Membingkai Kajian Multidisiplin Asia Tenggara

DUNIA kini sedang menghadapi krisis iklim yang kian parah akibat kerusakan lingkungan seiring derap maju industrialisasi kapitalis yang tak kenal lelah. Banyak ilmuwan dan amatan telah menunjukkan bahwa pandemi akibat zoonosis yang kita alami ini merupakan gejala dari kehancuran permanen ruang hidup serta berbagai spesies di dalamnya. Modernisasi dan proyek-proyek pembangunan, yang bergantung pada modal dan energi, telah mengakselerasi sirkuit kapital dan menata ulang ruang hidup kita melalui pembongkaran hutan dan pengerukan sumberdaya alam. Kehancuran lingkungan serta kepedulian terhadap krisis iklim pun menjadi isu yang makin terdepan, baik dalam percakapan sehari-hari, dalam pemberitaan media, di lingkup kebijakan nasional dan internasional, maupun di ruang-ruang diskursus akademia. Perubahan-perubahan ini telah membawa dampak signifikan terhadap Asia Tenggara, salah satu pusat keanekaragaman hayati dan keragaman komunitas dunia.

Di satu sisi, kontribusi Asia Tenggara dalam penciptaan solusi-solusi global memang diakui sebagai hal yang krusial. Di sisi lain, negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia butuh terus berkembang maju sembari berkomitmen pada ‘pengurangan emisi gas rumah kaca hingga mencapai nol’ (net-zero emissions). Hal ini didasari oleh kebutuhan untuk bergeser dari jalur ketergantungan pada energi, suatu jalur yang telah berkembang dengan kecepatan dan intensitas tertentu di Asia Tenggara selama beberapa dasawarsa terakhir. Namun, kita harus menempatkan tantangan-tantangan mutakhir ini ke dalam suatu konteks yang lebih luas dan mendalam. Apa yang dialami Asia Tenggara seharusnya ditilik melalui totalitas pengalamannya: dalam hal bentang alam geografis yang terhubung, keanekaragaman hayati, kesejarahan bersama yang telah berkembang seiring perkembangan sosio-kultural dan ekonomi, persinggungan lintas-budaya, keragaman bahasa, serta interaksi-interaksi di dalam dunia global yang terhubung secara menyejarah.

Sejak terbentuknya ASEAN sebagai kesatuan ekonomi pada 1967, perkembangan ekonomi dan modernisasi telah menjadi dua pilar perhatian bagi bangsa-bangsa di kawasan ini. Demi menegakkan kedua pilar tersebut, selama lebih dari lima dasawarsa terakhir, 11 bangsa yang kini membentuk ASEAN telah mengalami industrialisasi, modernisasi, dan perkembangan ekonomi dalam bentuk-bentuk yang mencolok. Industrialisasi berbasis urbanisasi serta pertanian padat-input telah mendorong suatu transisi demografi yang belum pernah terjadi sebelumnya di Asia Tenggara: satu tren yang bakal terus meningkat. Namun, transformasi-transformasi yang ditempa oleh salah satu kecenderungan abad XX tersebut—melalui penyatuan secara mendalam kawasan ini ke dalam ekonomi global—telah menghasilkan tingkat perkembangan yang timpang.

Ada pengakuan kuat bahwa Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang paling berisiko dan perlu segera mentransformasikan cara-caranya dalam memproduksi, mengonsumsi, serta memanfaatkan sumberdaya energinya. Semua ini membutuhkan pengerahan teknologi mutakhir untuk memanfaatkan energi matahari yang melimpah, biomassa, perairan, serta udara segar. Bangsa-bangsa di kawasan ini juga membutuhkan berbagai inovasi dalam tata kelola yang memperhatikan kekayaan keragaman budaya, bahasa, agama, serta pengetahuan yang hidup berdampingan di dalamnya. Aspek-aspek keragaman ini harus dimasukkan ke dalam upaya-upaya penciptaan kerangka baru pengetahuan dan pendekatan atas Asia Tenggara, agar dapat beradaptasi terhadap krisis iklim serta kesulitan akibat berbagai faktor seperti tata kelola politis, ketimpangan, urbanisasi besar-besaran, serta kesenjangan pendapatan dan pendidikan.

Rezim-rezim tata kelola sumberdaya telah membawa dampak negatif yang meluas, sebagaimana dipaparkan di beberapa bab dalam buku ini. Makin meluasnya ‘zona kontak’ secara pesat, yang didorong oleh etos pengembangan ekonomi serta modernisasi yang berlaku umum, telah menggiring kita menghadapi suatu epos baru dengan penuh ketakpastian, yakni “Antroposen”, yang diusung oleh nalar serta teknologi dari belahan dunia utara. Bentuk-bentuk industrialisasi modern yang didasarkan pada rezim energi fosil telah menempa transisi global yang mendasar secara meluas dalam hal dinamika kependudukan, perkembangan ekonomi, transformasi agraria, penyeragaman budaya, dan kerusakan lingkungan serta ekosistem. Semua ini mensyaratkan suatu pola pikir baru, perangkat baru, dan bentukbentuk baru pengetahuan yang mampu merespons berbagai persoalan yang kita hadapi.

