Sementara sengkarut Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) masih terus heboh, terutama di Jakarta, saya tergelitik membaca satu tulisan di satu tapakmaya khusus yang menyedikan informasi bagi para calon mahasiswa baru. Judulnya: “Jurusan Sepi Peminat di UGM dengan Prospek Kerja Bagus”.1
ITU informasi yang barangkali memang penting dan berguna bagi para calon mahasiswa baru. Bagi saya sendiri, yang lebih menarik sekaligus menghentak justru adalah daftar jurusan yang kurang peminat itu. Dari sepuluh jurusan dalam daftar tersebut, peringkat empat teratas semuanya jurusan yang berkaitan dengan bidang pertanian dan yang berhubungan dengannya: penyuluhan dan komunikasi pertanian, mikrobiologi pertanian, teknologi hasil perikanan, dan budidaya perairan (akuakultur). Enam selebihnya adalah jurusan-jurusan yang memang sudah sejak dulu dikenal sebagai ‘jurusan sepi’: fisika, sastra Jawa, sastra Prancis, ilmu sejarah, sastra Indonesia, dan arkeologi.
Ada apa ini? Kalau memang memiliki prospek kerja bagus, kok kurang diminati? Apa itu berarti minat memilih dan masuk satu jurusan tertentu tidak lagi sematamata ditentukan oleh bagus atau tidaknya prospek kerja bagi para lulusannya?
Tampaknya memang begitu. Ada beberapa faktor lain yang turut atau bahkan lebih menentukan dibanding prospek lapangan kerja. Salah satunya justru adalah pertimbangan tentang tak adanya jaminan pasti seseorang akan diterima bekerja di bidang yang memang sesuai dengan jurusan yang dipelajarinya di sekolah. Di negeri ini, itu sudah jadi fakta di mana-mana. Di negeri yang sering membingungkan ini, kesesuaian antara latar belakang pendidikan formal dengan bidang pekerjaan tidak selalu, bahkan terlalu banyak, yang tidak ‘nyambung’ sama sekali. Salah seorang pelawak paling terdepan di Indonesia saat ini, Lies Hartono alias Cak Lontong, menjelaskan ‘ketaknyambungan’ itu dengan contoh dirinya sendiri. Dalam satu acara di almamaternya di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, saat berpidato dalam rangka menerima penghargaan khusus sebagai alumni, ia menyebut dirinya ‘tidak salah pekerjaan’ (sebagai pelawak dan pembawa acara di televisi), tapi ‘salah jurusan’ (sebagai mahasiswa teknik elektro) saat jadi mahasiswa di ITS. Dengan silogismanya yang khas, dia bilang “Buktinya… saya memang lebih terkenal sebagai pelawak katimbang sebagai insinyur teknik elektro.”
Tentu saja, candaan Cak Lontong itu harus diterima sebagai kelakar sejati. Tapi, bisa jadi nalar bolak-balik macam itulah sebenarnya yang membuat mengapa beberapa jurusan yang, konon, memiliki prospek kerja bagus justru kurang diminati. Khusus untuk empat jurusan pada peringkat teratas yang kurang diminati di UGM tadi, faktor ‘pertanian dan perikanan’-nya itulah yang tampaknya patut dicurigai sebagai penyebab utama. Dengan kata lain, karena prospeknya adalah bekerja di sektor yang tidak seronok di daerah pelosok, banyak calon mahasiswa baru lalu urung memilihnya. Tegasnya, ‘kurang bergengsi’! Ambil contoh, jurusan pada peringkat pertama: komunikasi dan penyuluhan pertanian. Pada hakikinya, jurusan ini sebenarnya sama saja dengan jurusan yang justru semakin banyak diminati: komunikasi publik dan penyiaran, atau jurnalistik. Tapi, bedanya, jurusan-jurusan yang disebut terakhir ini memang ‘lebih bergengsi’, karena prospeknya adalah bekerja di sektor yang semarak dan gegap gempita, di daerah perkotaan lagi! Menjadi petugas hubungan masyarakat satu kantor pemerintah atau perusahaan, atau menjadi pemandu acara di televisi, atau wartawan koran besar, jelas saja ‘lebih kemilau’ dibanding menjadi seorang penyuluh pertanian lapangan (ppl).
