Sekolah Itu Candu*
Gaudeamus igitur Juvenes dum sumus post jucundum juventutem post molestam senectutem nos Habebit humus…
Bait di atas adalah cuplikan sebuah lagu yang biasanya dilantunkan serentak saat wisuda bersama para insan akademia. Bersama para dosen, guru besar, dan tentunya mahasiswa(i). Saya sendiri mendengarkan lagu ini ketika penerimaan anggota baru Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB) tahun 2014, waktu itu saya sebagai peserta dan sedang ranum-ranumnya mencumbui kehidupan. Jadi bisa dipastikan ada sesuatu yang meletup-letup serta sayup-sayup mengalir di tubuh saya. Itu dulu ketika luka belum begitu menganga. Ya, momen itulah satu-satunya momen yang pernah saya lalui untuk menikmati lagu gaudeamus igitur (baca: belum lulus kuliah). Dan marilah kita bersenang-senang selagi masih muda setelah masa muda yang penuh keceriaan dan setelah masa tua yang penuh kesukaran akan menguasai kita…
Menyoal pendidikan dalam banyak kasus dengan segala sudut pandang di masing-masing wilayah dan pada tatarannya masing-masing memang tiada habisnya. Dan apakah seserius itu? Hanya untuk membahas pendidikan? Memang zaman sudah sedikit berubah pada ranah kemewaktuannya. Terlebih dengan adanya teknologi yang memungkinkan kita dapat mengakses materi-matari dari sekolah di belahan dunia manapun, dan tidak ketinggalan bertatap muka dengan para pakar yang menggeluti bidangnya masing-masing.
Buku ini sudah usang jikalau dibandingkan secara essence dengan zaman sekarang. Judul yang diberikan Roem memang agak menimbulkan spekulasi ke arah Marx, bahwa agama itu candu, apalagi sekolah, dan vice versa. Roem Topatimasang ingin mengajak kita memasuki ranah being dari pendidikan sampai merujuk ke arah method dan praxis yaitu sekolah.
Bab 1 buku ini mengajak kita mundur ke belakang, jauh lebih kebelakang lagi tepatnya di zaman Yunani Kuno yang mensistematisasi kata skhole. Roem mencoba membedah kata sekolah lewat cara demikian. Ia menggunakan pendekatan historis bahwa sekolah atau skhole secara harfiah mempunyai arti “waktu luang” atau “waktu senggang”. Secara singkat dapat dikatakan sebagai “waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar.” Adalah Jogn Comenius, melalui mahakarya yang kemudian dianggap sebagai fons et origo-nya ilmu pendidikan (tepatnya teori pengajaran), yakni kitab Didactica Magna, melontarkan gagasan pelembagaan pola dan proses pengasuhan anak-anak secara sistematis dan metodis, terutama karena kenyataan memang adanya keragaman latar belakang dan proses perkembangan anak-anak asuhan tersebut yang memerlukan penanganan khsusus. Roem kemudian menjelaskan tentang sistem klasikal yang mana terjadi perjenjangan kelas dan tingkatannya berdasarkan cetusan seorang berkebangsaan Swiss, Johann Heinrich Pestalozzi. Dan sistem itu sampai sekarang masih dapat kita temui di banyak-banyak sekolah.
Bab 2 berisi contoh-contoh sekolah yang berada baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Kondisi universitas yang menjadi contoh tentu berbeda saat buku itu ditulis dan diterbitkan. Apakah masih ada wujudnya atau sudah lenyap ditelan waktu? Yang jelas, Roem ingin menunjukkan bahwa sekolah-sekolah bukan hanya sekolah yang terkenal seperti yang selama ini berada di benak kita, akan tetapi sekolah yang tidak terkenal pun dapat menjadi pilihan.
Ada pernyataan yang dapat saya garis bawahi pada bab ini, bahwa nama sekolah dalam bahasa kontingental bisa berarti “aliran pemikiran”. Sehingga terdapat nama sekolah Durkheim yang kita tahu itu. Dan juga di bab ini, penulis menyenggol Sekolah Frankfurt yang mana kita tahu merupakan suatu paguyuban ilmiah para pengusung Mazhab Frankfurt, Sekolah Wina yang merupakan paguyuban para pakar psikologi rintisan Alfred Adler.
Bab 3 dan 4 hanya berupa cuci mata penulis dengan seragam-seragam anak sekolahan dan sempilan gagasan Paulo Freire (yang tentu berbau pembebasan), sehingga saya langsung mengulas bab 5-terakhir yang memang agak (kalau boleh disebut kiri juga saya tidak tahu) menindih sekolah sebagi suatu perusahaan, suatu sistem yang bengis tapi tetap dibutuhkan, pun sekolah adalah lembaga yang harus bernilai benar di kalangan masyarakat kita. Setidaknya itu yang penulis ingin pembaca merenungi kembali ketercerabutannya dengan dunia pendidikan kita.