Masalah-masalah ekologis ini dibingkai dalam keprihatinan yang makin mendalam terhadap krisis iklim. Pada saat bersamaan, kita harus menyadari bahwa di dalam bentuk-bentuk pengetahuan terkait masalah-masalah ini, kita perlu memikirkan keragaman bangunan kultural kawasan ini, yang telah berkembang sepanjang sejarah. Bangunan pengetahuan muncul dari suatu pemahaman yang jelas dalam konteks spesifik terkait relasi-relasi antara berbagai kelompok dan interaksi-interaksi mereka; antara dataran tinggi dan dataran rendah yang beragam di kawasan ini; bentuk-bentuk tata kelola baik di pusat maupun pinggiran dalam pembangunan negara-bangsa yang terus berlangsung; corak-corak perkembangan pertanian dan budidaya; serta kekhasan bahasa-bahasa yang sama-sama berkembang untuk mengekspresikan suatu ekologi dan alam yang beragam. Semua ini merupakan bidang-bidang penelitian yang secara tradisional telah menjadi ranah para antropolog, sejarawan, dan ahli bahasa yang telah memperkaya diskusi seputar perancangan kebijakan Asia Tenggara, yang melacak pasang surut kehidupan kultural, difusi tatanan politik dan sosial, serta memusatkan perhatian pada pola-pola kultural dalam ruang dan waktu tertentu.

Dengan mempelajari semua ini, kita terus disuguhi tantangan-tantangan metodologis serta gagasan-gagasan tentang bagaimana memikirkan bentang alam material kita secara analitis. Kita pun dituntut untuk mempertanyakan bagaimana semua ini dirasionalisasi, juga pemahaman umum dan meluas seperti apa yang dihasilkan. Kita juga dituntut untuk memikirkan pembentukan etnis yang muncul dari metodologi dan gagasan-gagasan itu, sejarah dan narasi mereka, juga lintasan-lintasan pertanyaan yang dibagi dan yang diperdebatkan. Semua kerja ini kian penting ketika kita mempertimbangkan bahwa pluralisme merupakan satu fondasi kunci yang menopang realitas masyarakat Asia Tenggara. Kemajemukan kondisi ragawi kawasan ini mengharuskan kita agar menyiapkan ragam metodologi dan teknik penelitian untuk mengamati dan berbicara dengan kejernihan empiris.

Dalam konteks diskusi di atas, bunga rampai ini mengusung gagasan tentang bagaimana untuk secara efektif memahami, secara empiris, dinamika perubahan realitas yang terus berlangsung di Asia Tenggara. Para penulis artikel di buku ini telah bertahun-tahun bergumul dengan Asia Tenggara melalui masing-masing bidang kajiannya, juga punya karakteristik umum yang terjalin melalui penelitian, yakni kemampuan untuk memadukan beragam pendekatan, teknik, dan perspektif untuk menghasilkan kajian multidisiplin. Secara historis, telah terjadi pemilahan kuat yang memisahkan ilmu sosial dan humaniora dengan ilmu-ilmu alam. Namun, untuk melakukan penelitian di sebuah kawasan yang sangat kompleks dan beragam seperti Asia Tenggara tentunya membutuhkan suatu kotak perkakas beragam yang berisi teknik-teknik yang melampaui kotak disiplin di mana teknik-teknik itu berkembang. Bab-bab (artikel-artikel) dalam buku ini menyasar isu-isu yang dibahas di atas, juga mengajukan berbagai jenis kerangka konseptual, teori, pendekatan metodologis, dan penyelidikan lapangan terkait realitas Asia Tenggara. Artikel-artikel ini dapat memberi kita wawasan untuk melampaui pagar-pagar disiplin, yang membentuk penyelidikan ilmiah lintas-disiplin serta mengusung gagasan-gagasan untuk merespons berbagai masalah sosial dan lingkungan.

