lewat jendela kecil…

lewat jendela kecil…

Suatu hari, siang yang cerah, Agustus 2005, di satu desa di dataran tinggi Sinjai Barat, Sulawesi Selatan, saya melintas di halaman Sekolah Dasar (SD) di pusat desa. Jam sekolah sudah usai. Kompleks sekolah itu sudah senyap, berbeda dengan beberapa jam sebelumnya yang hiruk-pikuk oleh suara murid-muridnya belajar membaca keras-keras, meniru guru mereka yang membacakan pelajaran, atau ketika mereka sedang bermain saat jam istirahat, berlarian hilir-mudik di pekarangan dan selasar sekolah…

Tiba-tiba, saya mendengar suara bergeser keras dari salah satu ruang kelas yang pintunya separuh terbuka. Seperti umumnya sekolah-sekolah di pedalaman, pintu ruang-ruang kelas sekolah ini juga tak pernah terkunci. Rasa ingin tahu membawa kaki saya melangkah ke arah sumber suara itu. Dan, di dalam ruang kelas yang mestinya sudah kosong itu, saya melihat tiga orang bocah yang –dari ukuran tubuh dan tingkahnya– saya duga belum lagi mencapai usia sekolah. Mereka sedang bergotong-royong menarik satu kursi tinggi –yang biasanya digunakan oleh guru ketika mengawasi ulangan atau ujian– ke arah dinding di mana ada jendela-jendela ventilasi. Ketika tepat sudah berada di bawah salah satu jendela saluran udara tersebut, mereka bertiga memanjat naik ke kursi tinggi tadi, mencoba menggapai jendela kecil di atasnya.

Tapi, tetap saja mereka tak bisa menjangkaunya. Saat itulah mereka menyadari kehadiran saya, lalu menoleh ke arah pintu masuk di mana saya berdiri. Mereka tersenyum tersipu, agak kaget karena mungkin tak menyangka akan ‘kepergok’. Saat itu, saya sudah rampung dengan gerak cepat mengatur diafragma dan luasan bidang gambar pada kamera, sehingga… saya tinggal memencet tombol saja. Klik!

Anak-anak di seluruh dunia sama saja, selalu ingin mencoba sesuatu untuk memperoleh pengalaman, pengetahuan, dan pemahaman baru. Ulah tiga bocah itu sebenarnya adalah suatu bentuk paling purba dari naluri manusiawi untuk mencari dan menemukan, untuk mengetahui dan memahami banyak hal di luar diri mereka. Persis sama seperti saya sendiri yang penasaran ingin tahu apa yang terjadi di salah satu ruang kelas sekolah yang kosong siang itu dan, secara kebetulan, tak sengaja, ‘memergoki’ mereka! Bedanya, tiga bocah itu ingin ‘menengok’ dunia lewat jendela angin gedung sekolah desa mereka, sementara saya ‘mengintip’ dunia ini lewat jendela intai (viewfinder) kamera saya.

Bukankah kita semua sebenarnya melihat dan memaknai dunia ini lewat jendela kecil ‘mata hati’ kita?

Ya, hampir semua foto dalam kumpulan ini tercipta dengan cara yang sama: serba kebetulan, tak sengaja! Saya memang tak pernah meluangkan waktu atau membuat acara ‘khusus hanya untuk memotret’. Kecuali saat masih latihan dan baru belajar menggunakan kamera sekian puluh tahun lalu, saya tak pernah ‘berburu foto’ (photo hunting) seperti yang lazim dilakukan oleh para pemotret selama ini. Lagipula, saya memang tak pernah berminat membuat foto untuk disertakan dalam pameran, festival, atau lomba apa pun.

Jadi, semua foto yang saya buat selama ini adalah dalam rangka kerja saya sebagai guru ‘Sekolah Rakyat’, suatu kerja kerelawanan yang nyaris tak ada hubungannya sama sekali dengan dunia fotografi atau sinema profesional –baik yang akademis, yang artistik, apalagi yang komersial. Kerjaan saya itu –sejak awal 1980-an sampai sekarang– memungkinkan saya berkeliling ke banyak tempat yang selama ini jarang didatangi orang luar, terutama di pelosok-pelosok terpencil di bagian timur Indonesia (Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Papua) dan beberapa negara jiran (Timor Leste, Sarawak, Malaysia, Kamboja, Thailand, Laos, Vietnam, Burma, selain dataran tinggi Nepal, beberapa desa gunung di Jepang, serta pelosok Mongolia Dalam di daratan besar Cina).

