Dari Piyaos ke Pepsi Perubahan Tradisi Konsumsi Air di India*
Pendahuluan
Gelombang gerakan pelestarian lingkungan hidup mencapai puncak tertinggi pada periode ‘70-an. Salah satu penyebabnya adalah konferensi lingkungan hidup yang diselenggarakan oleh PBB di Stockholm, Swedia. Selain itu, pada tahun tersebut terjadi gelombang industrialisasi dalam skala besar di berbagai negara berkembang karena masuknya investasi asing(1). Dengan hal ini, publik diingatkan kembali perihal relasi yang terjalin antara manusia dengan alam yang ditempatinya. Hal tersebut juga berkaitan dengan wacana pembangunan berkelanjutan.
Salah satu gerakan pelestarian lingkungan hidup yang kemudian banyak dikenal adalah gerakan Chipko. Gerakan ini berawal ketika tujuh puluh empat perempuan di kota Reni, bagian utara India, memeluk erat pohon-pohon di hutan yang hendak ditumbangkan oleh perusahaan-perusahaan besar. Dalam bahasa Hindi, Chipko memiliki makna “memeluk”. “Gerakan inilah yang pertama mengajari saya tentang air. Para perempuan ini mengatakan bahwa hutan tidak hanya menumbuhkan dan membesarkan pohon untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan,” terang Vandana Shiva dalam wawancaranya bersama In Motion Magazine. “Hasil nyata hutan adalah konservasi air dan udara segar,” ujarnya.
Di India, perempuan memegang peran pemurnian air secara tradisional untuk menyediakan air yang sehat. Di sisi lain, pembangunan industri secara besar-besaran di India mengancam ketersediaan sumber air bersih dalam tanah karena upaya-upaya korporasi untuk memprivatisasi air. Pengalaman penolakan privatisasi air pada awal ‘70-an ini kemudian dinarasikan oleh Shiva ke dalam bukunya yang diberi judul Water Wars: Privatisasi, Profit dan Polusi (2001).
Dari Kendi Menuju Botol-botol Plastik
Jal Maindirs adalah gubuk kecil beratapkan jerami yang di dalamnya tersedia kendi berisi air yang dibagikan secara cuma-cuma untuk siapapun yang kehausan. Kebiasaan tersebut adalah salah satu budaya India yang kerap dikenal sebagai Piyaos. Munculnya komersialisasi air minum di India menyadarkan Shiva bahwa saat ini telah muncul perbenturan paradigma mengenai kebudayaan air. Di satu sisi, ada kebudayaan yang melihat air sebagai sesuatu yang sakral dan memperlakukannya sebagai tugas untuk mewujudkan suaka hidup. Di sisi lain, ada kebudayaan yang memandang air sebagai komoditas dan kepemilikan air berikut penjualannya merupakan hak fundamental korporasi. Shiva mengkritik kepemilikan air sebagai hak fundamental korporasi dan menggambarkannya sebagai “ekonomi koboi”.
Ekonomi koboi digambarkan Shiva sebagai sistem ekonomi yang berlandaskan gaya berpikir koboi tentang barang milik privat dan aturan kelayakan. Ekonomi koboi hadir dengan landasan pemikiran Qui prior est tempore, potior est in jure (orang yang pertama datang adalah orang yang memperoleh hak). Iklim berpikir yang demikian dianggap Shiva sebagai pemicu munculnya hak-hak absolut untuk memiliki, menjual, dan memperdagangkan air, serta lebih parahnya lagi memonopoli air.
Kepemilikan dan hak atas air di dalam masyarakat tradisional India diatur sebagai Hak Riparia. Dengan Hak Riparia, masyarakat dapat menggunakan air sungai untuk kebutuhan konsumsi dan pengairan lahan mereka, selama sungai tersebut terjaga keberadaannya. Sebab, dalam hukum ini, sungai dan air tidak dilekatkan dengan hak kepemilikan individu(2). Tradisi yang telah lama dijalankan oleh masyarakat tradisional India ini bergeser dengan adanya pembangunan perusahaan pengemasan air mineral.
