komunikasi, Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus direktur Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF). Buku ini pertama kali terbit tahun 1999 oleh Media Pressindo, kemudian pada 2017 diterbitkan ulang oleh Warning Books bekerja sama dengan Penerbit Jalan Baru dan INSISTPress. Masih dengan semangat dan cita rasa yang sama, yaitu untuk membangun wacana film dalam masyarakat, karya ini mengupas soal hegemoni militer dalam sinema Indonesia.
Seturut dengan isi bacaan, pilihan ilustrasi sampul yang digarap dengan ciamik oleh Katalika Project ini merepresentasikan perkawinan silang antara militer dan sinema. Kita bisa melihat setumpuk timah panas ditempatkan pada wadah popcorn yang identik dengan bioskop itu. Tak luput pula pilihan warna putih-hijau yang semakin menegaskan wajah militeristik.
Sebagai karya akademis, buku ini diawali dengan kerangka konseptual yang menjadi fokus kajian. Film dimaknai dalam perspektif praktik sosial dan komunikasi massa, bukan sekadar karya seni atau hiburan belaka. Dalam praktik sosial, film dimaknai sebagai interaksi yang kompleks antara kenyataan sosial dan ideologi kebudayaan. Sedangkan komunikasi massa digunakan sebagai pengurai pesan-pesan, hakikat, fungsi dan efek dari film. Secara sederhana, Budi ingin menjelaskan bahwa film berperan sebagai sistem komunikasi simbolis.
Institusi Sensor
Kajian dalam sekujur buku ini sebagian besar merupakan narasi sosio-historis. Terutama ihwal dominasi-hegemoni militer. Keberadaan militer di Indonesia yang seakan-akan suatu keniscayaan sejarah, bahkan telah terlegitimasi sebagai kebenaran politik, sejak era kolonialisme, demokrasi terpimpin, hingga Orde Baru. Militer bertebaran dalam posisi-posisi strategis kekuasaan, baik pada tingkat eksekutif, legislatif hingga yudikatif.
Tak hanya pada bidang politik, militer ini juga bertugas mengawasi film-film yang beredar. Sejak masuknya bioskop di masa kolonial pada 1900, pemerintah Hindia Belanda mulai waswas atas konten film barat yang dikhawatirkan bakal ‘mencerahkan’ penduduk pribumi. Akhirnya, Belanda membentuk lembaga sensor Commissie voor de Kuering van Films atau Komisi Pemeriksa Film (KPF).
Setelah Belanda akhirnya bertekuk lutut kepada Jepang pada tahun 1942, dalam masa peralihan kekuasaan ini, Jepang menggunakan film sebagai alat propaganda yang efektif. Mereka melarang konten film Hollywood dan menunjukkan kehebatan militer dan budaya Jepang melalui film-film buatannya. Mereka mengganti KPF dengan Sendenbu Eiga Haikyuu Sha atau Dinas Propaganda Tentara Pendudukan Jepang.
Terusirnya Jepang setelah kemerdekaan Indonesia membuat institusi sensor beralih menjadi Panitia Pengawas Film (PPF) dan Badan Pemeriksaan Film (BPF) melalui Dewan Pertahanan Nasional. Lembaga ini bertugas untuk memperkuat identitas bangsa yang baru merdeka dengan melarang film-film yang berbau kontaminasi propaganda asing dan usaha untuk menjatuhkan pemerintahan sendiri.
Ketika Orde Baru mulai berkuasa, lembaga sensor mengalami babak baru. Kerja-kerja sensor semakin diperketat. Berbagai film yang dirasa tak sesuai dengan ideologi rezim Orde Baru harus diberedel atau dipaksa diubah agar sesuai dengan napas Orde Baru. Badan Sensor Film (BSF) naungan Departemen Penerangan bergerak lebih galak dari lembaga sensor sebelumnya.
Bahkan, skenario sebuah film harus memperoleh rekomendasi dari Direktorat Film Departemen Penerangan sebelum syuting dimulai. Setelah syuting selesai dilakukan, rush copy atau film yang belum diedit harus diserahkan kepada institusi yang sama untuk memperoleh petunjuk tentang bagian mana yang harus diedit (halaman 109).
Kerja-kerja institusi sensor yang dijalankan pemerintah merupakan salah satu bukti bentuk kuasa negara atas sinema. Selain menjaga kestabilan ekonomi dan politik, sistem sensor telah berhasil mengkonstruksi narasi sejarah, propaganda hingga keseragaman ideologi.