Sayangnya, data jumlah mahasiswa menurut bidang kajian di seluruh perguruan tinggi di Indonesia sama sekali tak tersedia secara rinci sampai per jurusan, apalagi perkembangannya selama beberapa tahun secara urut waktu (time series). Laman resmi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hanya menyediakan data besaran (agregat) jumlah mahasiswa per bidang kajian utama. Data resmi terakhir tahun 2018 memperlihatkan jumlah mahasiswa semua bidang kajian pertanian dan yang berkaitan adalah 313.169 orang atau hanya 5,20% dari total 6.028.113 orang mahasiswa seluruh Indonesia, berada pada peringkat keenam setelah jumlah mahasiswa bidang pendidikan (1.371.105 orang = 22,75%), ekonomi (1.146.430 orang = 19,02%), ilmu-ilmu sosial (1.058.304 orang = 17,56%), teknik (1.024.341 orang = 16,99%), dan kesehatan (532.935 orang = 8,84%). Empat bidang lainnya, semuanya di bawah 5% atau lebih rendah dari bidang pertanian: kajian agama (205.579 orang = 3,41%), matematika dan ilmu pengetahuan alam (196.743 orang = 3,26%), humaniora (128.944 orang = 2,14%), dan seni (50.563 orang = 0,84%).2
Ternyata, bukan cuma di UGM. Data terakhir 2019 memperlihatkan bahwa bidang kajian atau jurusan-jurusan pertanian dan yang berkaitan dengan prospek kerja di pedesaan juga semakin kurang diminati di beberapa perguruan tinggi terkemuka lainnya di seluruh nusantara.
Misal, di ujung paling barat, di Universitas Syiah Kuala (UNSYIAH) Banda Aceh. Selain jurusan fisika dan kimia murni yang diminati oleh kurang dari 200 calon mahasiswa baru, beberapa jurusan bidang pertanian dan yang berkaitan dengan pedesaan juga mencatat jumlah peminat terkecil: proteksi tanaman (139), pemanfaatan sumberdaya perikanan (218), kehutanan (224), ilmu tanah (245), peternakan (275), dan ilmu kelautan (281). Bahkan, kelas jauh alias filial (sekarang dinamai Program Studi di Luar Kampus Utama [PSDKU]) bidang pertanian dan pedesaan universitas ini di Gayo Lues (daerah pertanian subur dataran tinggi di Aceh bagian tengah) mencatat jumlah peminat di bawah 100 orang: PSDKU kehutanan (38) dan PSDKU agroteknologi (42). Bandingkan dengan jumlah peminat terbesar di universitas ini pada jurusanjurusan bukan pertanian dan tidak berkaitan langsung dengan prospek kerja di pedesaan: farmasi (1.236), pendidikan dokter (1.116), ilmu hukum (1.114), manajemen (938), dan informatika (921).3
Melompat jauh ke ujung timur, data terakhir tahun yang sama (2019) menunjukkan kecenderungan yang lebih mengenaskan. Di Universitas Cenderawasih (UNCEN) di Jayapura, jumlah peminat jurusan-jurusan bidang pertanian dan yang terkait dengan prospek kerja di pedesaan bahkan mencatat angka hitungan jari saja. Selain jurusan-jurusan sains murni: matematika (5), kimia (7), fisika (13); jumlah peminat jurusan-jurusan bidang pertanian dan terkait prospek kerja pedesaan juga tak kalah mengenaskan: ilmu kelautan (7) dan ilmu perikanan (3). Bandingkan jumlah peminat di kampus ini pada jurusan-jurusan bukan pertanian dan tak berkaitan langsung dengan prospek kerja pedesaan: pendidikan dokter (347), farmasi (158), kesehatan masyarakat (134), teknik sipil (126), dan manajemen (78). Di daerah yang terkenal sebagai salah satu pemasok atlet-atlet terbaik nasional ini, nyaris atau bahkan nihil jumlah peminat jurusan ilmu keolahragaan (1) serta jurusan pendidikan jasmani dan kesehatan rekreasi (0)!4
