Wawancara dengan Efrem Silubun: Tentang Penulisan Buku Larvhul Ngabal dan Masa Depan Hukum Adat Kei
Buku Larvhul Ngabal: Menyingkap Kembali Hukum Adat Kei adalah barang langka yang takternilai bagi upaya pencatatan hukum adat lokal di Nusantara yang lebih banyak berserak dan akhirnya sedikit demi sedikit terlupakan. Sang penulis, Efrem Silubun, yang juga merupakan putra daerah Kei tidak saja menulis dengan tekun terhadap hukum adatnya, tetapi juga secara detail membahas hukum tersebut dari berbagai aspeknya: mulai filosofi, sejarah, kebahasaan, dan konteks sosial politiknya. Untuk mengulik lebih jauh tentang proses penulisan dan temuan di lapangan, Noer Fauzi Rachman mewawancarai penulis buku. Berikut ini adalah transkrip dialog di antara keduanya:
Noer Fauzi Rachman (NFR): Bisakah Bung Efrem cerita asal-usul dari gagasan dan maksud pembuatan buku Larvhul Ngabal: Menyingkap Kembali Hukum Adat Kei?
Efrem Silubun (ES): Ada beberapa hal yang melatari penulisan buku ini. Pertama, dari waktu ke waktu para tetua yang memiliki pengetahuan dan pemahaman hukum adat dan tradisi Kei semakin berkurang di satu sisi, sementara di sisi lainnya berbagai tuntutan dan perubahan yang terjadi menyebabkan generasi muda semakin terus berjarak dengan generasi tua yang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang itu.
Kedua, kebijakan-kebijakan publik semisal Peraturan Daerah dan lain-lainnya, dasar kajiannya belum menyentuh banyak hal substansial dalam hukum adat dan budaya Kei, sehingga kebijakan tersebut tidak berdampak (untuk) melindungi, bahkan ikut merusak nilai-nilai luhur yang ada dalam hukum adat dan budaya Kei. Ketiga, ada hal yang mengusik saya tentang hukum Larvhul Ngabal yang dikatakan sebagai hukum yang mendasari seluruh peri kehidupan orang Kei, tetapi belum ada satu pun penjelasan, baik lisan maupun tertulis untuk itu. Tiga hal inilah yang mendorong saya untuk menulis buku ini.
NFR: Bagaimana proses penulisannya?
ES : Sebagai turunan pemangku adat di Utan (Desa) Soin Hoor Arki – Hollat dan Ratschap (wilayah adat) Maur Ohoiwut di utara Pulau Kei Besar yang aktif mendampingi para tetua dalam berbagai urusan hukum adat dan budaya di sana, saya memiliki sejumlah besar pengetahuan untuk itu (menuliskannya). Setelah melakukan berbagai diskusi dan kajian, hasil-hasil temuannya saya buat dalam satu kerangka yang sistematis dan runut, yang mana saat saya ada waktu luang atau ada temuan-temuan baru dari hasil dialog, diskusi, atau hajatan adat tertentu, saya mengisinya dalam kerangka yang sudah ada hingga tulisannya rampung. Selain itu, saya juga mencari referensi-referensi pembanding atau materi kepustakaan lainnya untuk mempertajam konteksnya. Itulah sebabnya, setelah tujuh tahun barulah buku ini bisa rampung dan diterbitkan.
NFR: Apa saja yang ditemukan?
ES: Kalau selama ini penjabaran hukum Larvhul Ngabal hanya sebatas sampai bidang yuridis yang disebut Sasa Sor Fit. Ternyata setelah ditelusuri dan didalami hukum Larvhul Ngabal sebenarnya dijabarkan dalam tujuh bidang utama. Tujuh bidang inilah yang kemudian menegaskan peran hukum Larvhul Ngabal sebagai hukum yang mendasari seluruh peri kehidupan suku Kei.
NFR: Seberapa kuat hukum adat Kei saat ini dan bagaimana kelanjutannya?
ES: Kekuatan utama hukum Larvhul Ngabal saat ini adalah keterikatan dan keyakinan hampir seluruh orang Kei atas hukum ini. Tetapi persoalan utamanya adalah dari hari ke hari semakin berkurang orang yang memiliki pengetahuan, pemahaman, dan penghayatan atas hukum adat dan budaya Kei secara keseluruhan. Penulisan buku ini (adalah) salah satu upaya kecil untuk tetap memelihara hukum adat dan budaya Kei. Tetapi diperlukan langkah-langkah konkret untuk tetap menghidupkan nilai-nilai luhur hukum Larvhul Ngabal.
NFR: Apa lagi temuannya, selain penjabaran dalam tujuh tema utama tadi?
ES: Dalam proses penulisan buku ini dan dari ketekunan untuk mendalami hukum adat dan budaya Kei, saya juga menemukan beberapa jawaban dari berbagai pertanyaan mendasar tentang budaya Kei yang selama ini belum tuntas terjawab (dan) bahkan belum terjawab selama ini. Misalnya, mengapa perempuan dan hak ulayat disandingkan dan menjadi alasan utama orang Kei mempertaruhkan nyawanya jika terjadi pelanggaran atasnya?
NFR: Apa jawabannya?
ES: Perempuan dan ulayat merupakan sumber dan simbol kehidupan setiap orang Kei. Makanan dan minuman yang menghidupi setiap orang berasal dari sana. Demikian juga dengan perempuan. Setiap orang terbentuk dalam tubuh perempuan, lahir dari perempuan, dan makan-minum untuk pertama kalinya dari tubuh perempuan. Sementara kehidupan sendiri merupakan salah satu nilai tertinggi dalam hukum Larvhul Ngabal yang sangat dijunjung tinggi oleh orang Kei.
NFR : Siapa yang mendukung untuk membiayai pembuatan buku ini?
ES: Proses pengumpulan data dan penulisan buku ini sendiri dilaksanakan secara mandiri dan dibantu oleh beberapa teman seperti Bang Edo Rahail dan Bang Hiron Dumatubun serta beberapa teman lainnya. Sementara biaya penerbitannya berasal dukungan teman-teman alumni INVOLVEMENT.
NFR: Saya duga banyak informasi dan foto-foto dari proses ini.
ES: Ada beberapa di Facebook dan YouTube tentang keterlibatan saya (dalam) memperdalam pemahaman saya tentang hukum adat dan budaya Kei yang tertuang dalam buku ini. Sementara data dan informasi lainnya masih tersimpan dalam beberapa tulisan lepas lainnya.
NFR: Pertanyaan terakhir. Banyak orang membicarakan wacana global dan bicaranya makro. Sementara Efrem dan kawan-kawan bicaranya lokal dan mikro?
ES: Dalam menulis buku ini saya berusaha juga memahami konteks global dan makronya terlebih dahulu untuk mendudukkan dalam konteks lokalnya. Tetapi konteks lokal dan mikronya menjadi prioritas utama karena berkaitan dengan apa yang berasal dan hidup dalam masyarakat setempat. Tujuan utama penulisan buku adalah masyarakat adat Kei dapat terus maju dan berkembang dalam perubahan zaman di atas nilai-nilai dan jati diri mereka sendiri.