FIKRI DISYACITTA
Mahasiswa Program Pascasarjana Politik Pemerintahan UGM
Email: fikridisyacitta@gmail.com
McMahon, Paul. 2017. Berebut Makan: Politik Baru Pangan. Yogyakarta: Insist Press
Kebijakan impor beras sebesar 500.000 ton pada awal tahun 2018 lalu berhasil memancing masyarakat untuk berpolemik. Pendapat yang menolak kebijakan pemerintah tersebut mengkhawatirkan, impor dalam jumlah besar akan berdampak pada turunnya harga jual hasil panen petani dalam negeri. Beberapa kawasan lumbung pangan yang tengah surplus saat masa panen raya mulai Februari – Maret 2018 seperti kabupaten dan kota di Jawa Tengah, tegas tidak menghendaki masuknya beras dari Vietnam dan Thailand ke dalam wilayahnya demi melindungi nasib petani lokal dari ancaman kejatuhan harga jual. Perdebatan semakin hangat ketika spekulasi liar bermunculan dalam merespon langkah kontroversial Presiden Joko Widodo. Ada yang mengaitkan keputusan impor beras ini sebagai strategi partai-partai pemerintah melalui pos kementerian untuk mengakumulasi dana politik melalui pos anggaran negara untuk mempersiapkan diri menjelang Pemilu 2019. Ada pula yang menyebutkan bahwa pemberlakuan impor dalam jumlah besar membuktikan jika Indonesia saat ini tidak berdaulat pangan di hadapan negara asing.
Kasus ini merupakan ilustrasi bahwa persoalan pangan memiliki dimensi politik yang kompleks dan berskala global sehingga menarik untuk dikaji. Sejak di sektor hulu, seorang petani miskin di pedesaan harus menghadapi realitas ketimpangan kelas sosial yang nyata ketika berhadapan dengan pemilik lahan atau tengkulak. Di parlemen nasional, soal ketersediaan pangan bisa menjadi instrumen yang efektif bagi kelompok oposisi untuk mendelegitimasi pemerintah. Sedangkan dalam pergaulan internasional, pangan menjadi indikator bagi sebuah negara untuk dapat disebut berdaulat atau dependen terhadap kekuatan asing. Berangkat dari semangat tersebut, artikel ini kemudian mencoba untuk melakukan telaah terhadap literatur yang sudah ada mengenai isu pangan dalam tinjauan ilmu politik. Setelah membahas kekuatan dan kelemahan dari berbagai literatur yang dijadikan bahan perbandingan, tulisan ini berusaha mengkaji kontribusi ilmiah buku MacMahon bagi perkembangan kajian politik pangan kontemporer.
Secara momentum, tema politik pangan diperbincangkan secara serius ketika dampak negatif Revolusi Hijau terhadap kelestarian ekologi maupun kedaulatan pangan negara berkembang semakin terlihat. Tidak heran, karya-karya yang mengambil pendekatan kritis terhadap sistem pangan dunia cenderung melihat fenomena bencana kelaparan atau ketergantungan suatu negara pada komoditas impor sebagai desain negara-negara maju yang menghendaki ketimpangan sistem ini agar tetap mapan. Selain kesamaan pendekatan, ciri khas buku-buku pangan bertendensi kritis adalah penggunaan analisis historis untuk memaparkan transformasi politik pangan global yang terjadi dari masa ke masa.
Misalnya, George (2007) mengidentifikasi bahwa dikenalnya teknik pertanian pada masa Neolitikum merupakan penanda awal kemunculan sistem pengelolaan pangan berbasis pembagian kerja. Kepala suku sebagai pemilik lahan menyadari bahwa pangan merupakan kebutuhan elementer yang harus dikuasai untuk mengendalikan kepatuhan masyarakat yang mayoritas adalah petani. Dari sinilah kemudian petani dibebani kewajiban menyetor hasil bumi ke lumbung penguasa. Perangkat birokrasi maupun keamanan lalu dibentuk untuk menjamin penguasaan terhadap pangan tetap berada di tangan kepala suku. Pada perkembangannya, pola dasar politik pengelolaan pangan model primitif ini tetap bertahan, hanya saja aktor dan metodenya berbeda, menyesuaikan fase sejarah peradaban manusia. Di masa modern, menurutnya, negara maju sebagai penguasa politik berkolusi dengan korporasi agribisnis multinasional untuk menciptakan sistem pangan yang tidak adil.
