Pengantar Dunia Hantu Digul: Pemolisian sebagai Strategi Politik di Indonesia Masa Kolonial, 1926–1941 oleh Hilmar Farid
ADA banyak karya akademik tentang Indonesia yang berkualitas tinggi, tapi tidak banyak yang memiliki relevansi dengan situasi sosial dan politik seperti halnya karya Takashi Shiraishi. Buku pertamanya, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912–1926, bukan saja merupakan terobosan dalam studi tentang Indonesia, tetapi juga membantu kaum muda Indonesia untuk memahami sejarahnya, dan dengan begitu memahami diri kolektifnya, dengan lebih baik. Saat saya menerjemahkan buku tersebut pada paruh 1990-an, Indonesia juga tengah mengalami “zaman bergerak”. Mahasiswa turun ke jalan, pertemuan umum digelar dengan menghadirkan pembicara dari berbagai kalangan, dan bermacam organisasi dibentuk untuk menyuarakan aspirasi. Membaca Zaman Bergerak saat itu seperti bercermin ke masa lalu dengan ketajaman mikroskopis yang memungkinkan kita mengenali setiap lekuk dan guratan pada wajah pergerakan.
Berbeda dengan historiografi pergerakan pada umumnya yang memusatkan perhatian pada tokoh, organisasi, atau peristiwa tertentu, perhatian Takashi terarah pada dinamika pergerakan secara keseluruhan. Ia mengkritik kecenderungan teleologis dalam apa yang disebutnya historiografi ortodoks, yang melihat sejarah seolah berjalan linear melintasi waktu menuju bentuk akhirnya. Historiografi itu biasanya dimulai dari Kartini, melalui Budi Utomo, dan mencapai puncaknya saat Sumpah Pemuda, sebuah pernyataan politik tentang persatuan Indonesia. Takashi melihat masa itu sesungguhnya penuh gejolak dan tidak membentuk garis lurus sama sekali. Ia mencatat, misalnya, bahwa pergerakan pada awalnya adalah dunia yang sangat hidup, sebuah dunia yang bergerak, ketika bermacam gagasan dan praktik politik baru bermunculan di atas panggung pergerakan tanpa saringan. Semua orang berbicara dalam suara orang pertama, membangun otoritas karena sepak terjangnya sendiri, bukan sebagai wakil organisasi. Ideologi di masa awal ini dibentuk oleh bermacam sumber, mulai dari mistisisme Jawa sampai Marxisme, dari ajaran Islam sampai teosofi, yang diungkapkan secara kreatif dalam bahasa lokal.
Saat menerjemahkan Zaman Bergerak, saya mulai berkenalan dengan Subaltern Studies (kajian tentang rakyat tertindas) dan melihat ada berbagai kesamaan khususnya dalam cara membaca gerakan nasionalis. Seperti Takashi, para sejarawan India seperti Ranajit Guha dan Sumit Sarkar mengarahkan perhatian mereka kepada radikalisme rakyat. Mereka juga melihat kelemahan dalam historiografi dominan tentang pergerakan di India, yang menempatkan para tokoh dan organisasi nasionalis pada posisi sangat penting sedangkan masyarakat biasa hanya sebagai pengikut. Padahal, ada begitu banyak ekspresi, pemikiran, dan praktik politik masyarakat kebanyakan yang tidak hanya berbeda tapi bahkan bertentangan dengan para tokoh. Karena itu, historiografi harus cermat menggali dan menggunakan sumber sejarah. Apa yang ditampilkan dalam arsip negara, misalnya, tidak bisa begitu saja dianggap sebagai kebenaran. Kadang seseorang harus membaca arsip berlawanan dengan arus dan memperhatikan apa yang tidak dikatakan. Sama halnya, Takashi juga menganggap arsip kolonial sebagai sumber yang bermasalah, tidak hanya dari segi akurasi informasinya, tapi juga dari cara arsip tersebut menghadirkan kenyataan ke hadapan kita.
Dengan pendekatan itu, Takashi membaca pergerakan tidak dalam bingkai yang dibuat oleh penyusun arsip, melainkan melalui berbagai sumber lain dan pembacaan yang kritis terhadap arsip kolonial. Takashi pun mencatat bahwa baru pada pertengahan 1920-an pergerakan mulai didisiplinkan ke dalam kotak-kotak ideologi dan politik sebagai respons terhadap represi penguasa kolonial yang semakin meningkat. Jika sebelumnya seseorang bisa menjadi anggota bermacam organisasi, maka pada pertengahan 1920-an keanggotaan organisasi diperketat. Orang harus memilih organisasi mana yang akan diikutinya. Seiring dengan itu, wacana ideologis makin menajam, sementara radikalisme rakyat yang spontan dan terbuka pun kian memudar. Watak radikalnya kian surut, partisipasi rakyat makin berkurang. Ketika represi kian menguat, pergerakan makin terbelah. Panggung pergerakan didominasi oleh unsur yang paling militan. Mereka menganggap situasi sudah “matang” untuk revolusi dan perubahan yang menyeluruh. Dalam kondisi yang sangat tidak siap tapi dengan semangat menggebu, mereka melancarkan pemberontakan. Sejumlah aparat kolonial tewas tapi tidak terjadi pengambilalihan kekuasaan seperti lazimnya dalam sebuah pemberontakan. Dalam waktu singkat, penguasa kolonial memadamkan pemberontakan dan menangkapi para pelakunya. Lebih dari 14.000 orang ditangkap. Sejumlah kecil dihukum mati. Sekitar 1.300 orang dibuang ke Boven Digul.
