Apakah Masa Sekolah Menyenangkan?*
Apa yang kalian pikirkan tentang kata sekolah? Pasti sebagian dari kalian ada yang berpikir sama dengan saya. Ada banyak teman, guru-guru, belajar, kantin, upacara, dan lain sebagainya. Selama 12 tahun kita wajib merasakan sekolah, mulai dari SD, SMP, dan SMA.
Ada salah satu lirik Alm. Chrisye mengatakan, masa yang paling indah adalah masa di saat sekolah. Mungkin bagi sebagian orang, sekolah memang hal yang menyenangkan, tetapi itu tidak terjadi pada saya. Saat sekolah saya sering telat, jarang mengerjakan pekerjaan rumah, terkena razia rambut, dan juga bolos saat pelajaran berlangsung. Entah apa yang menjadikan saya melakukan itu semua, padahal itu adalah perbuatan yang salah. Namun, bagi saya itu merupakan hal yang paling indah.
Bagi saya, sekolah itu menjenuhkan. Kita dituntut untuk bersaing satu sama lain meraih juara satu. Sehingga, kebanyakan melakukannya dengan cara yang salah seperti mencontek. Kemudian kita juga harus berseragam mengenakan pakaian dan sepatu. Itu hanya omong kosong, masih banyak yang memakai seragam berwarna putih, tetapi ada juga yang warnanya sudah pudar/kuning. Apakah itu yang dinamakan seragam?
Setelah membaca buku yang berjudul “Sekolah Biasa Saja” saya semakin tahu betapa buruknya sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Dunia pendidikan di Indonesia seakan tak pernah berhenti menampakkan wajah buramnya, lebam di sekitar kanan dan kiri diremukkan oleh kepentingan yang merajainya. Sekolah menjadi tempat bisnis yang paling menguntungkan, mencari laba sebesar-besarnya dan bukan ingin mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sepertinya yang hitam tidak selalu gelap, ada cahaya yang bersembunyi di baliknya. Cahaya yang selalu menawarkan harapan baru. Seperti yang dilakukan Toto Rahardjo, ia mengelola sekolah alternatif yang berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara. Nama sekolah tersebut ialah SALAM (Sanggar Anak Alam).
Bagi Sanggar Anak Alam, sekolah itu ya alami. Mengalir sesuai dengan apa yang ada pada diri anak tersebut. Bukan sesuatu yang harus dipaksakan, sehingga menyandera atau bahkan mematikan kreatifitas anak. Alami yang dimaksud bukan letaknya saja yang di sekitar alam (di tengah sawah), akan tetapi karena anak-anak belajar dari lingkungan di sekitarnya, alamiah; baik sosial, budaya, dan alam itu sendiri.
Sekolah SALAM juga mengajarkan kita bahwa prestasi itu tidak harus mengalahkan orang lain. Kita belajar sama-sama tanpa ada yang menjatuhkan. Sekolah ini juga mempunyai sistem pengajaran bahwa guru dan orang tua sama-sama ikutan belajar, sehingga mereka juga mengetahui perkembangan anak. Mereka memiliki kurikulum berbasis riset, mendekatkan sekolah kepada kehidupan nyata.
Buku “Sekolah Biasa Saja” mengenalkan seperti apa pendidikan yang seharusnya dilakoni oleh anak. Pendidikan yang menempatkan anak ke dalam situasi-situasi yang menyokongnya, bukan mengekangnya. Pendidikan yang menempatkan anak sebagai subjek, bukan sebagai objek. Namun sayang, semangat pendidikan yang sebenarnya telah lama di-idealkan oleh Bapak Pendidikan Indonesia, malah tergerus sedalam-dalamnya.
Seharusnya sekolah itu layaknya suatu taman, yang menghadirkan suasana kegembiraan. Taman yang nyaman dan setiap orang bisa mengukir kenangan. Bukan seperti penjara yang membelenggu sehingga membuat manusia tidak memiliki harapan. Sudah seharusnya pemerintah mengkaji ulang tentang sistem pendidikan yang selama ini terjadi.
Terakhir, apa yang kalian rasakan saat bersekolah? Apakah kalian merasakan hal yang sama dengan saya. Seakan sekolah itu hanya untuk mendapatkan ijazah semata. Tidak ada proses belajar yang menyenangkan sama sekali.
*Pengulas: Wahyu Heri. Lansir dari: bacatangerang.com – Sabtu, 27 Oktober 2018.
*Rehal buku: Sekolah Biasa Saja: Catatan Pengalaman Sanggar Anak Alam (SALAM)/ Toto Rahardjo/ INSISTPress, 2018.