Sayangnya, karena penyimpanan foto-foto saya selama ini tidak terlalu bagus, di sini hanya bisa saya tampilkan foto-foto terpilih dari beberapa daerah di Indonesia, itupun terbatas hanya pada kurun waktu 10-15 tahun terakhir.

Dalam pekerjaan ini, saya membutuhkan banyak jenis media untuk berkomunikasi dengan warga setempat –umumnya petani, buruh tani, nelayan, buruh nelayan, dan peramu hasil hutan. Salah satu media yang sungguh ‘bertenaga’ adalah peraga visual dalam bentuk gambar, sketsa, peta, foto, dan rekaman video. Itu sebab saya selalu membawa kamera kemana pun saya pergi. Alat itu sangat membantu saya merekam bentang alam, satwa dan tetumbuhan, pertanda tempat (landmarks), bangunan-bangunan, tapak-tapak khusus, suasana kampung, kehidupan sehari-hari, kejadian-kejadian, serta –yang paling penting– wajah-wajah, aneka kegiatan dan laku warga awam setempat, orang-orang biasa, manusia yang senyatanya.

Mungkin memang agak atau bahkan terlalu ‘antroposentris’, tapi sebenarnya saya tak mengkhususkan diri pada tema tertentu. Semua subjek foto saya adalah peristiwa, keadaan, mahluk, atau apa pun yang terjadi atau tampil begitu saja di sekitar saya saat itu. Jika mata saya tertarik, lalu otak dan naluri saya tergerak untuk merekamnya dengan kamera, saya pun memotretnya seketika itu pula, tanpa pikir panjang. Kalau pun saya ‘bersengaja’ ingin memotret subjek-subjek tertentu –yang saya butuhkan dalam kerjaan saya untuk menjelaskan suatu tema sosial, teorama kehidupan, atau kenyataan ekologis– maka saya akan mencarinya di sekitar terdekat saja, seketika itu pula. Jika perlu, saya rela menunggu sampai subjek itu tampil di sana sealamiah mungkin, apa adanya, tanpa rekayasa atau rekonstruksi. Jika subjek itu ternyata tak juga tampil atau terjadi, maka saya pun akan menggunakan media lain, bukan foto.

Singkatnya, semua foto bikinan saya sebenarnya hanyalah ‘hasil sampingan’ (bonus!) saja dari perjalanan atau pekerjaan saya di suatu tempat dan waktu tertentu, bukan sebaliknya. ***

Ada teman yang bilang, foto-foto bikinan saya itu ‘natural’. Apapun maksudnya, saya tak peduli. Saya tak hirau dengan semua sebutan atau banyak sekali penamaan tentang konsep, aliran, gaya, atau jenis karya fotografi. Kalau pun terpaksa harus menamainya, mungkin foto-foto saya lebih baik disebut saja beraliran ‘tak sengaja’ (unintentionalism), atau ‘apa adanya’ (spontanism)? Terserahlah!

Tak berarti saya sama sekali tak mempelajari seluk-beluk fotografi. Saya pernah membaca, menyimak, dan sempat kagum pada foto-foto bagus hasil kameranya Margaret Bourke-White dan Eugene Smith di tahun-tahun awal majalah foto berita Life. Juga pada hasil jepretannya Dorothea Lange (Migrant Worker’s Family, 1936) yang mampu menggerakkan keharuan khalayak awam Amerika menuntut perubahan sosial. Saya juga hormat pada karya-karya Ernest Cole (House of Bondage, 1967) yang menelanjangi sisi kelam sistem apartheid di Afrika Selatan. Tentu, saya pun terpesona oleh foto-foto legendarisnya Sebastiao Salgado (terutama dalam kumpulan Other Americas, 1986; Workers, 1993; dan The Children: Refugees and Migrants, 2000). Dan, last but not least, saya pun terkesan oleh karya-karya tak lekang zaman dari Robert Capa bersama kelompok ‘Magnum’ nya. Meskipun sedikit banyak saya terpengaruh oleh mereka, namun saya tetap tak ambil pusing: apakah foto-foto buatan saya sendiri memang bisa atau tidak disebut beraliran fotografi pewartaan, dokumenter, le camera verité, etnografis, atau entah apa nama lainnya lagi?

