Kontestasi Politik di Jalan Tol Trans-Jawa

Wahyu Susilo

Direktur Eksekutif Migrant Care

 

Tak seperti Lebaran tahun ini, tiga hingga sepuluh tahun lalu keluh kesah dan sumpah serapah selalu terhambur dalam kemacetan berpuluh-puluh kilometer di sepanjang Pantai Utara Jawa saat arus mudik dan balik. Penanganan kemacetan yang akut itu menjadi salah satu agenda prioritas pemerintah, di samping stabilitas harga-harga komoditas menjelang hari raya Idul Fitri.

Situasi mulai berubah dalam dua tahun terakhir ketika jaringan jalan tol mulai sambung-menyambung dari Pantura Jawa Barat, Pantura Jawa Tengah, membelok ke arah Semarang-Solo menuju Jawa Timur, menembus Ngawi-Kertosono, hingga kawasan tapal kuda Jawa Timur. Jalan tol Trans-Jawa selalu disebut menjadi pelancar arus mudik. Tentu saja, bagi pemerintah Jokowi, ini menjadi klaim keberhasilan pembangunan infrastruktur dan memberikan keuntungan politik baginya.

Dalam pengantar edisi Bahasa Indonesia buku ini-yang tak ada di edisi Bahasa Inggris-disebutkan bahwa Presiden Jokowi berpotensi besar mengambil keuntungan politik dari pembangunan jalan tol Trans-Jawa, meski sebenarnya bukan hanya dia yang “berkeringat”. Tapi harus diakui bahwa Jokowi berhasil melakukan debottlenecking yang sejak zaman Soeharto hingga Susilo Bambang Yudhoyono menjadi perintang pembangunan jalan tol.

Berfungsinya jalan tol Trans-Jawa juga mengakhiri rutinitas pemborosan APBN perbaikan jalan arteri sepanjang Pantura yang menjadi “proyek abadi” Kementerian Pekerjaan Umum. Beberapa tahun lalu, mulai muncul kesadaran publikakan terkurasnya bujet negara untuk “memperbaiki” jalan di jalur Pantura, tapi tak pernah meningkat kualitasnya. Desakan audit atas dugaan korupsi “proyek abadi” perbaikan jalan Pantura muncul. Namun, sudah beberapa Lebaran berlalu, audit investigatif oleh BPK dan KPK tak kunjung terjadi.

Membaca tuntas buku yang terbit dalam bahasa Inggris berjudul Indonesia’s Changing Political Economy: Governing The Roads (2015), menyadarkan kita bahwa jal tol Trans-Jawa bukanlah proyek baru atau proyek “Bandung-Bondowoso” pemerintah Jokowi. Ini merupakan proyek yang tak pernah tuntas sejak ide bentangan jalan tol sepanjang Jawa digulirkan Soeharto pada 1995 dan ditargetkan tuntas pada 2003 (hal. 123-124). Ide ini, langsung tak langsung, terinspirasi oleh Daendels, dua abad silam, saat membangun jalan raya pos dari Anyer sampai Panarukan.

Kajian tentang infrastruktur ini jauh dari kelaziman yang biasanya menggunakan pendekatan makro ekonomi ataupun ekonometri yang penuh dengan penghitungan kuantitatif. Jamie S. Davidson meneropong pembangunan infrastruktur di Indonesia dengan pendekatan ekonomi politik dan sosiologi politik. Artinya, meski dominan pembangunan infrastruktur adalah kebijakan ekonomi, hal itu tak akan pernah terlepas dari konfigurasi politik kekuasaan yang acap kali diabaikan dalam kajian-kajian tentang infrastruktur.

Buku ini diawali dengan uraian kegagalan InfrastuctureSummit yang digagas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2005. Perhelatan yang menghadirkan berbagai institusi keuangan intemasional dan korporasi internasional tersebut hanyalah macan kertas.

Selanjutnya, dibahas soal investasi di sektor infrastruktur yang digambarkan dalam perspektif komparasi berbagai benua. Disimpulkan bahwa ada tiga hal penting yang harus mendukung keberlangsungan proyek infrastruktur, yaitu kebijakan, kelembagaan, dan pendanaan. Di sinilah pentingnya analisis ekonomi politik dan sosiologi politik digunakan untuk melihat bagaimana proyek infrastruktur mendatangkan manfaat atau malah mudarat.

Kepastian untuk membangun infrastruktur jalan tak terlepas dari konteks konsolidasi politik Orde Baru yang dianggap tuntas melewati riak-riak perlawanan oposisi mahasiswa dan elite sejak Soeharto berkuasa. Ini mengandung arti kepastian bahwa rezim pembangunan memberi sinyal positif bagi donor asing, baik bilateral, multilateral, maupun korporasi.

Jalan tol pertama Jagorawi yang diresmikan pada 1978 sangat memperlihatkan pengaruh pendanaan asing hingga kemudian melahirkan BUMN Jasa Marga yang menjadi cikal-bakal pengelola jalan tol hingga saat ini. Meski kemudian, ditunjukkan secara rinci dalam buku ini, keluarga Soeharto mulai menguasai bisnis jalan tol hingga selama dua dekade sampai kejatuhannya pada 1998. Bahkan pasca-kejatuhan Soeharto pun gurita bisnis keluarga Soeharto masih kuat mempengaruhi penguasaan bisnis pembangunan jalan tol.

Konfigurasi politik sekaligus kontestasi politik merupakan faktor yang sangat berpengaruh, terutama pada masa pasca-kejatuhan Soeharto, dalam penuntasan pembangunan jalan tol Trans-Jawa. Patgulipat kepentingan bisnis dan pengambilan keuntungan (rente) berkaitan dengan proses pengambilan kebijakan terkait dengan eksekutif dan legislatif. Buku ini menggambarkan tak hanya ada persaingan di kalangan bisnis. Di kalangan pemerintah juga selalu ada ketidakcocokan di antara dua kementerian, yaitu Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Keuangan, hingga akhir masa rezim SBY. Baru belakangan mereka terlihat kompak atas nama politik infrastruktur yang menjadi primadona pemerintah Jokowi. Pragmatisme legislator pun terlihat dalam menuliskan pasal­pasal terkait, tak ada kompetisi sengit seperti yang diperlihatkan dalam elektoral.

Hal yang juga cukup menonjol dalam buku ini adalah bagaimana pola setiap rezim mengatasi persoalan pembebasan tanah dalam pembangunan infrastruktur. Sementara pada masa Orde Baru pembebasan tanah sangat mudah dilakukan dengan mekanisme koersif (melibatkan aparat militer), pada masa pasca-Orde Baru, masalah pembebasan tanah menjadi perkara pelik sehingga membutuhkan landasan legal karena tak bisa lagi menggunakan cara-cara koersif. Kerumitan makin dalam ketika ada penguatan politik lokal seiring dengan gelombang desentralisasi kekuasaan dan otonomi daerah.

Di sinilah letak penting buku ini dibaca untuk melihat bahwa sebenarnya belum banyak yang berubah dari konstelasi ekonomi-politik pembangunan infrastruktur mengenai siapa yang mengambil keuntungan dari proyek yang mengatsnamakan kepentingan umum ini.

*Dibagikan ulang dari Koran Tempo, Edisi 22 Juni 2019