Perusahaan yang menghasilkan polusi atau limbah air tersebut meresahkan Shiva. Ia menuliskan bahwa sebelum India memberlakukan Undang-Undang Air pada tahun 1974, pengadilan cenderung membela industri untuk mengotori air. Hal ini hampir serupa dengan Amerika Serikat yang telah terlebih dahulu memberlakukan Undang-Undang Clean Water Act mengenai konservasi air pada 1972. Sayangnya, undang-undang pengontrol polusi air ini hanya berlaku efektif hingga 1977. Tekanan dari pihak industri menyebabkan pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan izin limbah perdagangan yang kemudian dikenal dengan sebutan TDPs (Tradable Discharge Permits). TDPs menggeser paradigma regulasi yang awalnya bertujuan untuk mengontrol limbah menjadi regulasi yang menetapkan standar kualitas air dan limbah yang boleh dibuang ke sungai. TDPs seolah menggambarkan sikap industri di Amerika pada waktu itu; dengan rendahnya biaya kontrol polusi, industri akan menjual hak produksi limbahnya. Di saat yang sama, Bank Dunia kerap mengucurkan dana bantuan untuk teknologi-teknologi yang berujung pada privatisasi serta kelangkaan air.
Shiva menilai bahwa hak-hak dan pengelolaan air secara kolektif merupakan kunci bagi konservasi air. Air hanya akan tersedia ketika sumber air diperbarui dan digunakan sesuai batas kebaruan. Terkadang, peranan mitos yang berkembang dalam masyarakat berfungsi sebagai kendali dan alat untuk mempertahankan ekologi. Tindakan sakral seperti merawat pohon adalah penggambaran simbol relasi kosmos dan makrokosmos. Hal ini berkaitan dengan ajaran Prakriti yang menempatkan perempuan dalam tataran tertinggi untuk bersinergi dengan ekologi. Air memiliki peranan penting dalam siklus ekologi karena ia ada di sebagian besar luas wilayah Bumi. Selain itu, air dianggap relatif mudah untuk dijadikan sebagai indikator terjadinya kerusakan lingkungan(3). Sayangnya, skema pengelolaan air di dunia lebih banyak berbasis pada asumsi reduksionisme yang mengandaikan bahwa alam bukanlah sesuatu yang sempurna.Reduksionisme sendiri dimaksudkan Shiva sebagai suatu keyakinan dalam ilmu pengetahuan yang mereduksi kemampuan alam untuk meregenerasi diri dan setiap perhitungan dari sistem sumber daya alam adalah hal-hal yang menghasilkan laba melalui penjarahan dan ekstraksi(4).
Kegemasan terhadap kebijakan Bank Dunia
Sistem kapitalisme dianggap berkontribusi besar dalam kerusakan lingkungan melalui pembangunan industri. Salah satu bentuk kerusakan dapat berupa pencemaran limbah yang berpengaruh pada lapisan tanah adalah dengan adanya sampah plastik. Shiva menyampaikan keresahannya karena daerah Jaipur ditempati pabrik Aquafina, anak perusahaan Pepsi, yang menggunakan plastik untuk pengemasannya. Hal ini berseberangan dengan tradisi masyarakat di Jaipur yang menggunakan Jal Maindris yang menandai bahwa air bebas untuk dikonsumsi tanpa merusak siklus air dengan tumpukan plastik kemasan.
Komodifikasi air inilah yang kemudian disebut oleh Jack Hirshleifer dengan penambahan nilai jual karena adanya perubahan cara pengemasan terhadap air dan menyebabkan kelangkaan pada daerah lainnya(5). Kolaborasi dengan pabrik Monsanto menggiring ke arah penyulingan untuk air bersih dan layak konsusmsi dikarenakan adanya limbah dan polusi air. Tidak hanya Aquafina saja yang mengadakan pengemasan, tetapi juga Coca-Cola dengan produk Kinley. Secara tidak langsung kedua perusahaan tersebut bersaing dengan produk lokal seperti Perrier, Naya, Poland Spring, Evian, dan lain sebagainya.
Pabrikasi air oleh perusahaan besar akhirnya memilih beberapa wilayahnya masing masing, seperti Nestle yang memiliki pabrik di wilayah Samalka, Haryana. Pepsi dengan pabriknya di Roha, Maharsthra, Kosi, Bazpur, Kolkata, dan Bangalore. Sedangkan Coca-Cola mengemasnya di Delhi, Mumbai, dan Bangalore. Kemudian pendistribusian dilakukan ke seluruh kawasan India.