Di beberapa perguruan tinggi yang jelas-jelas telah menetapkan pusat perhatian (Pola Imiah Pokok [PIP]) mereka pada sektor atau bidang kajian tertentu yang khas, kecenderungan yang sama juga terjadi. Misal, Universitas Pattimura (UNPATTI) di Ambon dan Universitas Hasanuddin (UNHAS) di Makassar yang dua-duanya menetapkan PIP mereka di bidang kajian perikanan dan kelautan. Di UNPATTI, selain beberapa jurusan bukan PIP mereka (seperti beberapa jurusan sains murni dan PSDKU jurusan kependidikan yang mencatat angka 0 sama sekali), beberapa jurusan yang justru berkaitan dengan PIP mereka (sektor perikanan) pun mencatat jumlah peminat terendah: pemanfaatan sumberdaya perikanan (15), teknologi hasil perikanan (18), teknik sistem perkapalan (18), dan budidaya perairan (29); senasib dengan jurusan-jurusan: ilmu tanah (8), pemuliaan tanaman (10), peternakan (19), dan teknologi hasil pertanian (29). Bandingkan dengan jumlah peminat terbanyak di kampus ini pada jurusan-jurusan bukan perikanan dan pertanian serta yang tidak berkaitan langsung dengan prospek kerja pedesaan: pendidikan dokter (835), ilmu hukum (255), manajemen (237), akuntansi (233), teknik sipil (212), perencanaan wilayah dan kota (169), dan teknik geologi (115).5
Agak mending yang terjadi pada ‘kakak kembar’-nya, UNHAS di Makassar. Di kampus tertua dan terbesar di Indonesia Timur ini, jumlah peminat jurusan-jurusan PIP-nya (kelautan) dan bidang pertanian serta pedesaan masih lumayan banyak, mencapai angka ratusan: teknik kelautan (234), budidaya perairan (253), manajemen sumberdaya perairan (346), pemanfaatan sumberdaya perikanan (351), teknik sistem perkapalan (394), teknik perkapalan (414), ilmu kelautan (463), dan keteknikan pertanian (juga 463). Namun, tetap saja masih lebih rendah dibanding jumlah peminat yang mencapai angka ribuan pada jurusan-jurusan yang justru bukan PIP mereka serta jurusan-jurusan bukan pertanian dan tidak berkaitan langsung dengan prospek kerja pedesaan: pendidikan dokter (2.111), ilmu hukum (1.998), farmasi (1.521), teknik sipil (1.412), manajemen (1.341), pendidikan dokter gigi (1.244), ilmu ekonomi (1.065), dan akuntansi (1.022). Di kampus ini, hanya jurusan agroteknologi yang mencapai jumlah ribuan peminat (1.585), tetapi jurusan ini sebenarnya ‘semu pertanian’ (pseudo agriculture), karena dalam kenyataannya memang lebih banyak berkutat dengan industri pengolahan hasil pertanian yang umumnya berpusat di perkotaan.6
Jangan kaget, bahkan di perguruan tinggi yang jelas-jelas dan tersurat (eksplisit) menyebut diri sebagai perguruan tinggi pertanian semacam Institut Pertanian Bogor (IPB), jumlah peminat pada jurusan-jurusan ‘asli’ atau ‘murni pertanian’ yang ada di kampus itu juga kian merosot ke peringkat bawah. Di kampus tertua dan terbesar bidang kajian pertanian dan pedesaan di Indonesia ini, jumlah peminat tersedikit tercatat pada jurusan-jurusan sains murni yang menjadi basis ilmu pertanian: fisika (296), biologi (325), matematika (326), dan kimia (345). Meskipun jumlahnya masih mencapai ratusan, tetap saja masih di bawah jumlah peminat jurusan-jurusan ‘semu pertanian’: agrobisnis (509), nutrisi dan teknologi pakan (508), teknologi pangan (604), manajemen sumberdaya lahan (638), ilmu gizi (645), teknologi dan budidaya perikanan (663), dan teknologi perikanan tangkap (828). Lebih mencengangkan lagi, bahkan juga lebih rendah dibanding jumlah peminat pada jurusanjurusan yang sudah terlalu ‘melenceng’ dari bidang kajian pertanian dan prospek kerja pedesaan: ilmu komputer (645) serta teknik sipil dan lingkungan (646). Bahkan, mulai disusul oleh jumlah peminat pada jurusan… ekonomi syariah (315)!7
Jurusan ekonomi syariah di perguruan tinggi ilmu pertanian?