Bagi Takashi, rangkaian peristiwa itu menjadi penanda penting dalam sejarah pergerakan. Bukan saja karena elemen paling militan dalam pergerakan berhasil disingkirkan dari panggung pergerakan, tapi juga karena penguasa kolonial meningkatkan represi dan pengawasan terhadap masyarakat. Dan itulah yang menjadi tema utama dari bukunya yang kedua, Dunia Hantu Digul: Pemolisian sebagai Strategi Politik di Indonesia Masa Kolonial, 1926–1941. Jika melihat kurun waktunya, buku ini boleh dibilang sebagai susulan dari buku pertamanya, Zaman Bergerak. Tetapi, dalam buku ini, Takashi memusatkan perhatian pada strategi penguasa kolonial dalam menghadapi politik pergerakan. Pembuangan para tahanan ke Boven Digul, pengerahan polisi untuk menangani urusan politik, serta berbagai kebijakan represif seperti pembredelan pers dan pembatasan terhadap kegiatan organisasi, semua ini membentuk ‘medan politik’ (political terrain) yang sangat berbeda dari sebelumnya.
Dalam Zaman Bergerak, Takashi juga memberi perhatian khusus pada medan politik yang dibentuk oleh berbagai kekuatan sosial dan ekonomi. Ekspansi industri perkebunan pada abad ke-19 melahirkan daerah perkotaan, jaringan transportasi dan komunikasi, serta infrastruktur sosial dan kultural yang tidak pernah ada sebelumnya. Di satu sisi, semua ini memungkinkan para pemilik modal untuk mendapatkan keuntungan berlipat secara lebih efisien, tapi di sisi lain juga membuka jalan bagi pergerakan untuk melakukan berbagai hal, mulai dari menerbitkan dan menyebarkan surat kabar sendiri dan melancarkan “perang suara” terhadap peguasa, membentuk organisasi lengkap dengan cabang dan rantingnya di tingkat kota dan desa, sampai mengirim para tokoh dan propagandis dari satu tempat ke tempat lain untuk memperkuat organisasi. Dalam dekade kedua abad ke-20, medan politik di Jawa sudah berubah drastis. Apa yang semula tidak terbayangkan akan dikatakan seseorang terhadap penguasa kolonial di Batavia maupun penguasa tradisional di keraton, tiba-tiba diutarakan seorang biasa yang hanya lulus sekolah dasar. Apa yang mungkin dilakukan dan tidak mungkin dilakukan juga ikut berubah seiring dengan berubahnya medan politik.
Dalam buku kedua ini, Takashi melanjutkan kisahnya tentang pergerakan. Represi penguasa kolonial terhadap pemberontakan 1926 dan politik pergerakan secara keseluruhan mengubah medan politik di Jawa secara drastis. Lebih dari 14.000 orang ditahan setelah pemberontakan itu. Belasan orang kemudian dihukum mati, sementara 1.300 orang lainnya dibuang ke kamp tahanan di Boven Digul. Dalam kamp tersebut, para tahanan dibagi ke dalam berbagai kategori yang mencerminkan tingkat kemungkinan perbaikannya. Mereka yang mau bekerjasama dengan penguasa kolonial dianggap dapat diperbaiki dan ditempatkan dalam kamp Tanah Merah. Di kamp ini, ada berbagai fasilitas layaknya kota biasa, lengkap dengan sekolah, rumah sakit, bahkan penjara. Mereka yang tetap membangkang dan menolak bekerjasama dengan penguasa kolonial ditempatkan di kamp Tanah Tinggi, puluhan kilometer dari kamp Tanah Merah ke arah hulu Sungai Digul. Di kamp ini tidak ada fasilitas apa pun. Para tahanan membangun sendiri rumah mereka dan hanya sesekali ditengok oleh para penjaga. Alam yang keras, hutan dan rawa, menjadi pagar kamp tahanan ini.