Di buku ini, kami menggunakan suatu pendekatan ‘metodologi eklektik’ untuk merespons beragam realitas Asia Tenggara. Pendekatan ini berupaya untuk memadukan elemen-elemen analitis dari teori-teori berbeda serta di dalam paradigma-paradigma berbeda. Kami telah mengolah gagasan untuk mengusulkan suatu kerangka kerja yang memasukkan ilmu alam sebagai satu ranah pergumulan selain ilmu sosial dan humaniora. Langkah seperti ini mengandung kepekaan terhadap ranah-ranah disiplin yang berbeda serta paradigma-paradigma yang ada, yang jika didialogkan, bisa menciptakan kondisi-kondisi untuk mempertanyakan basis penelitian empiris serta teoretisasi yang muncul di dalamnya. Jenis pendekatan semacam ini memungkinkan penciptaan suatu arena perbincangan yang tidak terikat ketat pada ranah-ranah spesifik. Pendekatan ortodoks cenderung membatasi diskusi. Di era penuh kerentanan yang kita hidupi sekarang ini, kita butuh membuka area-area baru penyelidikan yang bisa membekali keputusan-keputusan tentang bagaimana kita memahami dunia di sekitar kita. Masalah-masalah sosial di Asia Tenggara sangatlah kompleks dan multiaspek yang kerap memunculkan persoalan yang tidak bisa dijawab dengan satu bidang disiplin ilmu saja. Untuk membahas pertanyaan-pertanyaan terkait berbagai persoalan itu, dibutuhkan penelitian lintas-disiplin yang mengakui bahwa disiplin-disiplin tertentu mengidap keterbatasan, juga perlu menggabungkan pendekatan-pendekatan yang terpadu. Pendekatan multidisiplin seperti ini dapat menyediakan dan menghasilkan suatu repositori informasi yang komprehensif. Pendekatan semacam ini juga bisa membuka kemungkinan berbagai cara untuk mengatasi suatu pokok persoalan serta meminimalisir masalah keistimewaan satu perspektif khusus—satu masalah yang berisiko menyempitkan persepsi kita akan berbagai persoalan. Dengan demikian, artikel-artikel di buku ini menghadirkan banyak wawasan tidak hanya tentang masalah-masalah sosial tetapi juga tentang metode-metode serta cara-cara untuk bergumul di dalam masalah-masalah itu.

Buku ini memuat (terjemahan) 11 artikel terpilih yang sebelumnya diterbitkan di jurnal Southeast Asian Studies (berbahasa Inggris) selama 2013–2020, yang dibagi ke dalam tiga area tematik besar yang saling terkait. Area pertama menyangkut transformasi-transformasi sosio-ekologis, terdiri atas 4 artikel (Bab 2–5) yang menghadirkan beragam metodologi yang merespons berbagai isu bersama yang membawa dampak terhadap bangsa-bangsa Asia Tenggara. Area kedua memusatkan perhatian pada dinamika sosio-kelembagaan, terdiri atas 4 artikel (Bab 6–9) yang berfokus pada pergumulan dengan sistem-sistem sosial di Asia Tenggara. Area ketiga, terdiri atas 3 artikel (Bab 10–12) menyuguhkan cara-cara di mana kita bisa bergumul dengan pengetahuan lokal serta keterbatasan dari cara-cara itu.

Kami yakin, artikel-artikel yang dikumpulkan di dalam buku ini dapat menggambarkan bagaimana lintas-disiplin dan dialog di lingkup kawasan dapat terwujud ketika para peneliti menemukan suatu perpaduan yang memadai antara metode-metode dan pendekatan-pendekatan teoretis. Artikel-artikel di buku ini dikumpulkan dari jurnal Southeast Asian Studies (SEAS), jurnal andalan berbahasa Inggris yang diterbitkan oleh Center for Southeast Asian Studies (CSEAS) Kyoto University, Jepang, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. SEAS berakar kuat dalam tradisi kajian kawasan di Jepang, yang telah berkembang sebagai suatu pendekatan kolaboratif berbasis lapangan untuk memahami masyarakat dan ekologi lokal. Tradisi ini diprakarsai oleh para peneliti ilmu alam yang mengajak para ahli di bidang ilmu sosial dan humaniora untuk bersama-sama merumuskan berbagai pertanyaan yang sangat kaya nuansa di tapak penelitian. Kajian kawasan yang dipraktikkan di CSEAS terus memprioritaskan penelitian berbasis lapangan berjangka panjang, yang dilakukan dalam bahasa-bahasa lokal serta melalui interaksi-interaksi kultural berjangka panjang. Dalam mempromosikan model penelitian seperti ini di Asia Tenggara, kami berharap bab-bab dalam buku ini dapat memberi wawasan, inovasi, dan pencerahan tentang jenis-jenis pendekatan eklektik seperti apa yang dapat kita gunakan dalam penelitian yang menuntut multiperspektif.

 

*Disarikan dari bab Pendahuluan buku Manusia, Alam, dan Masyarakat: Kajian Multidisiplin Asia Tenggara yang ditulis oleh Mario I. Lopez, Nathan Badencoh, dan Achmad Choirudin.