Ya, ada di sana. Mungkin ini memang akibat logis saja dari perubahan mencengangkan di perguruan tinggi tersebut yang, sejak awal 2019, resmi mengganti nama mereka menjadi ‘IPB University’. Apa pun pertimbangannya, tampaknya memang sandangan nama ‘pertanian’ semakin tidak menarik, dan, jika perlu, sebaiknya dihapuskan, atau, paling tidak, disamarkan saja. Biar tidak terlalu kentara ‘bau tanah’-nya!
Itu beberapa contoh saja sebagai gambaran umum secara nasional. Namun, secara mendunia (global) pun sebenarnya terjadi hampir di seluruh dunia, termasuk di beberapa negara yang sistem dan lembaga pendidikannya sudah sangat mapan dan dianggap sangat maju. Ambil contoh Amerika Serikat (AS). Data dari National Centre for Educational Statistics (NCES) memperlihatkan selama hampir 50 tahun, sejak awal 1970-an, jumlah lulusan dari jurusan-jurusan atau bidang kajian pertanian dan sumberdaya alam (agriculture and natural resources) terus berada di bawah sepuluh jurusan atau bidang kajian paling dikenal dan disukai (most popular majors) pada jenjang sarjana (S1). Data urut waktu termutahkir pada 2018 memperlihatkannya dengan jelas, sebagai berikut:8
Pada jenjang pascasarjana (S2) dan doktoral (S3), terjadi kecenderungan yang sama. Pada rentang waktu yang sama (1970–2017), jurusan atau bidang kajian pertanian dan sumberdaya alam masih tetap di peringkat 11. Hanya ada perubahan dengan perkembangan agak mencolok pada jenjang S2: jurusan bisnis melonjak menjadi peringkat 1, menggeser profesi kesehatan, sementara jurusan komputer dan informatika serta jurusan seni visual dan pertunjukan mulai merangsek masuk dalam 10 besar tersebut.9
Di beberapa negara Eropa juga sama. Data mutakhir tahun 2018 dari EuroStat memperlihatkan jumlah lulusan pada bidang kajian pertanian dan yang berkaitan dengan kerja pedesaan berada pada peringkat ketiga terbawah dari 12 kelompok besar bidang kajian utama di semua perguruan tinggi di seluruh benua biru tersebut:10
Jika kecenderungan ‘semakin menjauhi’ sektor pertanian terjadi di Amerika Utara dan Eropa Barat, tidak terlalu rumit untuk memahaminya. Mereka memang sudah bergerak ke arah sana sejak Revolusi Industri jelang akhir abad ke-18. Mereka bahkan ‘sudah terlalu jauh’ melampaui peradaban pertanian dan pedesaan. Akibatnya, beberapa negara di sana mulai pening menghadapi kenyataan baru: mereka makin tergantung pada impor bahan pangan dari negara-negara lain, terutama dari Eropa Timur, Asia, Australia, dan Amerika Latin. Produksi bahan pangan dalam negeri mereka terus menurun, lahan-lahan pertanian terus menyempit, dan tenaga kerja bidang pertanian—terutama tenaga kerja muda pada puncak usia produktif mereka—semakin terbatas dan bahkan mulai langka.11
Menyadari bahwa mereka sudah terlalu jauh melangkah, beberapa negara mulai gelisah. Jerman, misalnya. Meskipun merupakan salah satu negara industri paling modern di Eropa Barat, negara ini—bersama Prancis dan Turki—masih memiliki jumlah terbesar lulusan sarjana dan tenaga teknis ahli pertanian dan yang berkaitan (perhutanan, peternakan, perikanan, dan lain-lain), rerata lebih dari 10.000 orang per tahun dari seluruh perguruan tinggi di masing-masing negara tersebut.12 Namun, mereka mulai khawatir melihat semakin sedikitnya jumlah dan semakin tuanya usia warga petani negeri itu. Satu usulan dan rancangan undang-undang untuk ‘mengimpor’ petani-petani muda dari beberapa negara Asia pernah diajukan di Bundestag (parlemen federal). Silang pendapat dan perdebatan panjang terjadi selama beberapa tahun, lalu memudar karena ribuan pengungsi dan pencari suaka, terutama dari negara-negara Afrika, tiba-tiba membanjiri Eropa. Jerman menjadi salah satu negara yang paling repot dibuatnya.