Ideologisasi “Film Sejarah”
Dalam khazanah sinema Indonesia, film-film yang bertemakan perjuangan kerap dilabeli sebagai film sejarah. Salim Said membedakan kategori film sejarah menjadi dua jenis. Pertama, film tentang manusia dan revolusi, yakni film-film yang berkisah seputar masa-masa revolusi dan sesudahnya. Kedua, film yang disebut dengan ‘dokudrama’, yaitu film yang hendak mengkonstruksi kejadian historis dan heroisme.
Namun, apakah film-film sejarah itu diangkat berdasar realitas atau sengaja dibuat sebagai representasi historis? Profesor kajian budaya dari University of Queensland, Greame Turner, tidak sepakat bahwa film hanya sebatas realitas yang diangkat menjadi kepentingan komersial. Baginya, film adalah medium representasi yang dihadirkan untuk membentuk ide-ide tertentu.
“… film tidak mencerminkan atau bahkan merekam realitas; seperti medium representasi yang lain ia mengkonstruksi dan ‘menghadirkan kembali’ gambaran dari realitas melalui kode-kode, konvensi-konvensi, mitos, dan ideologi-ideologi dari kebudayaannya sebagaimana cara praktik signifikansi yang khusus dari medium” (halaman 17).
Secara khusus, Budi Irawanto dalam buku ini melakukan analisis semiotik terhadap konstruksi relasi sipil-militer dalam teks film Enam Djam di Jogja (1950), Janur Kuning (1979), dan Serangan Fajar (1982). Tiga judul film tersebut merupakan representasi dari peristiwa Serangan Umum 1 Maret dan masa-masa revolusi Indonesia.
Film Enam Djam di Jogja (1950) merupakan produk kedua dari Perfini karya Usmar Ismail. Kisahnya tentang perjuangan bersenjata para pemuda di Yogyakarta demi mempertahankan kemerdekaan Republik. Relasi sipil-militer tergambarkan lewat tokoh-tokoh seperti ayah dan ibu Wiwik, Wiwik dan Endang sebagai sipil. Sedangkan kelompok militer diwakili tokoh Hadi, Mohtar dan Djono.
Dalam film ini, sipil digambarkan sebagai golongan yang penuh keraguan, memiliki kecenderungan kompromis, dan acapkali oportunis. Sedangkan kelompok militer digambarkan sebagai sosok-sosok yang penuh dengan semangat patriotik, kukuh dalam bersikap serta sangat anti-Belanda (halaman 144).
Pada film Janur Kuning (1979) yang disutradarai Alam Rengga Surawidjaja, sosok Soeharto menjadi tokoh sentral yang banyak dibicarakan. Masih berkisah seputar peristiwa Serangan Umum 1 Maret, film ini seakan-akan hendak mengkonstruksi sosok Soeharto sebagai penggagas sekaligus otak intelektual dari peristiwa bersejarah itu.
Sementara, film Serangan Fajar (1982) menjadi pelengkap epos Soeharto dalam fondasi sejarah yang telah dibangunnya. Film ini menarasikan tiga kisah sekaligus, yakni tentang keluarga ningrat, keluarga miskin dan perang kemerdekaan?yang pada akhirnya membentuk satu bangunan makna: sosok Soeharto merupakan tokoh sentral dalam revolusi.
Pendekatan semiotika struktural, yang diterapkan dalam buku ini untuk membongkar praktik ideologi militer, bukan tidak mungkin dapat menjadi sudut pandang dalam metode kepenulisan sejarah, baik pada saat ini atau nanti. Meskipun begitu, metode ini mempunyai kelemahan dasar pada tidak adanya batasan interpretasi, alias multitafsir.
Namun demikian, ikhtiar Budi Irawanto dalam menarasikan sejarah melalui bahasa visual pada buku Film, Ideologi, dan Militer ini mendapati temuan penting bahwa sinema Indonesia tidak hanya sebatas karya seni maupun ingar-bingar media hiburan. Lebih dari itu, film merupakan sebuah alat pengendali, mesin penggerak ideologi hingga strategi untuk menghegemoni yang masih relevan dan dapat bekerja efektif sekarang ini. Seperti yang dilakukan militer pada bulan lalu dengan memutar kembali film Pengkhianatan G 30 S/PKI ke hadapan publik, dan masyarakat kita pun datang berbondong-bondong untuk menontonnya.(*)
*Pengulas: Gunawan Wibisono. Sumber: jurnalruang.com – 20 Oktober 2017.
*Rehal buku: Film, Ideologi, dan Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia/ Budi Irawanto/ Warning Books, Penerbit Jalan Baru, & INSISTPress, 2017.