“HUTAN kemenyan atau tombak haminjon bukan sekadar tegakan pohon kemenyan (Styrax spp.) yang punya nilai ekonomis bagi masyarakat Batak. Tombak haminjon adalah salah satu unsur kebudayaan dan ternyata merupakan sumber rekonstruksi identitas kolektif masyarakat Batak di Pandumaan dan Sipituhuta dalam proses perjuangan untuk memperoleh kembali tombak haminjon mereka. Keterlibatan penulis dalam proses panjang masyarakat adat yang memperjuangkan hak atas wilayah adatnya yang diberikan pemerintah secara sepihak kepada PT Toba Pulp Lestari (dahulu PT IIU), membuat buku ini menjadi kaya informasi. Buku ini semestinya menjadi bacaan wajib semua kalangan, terutama para pembuat kebijakan, akademisi sampai pendamping masyarakat dan pembela hak asasi manusia. Selamat untuk penulis atas kerja kerasnya, dan terima kasih untuk kesetiaan dalam mendampingi masyarakat adat memperjuangkan hak asasi mereka secara komprehensif.”
Sandrayati Moniaga, Komisioner Pengkajian dan Penelitian, Komnas HAM RI
“DELIMA SILALAHI menulis buku ini dalam dua panggilan: pertama, sebagai ‘intelektual-peneliti’ yang berusaha keras menampilkan perjuangan masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta sebagai sumber pengetahuan baru bagi studi gerakan sosial; kedua, sebagai ‘intelektual-organik’ yang menulis dengan perasaan membara dan takkuasa menyembunyikan simpati, keberpihakan, dan keterlibatannya secara membatin dalam perjuangan masyarakat adat ini. Dia sangat berhasil!”
Dimpos Manalu, Sekretaris Badan Pengurus Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Parapat 2018–2021; Dosen Fisipol dan Pascasarjana Universitas HKBP Nommensen, Medan, Sumatera Utara
“PENGAKUAN berakibat pada kewajiban negara untuk tidak mendiskriminasi masyarakat adat. Pengakuan sekaligus merupakan koreksi atas sistem hukum yang dianggap tidak memperlakukan masyarakat adat dengan adil. Itu sebabnya, perjuangan untuk pengakuan menyasar aspek fundamental dari hukum, sehingga berlangsung takmudah. Dengan contoh pengalaman penduduk dua desa, Pandumaan dan Sipituhuta di Sumatera Utara, buku ini mengisahkan perjuangan mempertahankan hutan kemenyan (tombak haminjon) sebagai hutan adat, dari klaim sepihak negara melalui korporasi. Buku ini menegaskan bahwa pembentukan identitas kolektif amat menentukan kesuksesan perjuangan pengakuan. Pengalaman sukses yang dapat menjadi bahan belajar untuk eskalasi gerakan perjuangan pengakuan masyarakat adat di tempat-tempat lain di Indonesia.”
Rikardo Simarmata, dosen hukum agraria Universitas Gadjah Mada
“MASYARAKAT ADAT adalah fakta sosial kehidupan sehari-hari. Namun, sebagai suatu gerakan perlawanan, dia bukanlah sebuah—dalam bahasa Delima—realitas yang bersifat ‘terberi’, melainkan wujud dari upaya gerakan sosial mengonstruksi koherensi internal untuk memahami siapa ‘kita’ dan ‘mereka’ yang berlaku sebagai ‘lawan’. Kesaksian Delima sebagai ‘orang dalam’ gerakan yang terhimpun dalam buku ini sangat berharga, bisa menjadi sumber aspirasi—sekaligus rambu-rambu—bagi banyak komunitas adat lain yang berjuang mempertahankan dan/atau memperoleh kembali hak-haknya. Tanpa kehilangan objektivitasnya, melalui etnografi, Delima berhasil menceritakan detail perjuangan panjang dalam membangun identitas kolektif yang menjadi keniscayaan dalam perjuangan pengembalian hak-hak masyarakat adat itu.”
Yando Zakaria, pendiri dan peneliti pada Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat (PUSTAKA) Yogyakarta
Kunjungi pula:
Tombak Haminjon Do Ngolu Nami: Masyarakat Adat Batak Pandumaan dan Sipituhuta Merebut Kembali Ruang Hidupnya