Ya, ini bukan masalah sepele lagi atau sekadar masalah isi perut saja. Selama beberapa puluh tahun terakhir, beberapa kali terjadi krisis pangan di sana yang nyaris merobek-robek keutuhan wilayah dan keberadaan beberapa negara. Krisis yang terakhir, pada akhir 2000-an, sampai membuat Yunani—negara tertua dan sumber peradaban modern Eropa—mengalami kekacauan luar biasa. Unjuk rasa terjadi hampir setiap hari, memacetkan hampir semua geliat kehidupan, menimbulkan kerusakan besar, termasuk kerusakan jiwa warga. Lembaga Kajian Kesehatan Mental Universitas Athena saat itu mencatat: tingkat bunuh diri naik sampai 17% dan usaha bunuh diri melonjak sampai 36% sejak awal krisis pada tahun 2009.13 Negara nyaris bangkrut dan runtuh. Beberapa pengamat bahkan sudah bersiap-siap untuk mencapnya sebagai ‘negara gagal’ (failed state).14
Nah, apakah kita akan mengikuti jejak mereka?
SAMBIREJO, 1 Juli 2020
Catatan
1 https://mamikos.com/info/jurusan-sepi-peminat-di-ugm/ (22 Mei 2018).
2 Selanjutnya, lihat https:\\www.pddikti.kemdikbud.go.id.
3 Lebih rinci, lihat https://kampusaja.com. Laman ini merupakan salah satu yang terlengkap setiap tahun akademik baru menyajikan data jumlah peminat dan daya tampung hampir semua perguruan tinggi negeri terkemuka di seluruh Indonesia.
4 https://kampusaja.com/daya-tampung-peminat-sbmptn-uncen/.
5 https://kampusaja.com/daya-tampung-peminat-sbmptn-unpatti/.
6 https://kampusaja.com/daya-tampung-peminat-sbmptn-unhas/.
7 https://kampusaja.com/daya-tampung-peminat-sbmptn-ipb/.
8 Lebih rinci, lihat https:\\nces.ed.gov.
9 Lebih rinci, lihat https:\\nces.ed.gov.
10 Lebih rinci, lihat https:\\ec.europa.eu/eurostat.
11 Satu ikhtisar mengenai persoalan pangan di Eropa, dan juga seluruh dunia selama beberapa dasawarsa terakhir, dapat dibaca pada Paul McMahon, Feeding Frenzy: The New Politics of Food, London: Profile Books (2013). Edisi Indonesianya: Berebut Makan: Politik Baru Pangan, Yogyakarta: INSISTPress (2017).
12 https:\\ec.europa.eu/eurostat. Negara-negara Eropa lainnya mencatat angka di bawah 10.000 orang per tahun.
13 Michael Madianos dan Marina Economou et al. (2011), “Depression and Economic Hardship Across Greece since 2008-2009,” Psychiatry Epidemeo 46: 843–852.
14 Lihat, antara lain, M. Baldini dan E. Ciani, Disegualianza e poverta durante la recessione, Universita de Modena e Reggop Emili, CAPP #75.