Pereat tristitia pereant osores pereat diabolus quivis antiburschius atque irrisores
Pendekatan pendidikan di mana proses pembelajaran diutamakan terjadi melalui pengalaman (experiential learning), ala Dewey (2000) memberikan ruang bagi antisipasi, integrasi dan kontinuitas pengalaman individu (ezperienza in forma evolutiva) atas keterbukaan pengalamannya di masa depan. Bagi Roem dia mengambil jalur ini untuk urusan individu dalam proses belajar mengajar. Sebuah keniscayaan jika tidak mengambil suatu stage pada dimensi futuris, yaitu bahwa individu yang dididik sekarang ini akan menjadi anggota warga masyarakat di masa depan (Muttaqin, 2017). Hal ini tentunya kalau memakai Camus akan bertentangan.
Tidak ketinggalan Roem memasukkan Ortega, Bernard Shaw dan psikoanalisisnya Freud untuk menguatkan dan melengkapi paparannya. Buku ini sangat lembut jika dibaca sendirian, tidak terlalu dan juga tidak terlalu kencang untuk ukuran isinya yang ingin merubuhkan suatu tatanan lama. Keutuhan dan kelanggengan sebuah masyarakat akan sangat tergantung dari bagaimana masyarakat itu mendidik generasi mudanya sehingga mereka bisa berintegrasi secara baik di dalam masyarakat. Lebih dari itu, pendekatan pendidikan yang mengutamakan pembentukan individu juga memiliki relevansi erat bagi penguatan masyarakat demokratis. Ini terjadi karena ekspresi diri merupakan bagian dari wujud nyata praksis kebebasan individu, baik dalam pemikiran maupun tindakan.
Quis confluxus hodie Academicorum? E longinquo convenerunt Protinusque successerunt In commune forum
Di dalam buku ini disebutkan ada satu kasus seorang siswa yang dipecat oleh sekolahnya. Murid tersebut bernama Eko Sulistyo, seorang siswa SMA di Yogyakarta. Singkat cerita kasusnya sebagai berikut;
Bermula ketika anak itu mengumumkan hasil penelitian terbatas yang diprakarsai dan dilaksanakannya sendiri tentang pandangan kaum remaja seusianya mengenai kehidupan seksual, sehingga kasus ini juga dikenal sebagai “Kasus Angket Sex Remaja”. Selama beberapa minggu, koran-koran Yogyakarta, Jakarta dan Bandung, melaporkannya secara eksklusif. Lalu, terjadi banjir surat pembaca dan polemik pun berkembang. Dari semua tanggapan umum tersebut, terlihat bahwa masyarakat pada umumnya cenderung tidak bisa menerima keputusan pemecatan Eko. Alasan bahwa Eko melakukan penelitiannya tanpa izin resmi dari pihak sekolahnya dan dari pejabat pendidikan setempat, dianggap sekedar alasan yang dicari-cari dan mengada-ada, bahkan makin memperlihatkan kelemahan dunia pendidikan nasional yang dinilai semakin birokratis dan serba formal, semakin tunduk dan diatur oleh kekuasaan politik, bukan oleh kaidah-kaidah ilmiah dan akademik yang seharusnya. Karena itu, ketika Prof. Dr. Andi Hakim Nasution, rektor IPB waktu itu, yang memang dikenal sangat gandrung dan banyak mencetuskan gagasan pembaharuan tentang penanganan pendidikan bagi anak-anak berbakat, menerima Eko sebagai mahasiswa IPB tanpa perlu ikut ujian saringan masuk, banyak reaksi dari masyarakat menyatakan dukungan mereka dan menganggap keputusan itu jauh lebih tepat, berani dan lebih mendidik. Maka, heboh ini pun segera mereda perlahan-lahan dan kemudian dilupakan orang lagi.
Pada akhirnya sekolah akan menang, walaupun dengan segala macam tuduhan dan penetrasi dari segala arah, makhluk satu ini akan tetap bertahan di singgasananya. Itulah titik temu yang ingin disampaikan Roem dengan mengambil contoh kasus Eko Sulityo.
Terakhir dari saya adalah bahwa manusia, dalam caranya berpikir dan berpengatahuan seharusnya tidak lagi dipandang sebagai semacam tabula rasa-nya Lock, suatu kertas kosong, atau rak perpustakaan, di mana ilmu pengetahuan itu dicurahkan, dituliskan, disimpan, melainkan sebuah ruang di mana pengetahuan, kebenaran dan pemahaman terjadi. Selalu terjadi pembelajaran secara terus menerus dan terjadilah suatu frasa “sekolah itu candu” yang bermakna positif.
Untuk mereka yang faham dan percaya bahwa sekolah hanyalah satu tempat singgah menghabiskan waktu luang yang tersisa sekedar bersuka-ria selagi usia masih muda. Gaudeamus igitur iuvenes dum sumus!
Bahan bacaan:
- Muttaqin, Choirul. Seruput Filsafat Sebelum Kiamat. Bandung: Ish Books.
- Dewey, John. 2000. Democrazia e Educazione. Firenze: La Nuova Italia. Hal. 1
*Sumber: mahasiswaindonesia.net – 2 Mei 2018.
*Rehal buku: Sekolah Itu Candu/ Roem Topatimasang/ INSISTPress, (Cet. Ke-13) 2018.