Limbah Plastik Sebagai Salah Satu Indikator Antroposen
Salah satu bukti geologis epos Antoposen adalah dengan adanya limbah plastik yang tidak terurai sejak paruh kedua abad XX sebagai simbol gaya hidup modern. Limbah plastik yang dihasilkan oleh industri pengemasan air menjadi ancaman degradasi lingkungan, meskipun persentase air kemasan hanya berada pada angka 14%. Namun, limbah plastik yang dihasilkan pada 1970-an sudah mencapai 200 juta galon dan terus meningkat hingga 6 miliar pada 1998. Tidak hanya sampah berukuran besar saja yang dihasilkan, tetapi juga mikroplastik dari hasil pembuangan limbah industri pengemasan air. Sampah ini bertebaran di perairan terbuka, seperti danau dan laut. Pada 2013 sampah mikroplastik bahkan telah mencapai angka 299 miliar ton.(6)
Jumlah penggunaan plastik kini kemungkinan besar bisa lebih besar dari produksi limbah alumunium yang digunakan oleh minuman berkarbonasi yang seperti Pepsi dan Coca-Cola yang bercokol di India pada periode sebelumnya(7). Penggunaan bahan plastik untuk mengemas minuman dinilai lebih praktis karena ringan dan lebih fleksibel.
Penutup
Shiva, melalui buku Water Wars ini membeberkan dengan rinci tiap bagian dari dampak pembangunan terhadap siklus alami air. Meskipun objek utama yang dibahas pada buku ini adalah air, ia tidak hanya menyajikan narasi politik mengenai perebutan kekuasaan. Ia juga menyinggung sampah-sampah yang dihasilkan dari proses komodifikasi air. Jika dikaitkan dengan isu Antroposen yang sedang santer dibicarakan, buku ini mampu menjelaskan bahwa seiring industrialisasi di negara berkembang, ribuan ton sampah plastik terproduksi sebagai bukti lingkungan yang terdegradasi. Di sisi lain, komodifikasi air oleh pihak-pihak tertentu kemudian dianggap sebagai suatu hal yang wajar dan patut diterima.[]
- Hal Hill. Investasi Asing dan Industrialisasi di Indonesia. LP3ES. Jakarta: 1990., hlm 1
- Vandana Shiva. Water Wars: Privatisasi, Provit, dan Polusi. Insist dan Walhi. Yogyakarta: 2002., hlm. 24
- RTM. Sutamiharja. Pertumbuhan Industri dan Masalah Lingkungan dalam Pembangunan: Mencari Keserasian Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Prisma. September 1978. Hlm., 7-8
- Mansour Fakih. Pengantar dalam Vandana Shiva. Bebas dari Pembangunan: Perempuan, Ekologi dan Perjuangan Hidup di India. Yayasan Obor. Yogyakarta: 1997. hlm. xxii-xxiv
- ______Op.cit. hlm., 18
- Jan Zalasiewicz, et.al. The Geological Cycle of Plastic and Their Use as A Stratigraphic Indicator of The Anropocene. Elsevier. 18 January 2016. Page. 6
- ______Op.cit. hlm. 116
Daftar Pustaka
Hill, Hal. Investasi Asing dan Industrialisasi di Indonesia. LP3ES. Jakarta: 1990
Shiva, Vandana. Water Wars: Privatisasi, Profit, dan Polusi. Insist dan Walhi. Yogyakarta: 2002
——————. Bebas dari Pembangunan: Perempuan, Ekologi dan Perjuangan Hidup di India. Yayasan Obor. Yogyakarta: 1997
Sutamiharja, RTM. Pertumbuhan Industri dan Masalah Lingkungan dalam Pembangunan: Mencari Keserasian Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Prisma. September 1978., hlm.7-8
Zalasiewicz, Jan dkk. The Geological Cycle of Plastic and Their Use as A Stratigraphic Indicator of The Anthropocene. Elsevier. 18 January 2016.
*Perehal: Khumairoh dan Krisanti Dinda. Sumber: BALAIRUNG. Vol. 1 No. 1 Tahun 2018.
*Rehal buku: Water Wars: Privatisasi Profit dan Polusi/ Vandana Shiva/ Achmad Uzair (penerjemah)/ INSISTPress dan WALHI, 2002.