Sementara dalam buku lain, Nestle (2007) mempersempit konteks tulisannya pada kasus Amerika. Fokusnya pada bagaimana pola makan dan konstruksi tentang “makanan bergizi” selalu mengalami perubahan dalam sejarah peradaban Amerika, akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa kemampuan individu warga negara untuk memilih makanan sejatinya adalah persoalan politis. Sebab, jauh sebelum sebuah makanan hadir di meja makan konsumen, ada proses negosiasi antara perusahaan makanan yang ingin produknya laku di pasaran, dengan pemerintah sebagai otoritas yang berwenang mengeluarkan lisensi “makanan sehat dan bergizi”. Masyarakat sebagai konsumen yang tidak memiliki kuasa untuk memilih sendiri makanan sehat selain dari yang ditawarkan oleh pasar dan direkomendasikan oleh pemerintah perlu mengorganisasikan diri dan mengusung ide vote with forks (pilih makanmu sendiri-pen.) (Nestle 2007). Artinya, masyarakat harus memiliki otonomi untuk lepas dari sistem pangan yang kapitalistik. Caranya, adalah dengan memproduksi sendiri sekaligus mengonsumsi makanan organik dari hasil kebun yang dikelola secara kolektif oleh komunitas masyarakat. Sementara Paarlberg (2013) membaca politik pangan secara agak berbeda dari dua pendahulunya. Dalam bukunya yang berformat tanya jawab, Paarlberg menantang argumen pendekatan kritis yang sering disuarakan oleh aktivis lingkungan maupun gerakan petani, seperti dampak negatif Revolusi Hijau dan glorifikasi terhadap pangan organik berbasis kearifan lokal.
Buku Berebut Makan: Politik Baru Pangan, menggunakan tradisi yang lebih kurang sama dengan dua literatur sebelumnya: bersikap kritis dan memakai alur pembabakan sejarah untuk melihat dinamika politik pangan global. Hanya saja, McMahon menawarkan pembacaan berbeda dengan penekanan kajian pada kasus-kasus yang terjadi dalam kurun waktu pasca-Perang Dingin hingga tahun 2012. McMahon, seperti akan diulas, tidak terjebak pada narasi lama pandangan kritis yang secara simplistik selalu menyalahkan negara-negara besar atas ketidakadilan pangan dunia. Ia berhasil mengidentifikasi bahwa perilaku negara berkembang turut berkontribusi terhadap gejolak sistem pangan global. Setidaknya, ada tiga poin utama yang diajukan oleh buku tersebut. Pertama, penolakannya terhadap skenario pendukung gagasan Neo–Malthusian bahwa ledakan populasi penduduk bumi yang mencapai angka 9,3 miliar jiwa, kerusakan iklim, ditambah dengan kelangkaan sumber daya alam baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan, diprediksi membuat seluruh aktivitas pertanian lumpuh sehingga kiamat akibat krisis pangan diprediksi akan terjadi tahun 2050 (McMahon 2017, 87-117). Landasan Neo-Malthusian seringkali digunakan sebagai dalil apologetik untuk membenarkan terjadinya kelaparan di negara-negara berkembang, bahwa memang tidak ada cukup makanan untuk didistribusikan secara adil bagi seluruh penduduk bumi.
Sebagai usaha membantah pendapat Neo-Malthusian, McMahonmyang mendasarkan argumennya pada data International Institute formApplied System Analysis (IIASA), menyatakan sebenarnya masih ada potensi 3,1 juta ha lahan produktif, terutama di Amerika Selatan dan Afrika yang belum dieksplorasi dan dapat dikelola menjadi kawasan pertanian masa depan tanpa harus mengorbankan zona hutan lindung di sekitarnya. Bagaimana dengan irigasi? Lahan pertanian seluas itu tentulah membutuhkan air, sedangkan pasokan air dunia kian menipis. McMahon meyakinkan, sebenarnya cadangan air tawar dunia masih sangat cukup. Untuk kebutuhan pertanian, Eropa baru menggunakan 6% sumber airnya, sedangkan Asia sebesar 20%. Hanya saja, kebijakan politik dan tata kelembagaan untuk mengelola pemanfaatan air secara lebih efisien agar tidak boros masih belum dijalankan secara optimal. Sistem yang ada selama ini cenderung membuat air terlalu murah atau bahkan gratis, sehingga petani merasa tidak memiliki kewajiban moral untuk menggunakan air seperlunya saja (McMahon 2017,109).
Selain itu, kelembagaan untuk mengelola sumur-sumur di daerah aliran sungai tidak terbentuk di banyak negara. Padahal, keberadaan lembaga tersebut penting agar distribusi air merata sehingga petani lebih bijak menggunakan air. Ketika lahan dan air mampu dikelola secara cermat maka langkah selanjutnya untuk menghindari kiamat pangan adalah mengubah orientasi kebijakan pangan yang boros. Tercatat, sepertiga produksi bebuliran pangan dunia selama ini dialokasikan untuk pakan ternak. McMahon mengkritik hal ini sebagai “…cara yang tidak efisien…menggunakan berton-ton bebuliran pangan untuk mendapatkan hanya satu ton daging.” (McMahon 2017, 114). Kebijakan boros lainnya adalah alokasi lahan dan tanaman pangan secara masif untuk diolah menjadi bahan bakar hayati (bioethanol). Ia mencontohkan, petani di Amerika kini kesulitan memenuhi produksi kedelai dan gandum ketika pemerintah mencanangkan program pemakaian bioethanol nasional pada tahun 2022. Sebab, lahan-lahan produktif dikonversi menjadi ladang jagung yang merupakan tanaman utama untuk diolah menjadi bahan bakar dalam rangka memenuhi target 164 miliar liter bioethanol (McMahon 2017, 67-69). Bagi Mc-Mahon, jika hewan ternak diarahkan mengonsumsi daur ulang sisa makanan manusia atau dilepas ke alam bebas untuk merumput, serta jagung tidak sepenuhnya dialokasikan sebagai bahan dasar bioethanol maka pada dasarnya ada banyak bahan pangan mampu dihemat bagi keberlangsungan hidup manusia.