Di masa sebelumnya, pembuangan dilakukan untuk memisahkan para tokoh dari pengikut mereka. Para sultan dan bangsawan yang melancarkan perlawanan antikolonial di abad ke-19 di Sumatera dan Kalimantan, misalnya, malah dibuang ke berbagai kota di Jawa. Kamp Digul menjadi tempat pembuangan massal yang tidak ada bandingannya dalam sejarah dan dengan begitu menjadi penanda baru dalam cara penguasa kolonial mengendalikan kehidupan politik. Kamp Digul bukan kelengkapan dari instrumen penegakan hukum seperti halnya penjara, melainkan sebuah strategi penegakan keamanan dan ketertiban yang diambil gubernur jenderal dengan exorbitante rechten atau kewenangan di luar hukum yang melekat pada jabatannya. Kamp Digul dengan begitu menjadi penanda dalam medan politik atas apa yang akan dilakukan oleh penguasa kolonial terhadap mereka yang melanggar batas kewajaran.
Batas kewajaran, atau apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, ditetapkan oleh penguasa bukan melalui aturan hukum yang jelas melainkan melalui praktik pengawasan terhadap kegiatan politik masyarakat, baik yang bersifat terbuka maupun yang bergerak di bawah tanah. Ada beberapa kata kunci yang digunakan sebagai penanda pelanggaran terhadap batas kewajaran, dan jika pelanggaran terjadi maka polisi segera bertindak. Hukuman terburuk adalah pembuangan ke Boven Digul. Praktik pengawasan ini dimulai segera setelah pemberontakan 1926 dan semakin diperketat ketika de Jonge, seorang politisi konservatif, menjadi gubernur jenderal pada 1931. Penguasa kolonial sangat membatasi ruang kaum pergerakan. Politik dilihat sebagai ursuan keamanan semata-mata. Peran polisi semakin meningkat sehingga polisi menjadi identik dengan urusan politik. Medan politik yang semula terbuka, tempat tumbuhnya gagasan dan ekspresi politik yang sangat beragam, sekarang ditempatkan di bawah pengawasan ketat. Apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dikatakan bergeser drastis, dan setiap pelanggaran punya konsekuensi politik. Perubahan ini kemudian diterima sebagai sesuatu yang wajar dan menjadi kenormalan baru, yang oleh Takashi, dengan mengutip Rudolf Mrazek, disebut sebagai ‘kenormalan ganjil’ (perverted normalcy).
Dua bab buku ini ditulis oleh Takashi ketika Orde Baru masih berkuasa. Bab “The Phantom World of Digoel” terbit pada 1996 (di buku ini “Dunia Hantu Digul”), sementara “Policing the Phantom Underground” terbit pada 1997 (di buku ini “Mengawasi Hantu Bawah Tanah”). Saya ingat, begitu terbit, kedua artikel ini segera beredar dalam bahasa aslinya maupun naskah terjemahan kasarnya, sebelum kemudian diterbitkan sebagai buku dengan judul Hantu Digoel: Politik Pengamanan, Politik Zaman Kolonial oleh LKiS pada 2001. Kesamaan antara politik rust en orde kolonial dengan politik keamanan dan ketertiban Orde Baru begitu mencolok sehingga menjadi tema umum dalam gerakan menentang otoritarianisme Orde Baru. Pemahaman ini mendorong semakin banyak orang untuk melanggar batas kewajaran dan kenormalan ganjil yang ditetapkan Orde Baru serta mengikuti politik pergerakan di masa awal dengan penerbitan surat kabar dan majalah tanpa izin, menggelar pertemuan umum dan demonstrasi, membentuk organisasi independen, dan sebagainya. Dalam konteks ini, karya Takashi menjadi sumber inspirasi bagi pergerakan di masa Orde Baru.
Dalam buku ini, Takashi mengakui bahwa awalnya ia meneliti periode ini karena melihat kesamaannya dengan masa Orde Baru. Namun, dalam proses menyusun buku ini, bertahun-tahun setelah Orde Baru berakhir, ia melihat perbedaan besar antara masa kolonial dengan masa Orde Baru. Apakah karyanya yang diterbitkan pada 2021 dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia pada 2023 ini punya relevansi di masa sekarang? Melihat masa lalu untuk memahami masa sekarang tentu penting tapi punya bahaya tersendiri. Paralelisme sejarah sering membuat kita menutupi perbedaan karena ingin menonjolkan kesamaan antara masa lalu dengan masa kini, dan berakhir dengan pemahaman sejarah yang keliru. Paralelisme yang ekstrem bisa bermuara pada “cocokologi” yang sekadar mencari pembenaran dari masa lalu yang diseleksi dan bahkan dimanipulasi sedemikian rupa agar terlihat cocok. Hal itu bisa dilakukan oleh penguasa maupun mereka yang menentang penguasa. Buku ini berguna untuk memahami dunia kita sekarang bukan karena kesamaan peristiwa atau gejala sejarahnya. Konsep kunci seperti ‘kenormalan ganjil’ dan pemahaman tentang ‘medan politik’ yang menyeluruh dan rinci sekaligus tetap akan berguna bagi siapa saja yang berpikir untuk menembus batas kewajaran demi masa depan yang lebih baik.
Jakarta, 5 Februari 2023, dini hari