Wawancara dengan Melkior Koli Baran: Tentang Ura Timu, Krisis Iklim, dan Pengorganisasian Masyarakat

Wawancara dengan Melkior Koli Baran: Tentang Ura Timu, Krisis Iklim, dan Pengorganisasian Masyarakat

 

Buku Ura Timu: Etnografi Iklim Mikro Flores (2022) terbitan INSISTPress dihasilkan dari riset partisipatif antara penduduk lokal di berbagai pulau di Nusa Tenggara Timur yang diorganisir oleh Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS). Hasil analisis dari riset tersebut kemudian dituang oleh Melkior Koli Baran menjadi buku yang amat berharga untuk menunjukkan dinamika perubahan iklim global pada tataran mikro dan sekaligus siasat adaptif masyarakat lokal dalam meresponsnya. Untuk menggali cerita-cerita lebih lanjut perihal proses riset dalam buku ini, Noer Fauzi Rachman mewawancarai penulis buku pada 7 Februari 2023 di Padepokan Perdikan‐Insist, Pakem, Yogyakarta. Berikut ini adalah transkrip dialog di antara keduanya:

Noer Fauzi Rachman (NFR): Bisakah Bung Melki cerita asal-usul dari gagasan dan maksud pembuatan buku Ura Timu: Etnografi Iklim Mikro Flores?

Melkior Koli Baran (MKB): Ketika kami kerja di desa-desa, kami menemukan para petani itu punya pengetahuan dan kearifan turun-temurun untuk mengenal tanda-tanda alam perggantian musim, kapan musim hujan datang, kapan mulainya kemarau. Lalu, muncul ide bagaimana bisa perubahan dari waktu ke waktu (mengenai) tanda-tanda alam itu ditulis agar jadi bahan bacaan bersama, sehingga tidak hilang dan bisa mudah dipahami utamanya bagi generasi muda di desa-desa kami bekerja.

NFR: Cara membuatnya bagaimana?

MKB: Caranya adalah kita kerja dengan orang-orang muda di delapan desa itu. Kami ambil orang-orang muda, dua orang per desa, laki-laki (dan) perempuan. Lalu kita kumpulkan mereka di Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS). Pertama-tama mulai mengobrol tentang tanda-tanda alam perubahan musim yang masih kuat dipegang masyarakat petani peladang. Apa saja yang diketahui anak-anak muda itu? Jadi 8 kali 2, kita punya 16 orang. Lalu dibuat diskusi bersama, hingga tindak lanjut anak-anak muda itu pulang (untuk) tanya orang-orang tua, lalu hasilnya dicatat.

Kami kasih panduan pertanyaan tentang pangan yang ada di desa dan cara pengolahan lahan di dua musim, hujan dan kemarau. Dicari tahu, apa saja tanda-tanda alam yang dikenal masyarakat desa yang menandakan saat segera masuk hujan dan saat musim hujan berakhir, mengawali kemarau. Lalu menggali apa yang berlangsung di desa sepanjang 30 tahun terakhir. Kita meminta mereka mencari narasumber yang sudah berumur. Sepanjang 30 tahun lalu, musim hujan di kampung itu mulai bulan apa berakhir bulan apa? Sepanjang 20 tahun lalu dan 10 tahun lalu. Lalu analisis, apa saja yang tampak berubah? Dan apa yang sebabkan perubahannya? Kita tiga kali datang berkumpul. Habis diskusi bersama, pulang lagi untuk melengkapi, kembali ke diskusi, lalu kembali lengkapi data yang diperlukan di lapangan.

Diskusi di Kimakamak

Diskusi di Kimakamak

NFR: Apa saja yang ditemukan?

MKB: Dari proses itu, kami kemudian menemukan bahwa di tahun-tahun terakhir ini curah hujan sangat sedikit dan musim hujannya pendek. Sementara itu, kemaraunya panjang yang akibatnya berupa gagal tanam dan gagal panen. Dari temuan utama itu, kemudian kita minta mereka memperdalam dengan diskusi dengan orang-orang petani desa bagaimana cara untuk menangani perubahan demikian itu, sehingga tetap bisa bertani dalam kondisi curah hujan yang pendek dan sedikit hujannya.

Dari diskusi, mereka sepakati caranya, untuk memulai proses baru lagi. Para petani coba mengamati kebun-kebun yang mereka kerjakan. Dari pengamatan itu, pada gilirannya ditemukan bahwa kebun yang permukaan tanahnya dibersihkan total saat hujan turun, gulma rumput langsung tumbuh. Benih-benih tanaman pangan masih harus dicari. Setelah benih tanaman pangan didapat, langsung ditanam. Jadinya tanaman pangan tumbuh belakangan dari rumput-rumput gulma itu. Pekerjaan petani ladang paling berat adalah menghilangkan gulma, baik (dari segi) waktu kerja petani atau besar biaya bila pakai tenaga upahan.