Sama seperti kebanyakan orang, saya pun suka melihat foto-foto yang bagus, indah, cantik. Kalau sedang punya uang saku lebih, saya suka membeli majalah foto National Geographic di toko buku eceran. Tapi, saya sendiri tidak berminat membuat foto-foto ‘megah’ (pictorial) sejati, apalagi foto yang semata-mata ‘murni sebagai ungkapan keindahan seni’. Meskipun, saya tetap bisa menerima laku dan sikap Man Ray, sang perintis teknik ‘efek solarisasi’ yang enteng-enteng saja melanggar semua aturan mapan dan baku fotografi dengan cara ‘mengerjai’ foto-foto aslinya di kamar gelap. Dia lah yang pernah bilang bahwa fotografi bisa saja menjadi “jalan ke alam bawah sadar” (an avenue into the subconscious) atau “dunia di sebalik yang nyata” (a world beyond reality). Saya pun tetap hormat pada John Hartfield yang suka sekali menumpuk campur-aduk foto-foto secara ‘tak beraturan’ untuk menyatakan kritik sosialnya. Yang jelas, saya cenderung sependapat dengan Laszlo Nagy yang percaya bahwa fotografi “…punya kekuatan untuk mengubah kebudayaan secara mendasar” (had the power to transform culture in fundamental ways). Sampai taraf tertentu, saya merasa senafas dengan Aleksander Rodchenko dan para kamerad ‘Muskovich’ nya yang memanfaatkan kekuatan fotografi untuk menghadirkan “seni yang penad dengan kebutuhan kelas pekerja” (an art relevant to the needs of working class people).

Namun, saya sama sekali tak berniat pongah mematut-matut diri dengan nama-nama besar itu. Saya menyebut dan mengutip mereka sekedar untuk membantu menjelaskan pengertian, sikap, dan perlakuan saya sendiri terhadap fotografi (dan juga film). Lagipula, mereka semua adalah para profesional sohor yang memang memilih dunia fotografi sebagai pekerjaan, bahkan sumber penghidupan utamanya. Mereka didukung oleh kelengkapan peralatan kelas wahid, sumberdaya serba cukup, dan organisasi besar. Adapun saya hanyalah seorang amatiran tanpa peralatan hebat, tanpa dukungan sumberdaya dan organisasi khusus. Asal muasal saya mengenal dan kemudian menyenangi fotografi pun ‘tak bersengaja’, gara-gara seorang kawan dekat selalu berbaik hati meminjamkan pada saya kamera mahalnya (masih SLR-analog), saat saya masih mahasiswa ‘berkantong bolong’ pada akhir 1970-an.

Bahkan, kumpulan ini pun sebenarnya dihasilkan secara ‘tak bersengaja’ pula. Beberapa kawan pernah menegur bahwa sayang kalau foto-foto bikinan saya –yang jumlahnya lumayan banyak– tidak bisa dibagikan pada banyak orang, paling tidak, sebagai ‘cenderamata’ bagi para kenalan dan kerabat –sesuatu yang tak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya. Saya rasa, tak ada salahnya ikut saran mereka. Kenapa tidak?
Jadi, silakan menikmati kumpulan ini sebagai ‘cenderamata’, dalam artian harafiahnya –sebagai ‘cenderamata’ sungguhan– maupun dalam makna perlambangnya –sebagai ‘tanda’ atau ‘jejak mata’ seorang pemotret amatir tentang orang-orang, keadaan, dan kehidupan dari beragam masa dan tempat yang selama ini tak banyak ditampilkan di ruang-ruang pameran, majalah-majalah, dan buku-buku fofografi ‘arus utama’.

Beta Pettawaranie, Kaliurang, 20 Mei 2018.

*Pengantar buku: LEWAT JENDELA KECIL: kumpulan foto & tutur visual terpilih Beta PettawaranieBeta Pettawaranie/ INSISTPress dan Perdikan, 2018.