Kritik Terhadap Dunia Sekolah

Kritik Terhadap Dunia Sekolah*

Buku ini mengetengahkan kritik penulis terhadap dunia pendidikan khususnya persekolahan. Catatan kritis dan mendalam yang disampaikan penulis dapat memberikan cara pandang berbeda dalam menyikapi persoalan pendidikan yang begitu kompleks di Indonesia. Cara pandang yang disajikan penulis begitu menarik sehingga patut kita simak.

Penulis menggali asal kata sekolah dari era Yunani. Pada masa itu, untuk mengisi waktu, orang Yunani mendatangi tempat atau orang pandai untuk mempertanyakan apa saja yang ingin mereka ketahui. Kegiatan tersebut dinamakan skhole, scola, atau schola, yang berarti waktu luang atau waktu senggang yang digunakan khusus untuk belajar. Kebiasaan itu menjadi sesuatu yang rutin. Orang tua kemudian menyerahkan anak-anaknya ke orang yang dianggap pandai untuk mengisi waktu luang mereka. Pada momen tersebut pula ada pergeseran dari scola materna (pengasuhan ibu sampai usia tertentu) menjadi scola in loco parentis (lembaga pengasuhan anak sebagai pengganti ayah dan ibu) (hal. 6-7).

Nenek moyang kita, sebut penulis, memiliki tradisi serupa yang diwarisi dari anak benua india (ashram) yang kemudian dari tradisi jazirah arab (madrasah). Hal yang menjadi problem saat ini menurut penulis adalah sekolah yang semula menjadi pengisi waktu luang kemudian mewujud sebagai suatu sistem kelembagaan pendidikan dan dianggap sebagai hakikat pendidikan (hal. 10).

Kemudian penulis memaparkan ragam penggunaan istilah persekolahan. Ragam yang disebutkan mulai dari Universitas Rockefeller yang menghasilkan para pemegang nobel, Akademi Jakarta ‘sekolahnya’ para budayawan, Sekolah Frankfurt sebagai aliran pemikiran ilmu sosial, Sesame Street School acara anak-anak di televisi, sampai sekolah jarak jauh (hal. 11-17).

Penulis memaparkan, bahwa persekolahan tidak selalu formal. Ada juga sekolah yang tidak menyediakan ijazah atau gelar akademis. Sekolah yang hanya mempersyaratkan falsafah punya ilmu dan amalkan seperti halnya pondok pesantren yang ada di pedalaman Indonesia. Meskipun saat ini, menurut penulis, pesantren pun sudah terbawa arus dan menjadi duplikasi dari sekolah umum karena “ikut-ikutan” meniru kurikulum resmi, membuat jadwal, ruang kelas, dan ijazah. Bahkan mereka membuat perguruan tinggi tanpa melihat sumber daya yang dimiliki. Kondisi ini yang menyebabkan pesantren kehilangan identitas khas dan kemandiriannya (hal. 19).   

Kritik lain yang menarik adalah soal penyeragaman. Sekolah menjadikan anak-anak menjadi seragam, mulai dari pakaian, mata pelajaran, bahasa dan cara bicara, tingkah laku, dan sampai akhirnya kepala dan isi hati anak-anak bangsa. Selain itu, sekolah jelas, tidak bebas nilai dan netral. Sehingga sekolah menjadi alat untuk pewarisan nilai-nilai dan melestarikan nilai-nilai resmi yang berlaku dan direstui oleh penguasa (hal. 27).

Penulis juga menghadirkan bahsan menarik tentang sekolah anak-anak laut di Matigola, perkampungan tertua Orang Bajo di Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Hal unik di kawasan pesisir ini adalah ketika anak-anak didik diminta untuk menjemput para gurunya yang tinggal di pulau yang berbeda. Jika mereka terlambat menjemput, maka mereka harus mencari ikan dan memberikan hasil tangkapannya tersebut sebagai bentuk hukuman.  Hal yang lucu adalah anak-anak itu justru senang ketika diberi hukuman. Mereka asyik bermain air dan menangkap ikan, tidak menganggap hukuman tersebut sebagai beban. Penulis menduga, hukuman itu justru sebagai sekolah mereka yang sebenarnya, menyatu dengan alam yang mereka hadapi. Kondisi tersebut menjadi kritik bagi perencana dan pembuat kebijakan yang seringkali membuat kurikulum sekolah tidak membumi, juga penyajiannya yang membosankan (hal. 56-57).

Sekolah juga seringkali tidak berpihak pada pihak yang terpinggirkan. Terkait lokalitas, sekolah tidak mengajarkan anak didik untuk menghargai hutan dan tanah ulayat maupun hasil bumi yang ada di sekitar mereka (hal. 67). Problem lainnya adalah perbaikan sistem pendidikan nasional sangat bersifat tambal sulam (melioristik) dan cenderung menguatkan pada pendekatan kuantitatif. Perbaikan mutu berarti penambahan jumlah gedung, peningkatan jumlah dan kemampuan guru, serta sarana dan prasana belajar (hal. 75). Hal yang terjadi adalah bongkar pasang dan hanya menyentuh permukaan (epifenomena) (hal. 81).

Sekolah telah terinternalisasi begitu dalam dalam keseharian. Menjadi imperatif dan gejala ketidaksadaran kolektif. Seseorang akan merasa gagal ketika gagal bersekolah atau mencapai tahapan tertentu di jenjang persekolahan (hal. 96). Sebagai penutup, penulis mengutip Bylinsky, menyatakan agar sekolah menjadi oasis, suatu tempat bagi seseorang untuk memuaskan dahaga keingintahuannya, mewujudkan utopia-utopia dan imajinasi kekaryaannya agar tidak menjadi mubazir dan sekadar menjadi fatamorgana (hal. 112)

Dalam karyanya ini, penulis banyak mengutip pedagog-pedagog kritis, seperti Paulo Freire, Richard Shaull, Phillip H. Coombs, Paul Goodman, dan pemikir lainnya. Buku ini menjadi amat penting untuk dibaca oleh baik para pemerhati, praktisi, maupun pengambil kebijakan pendidikan di Indonesia.

*Peresensi: Anggi Afriansyah, Peneliti Sosiologi Pendidikan di P2 Kependudukan LIPI. Lansir dari: kependudukan.lipi.go.id – 13 Agustus 2018.

*Rehal buku: Sekolah Itu Candu/ Roem Topatimasang/ INSISTPress, (Cet. Ke-13) 2018.