Hari Perempuan Internasional adalah monumen penting perjuangan perempuan kelas pekerja. Lebih dari seabad lalu, belasan ribu perempuan pekerja memenuhi jalanan Kota New York menuntut pengurangan jam kerja, kenaikan upah, dan hak untuk memilih—cikal bakal gerakan perempuan pekerja internasional yang kemudian melahirkan Hari Perempuan Internasional.
Perjuangan perempuan pekerja menjalar ke isu-isu perempuan lebih luas seiring suburnya berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala aspek kehidupan.
Dalam konteks dunia perburuhan di Indonesia, sebagaimana dicatat BPS (2022), porsi perempuan pekerja sekitar 40% dari total pekerja yang ada. Perempuan pekerja industri kerap mengalami diskriminasi di tempat kerja. Michele Ford, dalam bukunya Buruh dan Intelektual, mencatat persinggungan erat antara gerakan perempuan dan gerakan buruh dalam memaknai serta memperjuangkan hak-hak perempuan dan dunia kerja.
Sementara di ranah kultural, berbagai praktik diskriminasi terhadap perempuan masih tumbuh subur. Rachmi Diyah Larasati, dalam bukunya Menari di Atas Kuburan Massal, mencatat bagaimana perempuan (penari) mengalami diskriminasi struktural berlapis baik oleh negara (Orde Baru) maupun lembaga dan aktor dominan di masyarakat.
Diskriminasi terhadap perempuan dalam segala aspek kehidupan menunjukkan bahwa ketakadilan gender merupakan persoalan sistematis. Melalui buku Analisis Gender & Transformasi Sosial, Mansour Fakih menekankan pentingnya analisis gender untuk mempertajam analisis kritis yang sudah ada, serta keterkaitan antara persoalan gender dengan persoalan ketakadilan sosial.
Tiga buku ini bisa melengkapi bacaan kita dalam merefleksikan Hari Perempuan Internasional. Panjang umur perjuangan perempuan!