Sementara itu, di lahan lain sisa bekas panen lamanya, yakni jerami padi, batang jagung, daun-daunan dibiarkan menutupi tanah. Di tempat-tempat ini saat hujan turun, bekas panen lampau yang menutupi tanah menahan rumput tidak cepat tumbuh dan juga permukaan tanah berhumus tidak terkikis. Tanah pun lebih lembab tidak cepat kering. Sisa bekas panen lamanya itu kami sebut ‘mulsa organik’. Proses panjang itu, penggunaan mulsa organi di kebun petani, kalau hujan berhenti dan jeda selama dua minggu, tanah ladang masih lembab. Benih tanaman padi serta jagung segera hidup. Gulmanya tidak banyak dan tidak segera tumbuh. Waktu kerja lebih hemat.

Siklus Budaya Bertani

NFR: Mulsa itu kan nama plastik yang dipakai untuk menutup tanah.  Wah, Melki memakai istilah ‘mulsa organik’?

MKB: Iya. Dengan memakai mulsa organik, hasil lebih banyak, biaya lebih murah. Begitu hasil observasi.

Kebun Pekarangan

NFR: Berapa petani yang memakai (selama) masa uji-coba dan bagaimana selanjutnya?

MKB: Di tahun pertama kami fasilitasi petani (untuk) uji-coba. Tahun kedua kami fasilitasi lebih banyak petani lain ikut. Tahun pertama, satu kampung 5 orang dikali 8 kampung. Sekarang sampai lebih 20 petani per kampung.

NFR: Apa lagi temuannya, selain penggunaan mulsa organik itu?

MKB: Petani memilih jenis tanaman pangan yang lebih tangguh dan tahan dari kekeringan karena musin hujan lebih pendek dengan curah hujan yang kurang. Petani memakai benih jagung lokal yang bertahun-tahu teruji dan bertahan tumbuh di masa kemarau, ketimbang jagung hibrida. Juga sorgum lebih tahan menanggung kekeringan tinggi dan curah hujan kurang.

Namun, konsumen sorgum terbatas. Sorgum rasanya lebih kasar dari beras. Karena kekasaran itu, (bagi) mereka yang muda sudah terbiasa beras, tidak suka. Konsultasi ke Dinas Kesehatan dan bupati, kami dapat solusi sorgum menjadi tepung bahan bubur dan tepung bikin sereal untuk anak-anak. Tepung untuk sereal ini dibuat dengan menyosoh kulit arinya sorgum, hasilnya digiling jadi tepung, lalu disangrai sampai matang. (Setelah jadi) disebar ke posyandu-posyandu, untuk Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dengan dibikin bubur, dikampanyekan (sebagai) minuman pengurang stunting.

Tanaman Sorgum

NFR: Siapa yang dukung membiayai pembuatan buku ini?

MKB: Kita bekerjasama dengan Oxfam. Organisasi kami meminta dibiayai proses dan pembuatan buku itu dan alokasi anggarannya disetujui sampai publikasi dicetak jadi buku.  Ketika kami tunjukkan hasilnya ke Pak Roem Topatimasang, dia menyarankan INSISTPress yang menerbitkan. Pak Roem mengedit, memberi pengantar, dan membantu hingga terbit di INSISTPress tahun 2022.

NFR: Saya duga banyak informasi dan foto-foto dari proses ini.

MKB: Iya. Data-data tersebar di akun Facebook @kawanypps. Di sana ada catatan-catatan, foto-foto, video, disimpan di situ. Di YouTube ada di akun kawanypps.

Panen Kacang

NFR: Pertanyaan terakhir. Banyak orang membicarakan perubahan iklim dengan wacana global dan bicaranya makro. Sementara Melki dan kawan-kawan biacaranya lokal dan mikro.

Meki: Karena dampak lokal yang menjadi titik pijak, berangkat bukan dari kampanye global perubahan iklim yang mahal itu. Sekian karbon dan kompensasi duitnya itu. Tetapi kami berangkat dari cerita di tingkat lokal dan hasilnya pun kita komunikasikan (dengan) masyarakat lokal. Kami pelajari bagaimana masyarakat punya metode bertahan atas dasar persepsi tanda alam perubahan iklim, Dan kedua, dari situ, kita dapatkan bahwa mereka melakukan adaptasi yang manjur.