Poin kedua, munculnya fenomena feeding frenzy, sebuah konsep yang dikenalkan oleh McMahon untuk menggambarkan konstelasi pangan global kontemporer. Feeding frenzy dirumuskan sebagai situasi di mana para pemangsa berusaha meraup sebanyak mungkin limpahan makanan, bahkan sesama pemangsa itu saling menggigit satu sama lain. Sebagai contoh, sejak tahun 2007, terjadi semacam politik saling sandera antara negara maju dengan berkembang di bidang pangan. Negara-negara berada dalam posisi dilematis: apakah baik mengekspor bahan makanan di tengah naiknya harga pasar dunia, atau sebaiknya mengamankan bahan pangan untuk cadangan keperluan domestik? Di tengah dilema tersebut, yang terjadi kemudian adalah negara pengekspor melakukan pembatasan terhadap arus keluar bahan pangan sebagai upaya menahan kenaikan harga dalam negeri. Sebaliknya, negara pengimpor menghapus semua bea impor dan berupaya mendatangkan sebanyak mungkin bahan makanan untuk mengamankan persediaan dalam negeri. McMahon menyebut, tindakan sebagian besar negara untuk mendahulukan kepentingan nasional masing-masing daripada bersinergi merumuskan kebijakan demi kemakmuran bersama justru memperparah krisis dan memicu kenaikan harga pangan dunia (Mc-Mahon 2017, 140-141). Contoh lain praktik feeding frenzy ialah bagaimana negara berkembang mulai mengikuti pola negara maju dalam hal pencaplokan lahan produktif seperti di Afrika. Misalkan, Pemerintah Arab Saudi yang menyadari cadangan air tanah dalam negeri kian menipis, lalu mendukung langkah korporasi Saudi Star Agricultural Development mengambil alih 10.000 ha lahan di Ethiopia untuk dijadikan area pertanian yang hasil panennya dikirim kembali ke Arab. Dampak sosial pencaplokan lahan ini adalah tereksklusinya suku asli Anuak,baik dari tempat tinggalnya, maupun dari pembagian kue kemakmuran (McMahon 2017, 221-224).
Poin ketiga sekaligus menutup buku ini adalah ulasan tentang alternatif yang ditawarkan oleh McMahon untuk mewujudkan sistem pangan yang lebih adil dan berkelanjutan. Ada empat alternatif yang diajukan dalam Berebut Makan: Politik Baru Pangan (McMahon 2017, 287-337). Pertama, membantu petani kecil di negara-negara berkembang untuk menanam lebih banyak tanaman pangan supaya kedaulatan pangan nasional dapat tercapai. Kedua, meletakkan unsur-unsur ekologi di pusat sistem produksi pangan. Ketiga, menjadikan pasar keuangan benar-benar bekerja untuk menjawab semua tantangan yang dihadapi oleh sistem pangan dunia. Keempat, menyesuaikan diri terhadap harga-harga bahan pangan yang terus meningkat serta peralihan ke arah perekonomian yang berlandaskan pada dimensi kehayatian bumi.
Dalam pembahasan mengenai tema-tema yang sudah jamak seperti bantahan terhadap proposisi Neo-Malthusian atau analisis historis terhadap perkembangan politik pangan global mulai dari era primitif sampai pada masa Revolusi Hijau, harus diakui buku ini tidak banyak menawarkan kebaruan perspektif. Adapun dari segi kelebihan, buku ini berhasil memperkenalkan gagasan kunci mengenai konsep feeding frenzy yang menantang persepsi umum bahwa negara berkembang selamanya berada pada posisi subordinat saat berhadapan dengan kepentingan negara maju. Konsep khas tersebut mampu memberikan cara pandang lain dalam melihat nalar negara maju dan berkembang yang rupanya sama-sama bisa berdaya untuk menerapkan semacam politik saling menyandera ketika merespon terjadinya kelangkaan pangan dunia. Selain itu, kerja intelektual McMahon dalam menghadirkan lebih banyak contoh kasus termutakhir disertai data-data kuantitatif terbaru dengan model studi komparatif di banyak negara (large N), perlu diapresiasi sebagai upaya serius untuk meyakinkan kalangan akademisi maupun para pengambil kebijakan bahwa persoalan politik pangan amatlah dinamis sehingga selalu relevan untuk diperdebatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Nestle, Marion. 2007. Food Politics: How The Food Industry Influences Nutrition and Health. California: University of California Press.
George, Susan. 2007. Pangan: Dari Penindasan Sampai ke Ketahanan Pangan. Yogyakarta: INSISTPress.
Paarlberg, Robert. 2013. Food Politics: What Everyone Needs to Know. Oxford: Oxford University Press.
Dibagikan ulang dari Jurnal Politik Vol.4, No.1, Agustus 2018, terbitan Departemen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Indonesia.