“Saat kami mencoba menganalisis dialog sebagai fenomena kemanusiaan, kami menemukan sesuatu yang merupakan inti dari dialog itu sendiri: Kata. Di dalam kata, kita menemukan dua dimensi, refleksi dan aksi, dalam interaksi yang begitu radikal, sehingga jika salah satu dikorbankan bahkan sebagian-maka yang lain akan langsung menderita. Tidak ada kata sejati yang sekaligus bukan merupakan praksis. Jadi, membicarakan kata sejati adalah mentrasformasi dunia.” (Paulo Freire, 1970/2000: 87)
Buku ini adalah hasil ‘panen pengetahuan’ dari kerja-kerja lapang (fieldwork) dua orang penulisnya, Roem Topatimasang dan Ahmad Mahmudi. Mereka adalah dua orang empu sekaligus guru dalam penelitian aksi partisipatif, pendidikan kerakyatan, dan pengorganisasian masyarakat, khususnya pada aras akar rumput di wilayah pedesaan. Sebenarnya tidak cukup penabalan sedemikian itu untuk mewakili bidang keahlian mereka. Roem Topatimasang adalah juga seorang pembuat video, penulis, penerjemah buku, dan desainer gratis handal. Ahmad Mahmudi pernah menjadi seorang eksekutif dan sampai sekarang masih menjadi anggota dewan pembina beberapa organisasi nonpemerintah (ornop), koperasi, sekolah tinggi, selain sebagai seorang pengajar yang berpengetahuan luas dalam teknologi tepat guna, khususnya untuk produksi pangan dan energi terbarukan, praktik-praktik agroekologi, serta ramuan-ramuan tradisional untuk ke sehatan dan kebugaran. Mereka berdua telah bekerja bersama dalam berbagai kerja pendidikan rakyat dalam rentang waktu lebih dari 30-an tahun, termasuk dalam mengembangkan metoda-metoda dan teknik-teknik pendidikan untuk para pegiat (aktivis) ornop yang bekerja di lapangan. Bagi para pekerja atau petugas dan fasilitator lapang, buku ini memberi contoh-contoh esai etnografi yang ciamik, berangkat dari kerja lapang penulisnya di berbagai lokasi pedalaman Nusantara.
Memang, tiap-tiap kerja lapang selalu terkait dengan suatu misi tertentu dari suatu penelitian, program atau proyek, penugasan organisasi, atau panggilan pribadi sang pelaku. Selain untuk misinya itu, setiap orang yang melakukan kerja lapang memiliki kesempatan lebih luas untuk menyelidiki lebih mendalam melalui pengamatan, percakapan, hingga pendokumentasian-secara visual dengan foto-foto, misalnya, atau dengan membongkar arsip-arsip lama yang berhubungan dengan topik yang menarik perhatiannya. Kerja lapangan bisa jadi membuka kemungkinan mendapat pengalaman, informasi, hingga kenyataan penting yang tidak terduga, tidak diperkirakan sebelumnya, dan tidak diniatkan. Terlalu sayang jika semua fakta dan informasi itu dilewatkan begitu saja, sebagian menjadi ingatan dan, pada gilirannya, lalu terlupakan.
Pekerja lapang selayaknya memiliki catatan dan dokumentasi lapang. Buku ini menunjukkan bahwa catatan dan dokumentasi lapang itu dapat menjadi bahan dasar untuk etnografi. Tentu saja, tidak cukup hanya mengandalkan catatan dan dokumentasi lapangan itu semata mata. Perlu dorongan kehendak (motif) yang kuat, akses pada data, kemampuan mengorganisir data, dan last but not least, kecakapan menuliskan dan menyajikannya. Memang, kecakapan itu bisa saja dilakukan secara otodidak, seperti jalan tempuh dua penulis buku ini, namun akan lebih memudahkan bila peneliti dibimbing oleh mentor dan dengan contoh-contoh.
Andil Etnografi
Etnografi sebagai metoda penelitian mendasarkan diri pada kerja lapang mengumpulkan data dan informasi, terutama melalui proses-proses observasi-partisipasi dan keterlibatan bersama subjek dalam situasi alamiahnya. Bisa juga dengan mengkombinasi macam-macam metoda dan teknik penelitian lainnya. Selain itu, etnografi juga adalah suatu cara menyusun dan menyajikan hasil penelitian melalui tulisan, bisa disertai dengan sajian peta, foto, sketsa, dan lain-lain. Bisa juga disajikan secara lisan, bahkan secara audio-visual.
Saya menikmati membaca naskah-naskah etnografi dalam buku ini, dan dalam pengantar ini saya hendak menunjukkan andil beretnografi bagi para pekerja lapang. Para pekerja lapang dapat mengamati peristiwa atau rangkaian peristiwa yang menarik, atau justru (rangkaian) peristiwa itu yang datang kepadanya. Di saat itulah pertama kalinya, dan untuk selanjutnya, sang pekerja lapang merasa menghadapi suatu ‘misteri (teka-teki)’ tertentu. Dia memiliki rasa ingin tahu yang kuat untuk mengungkapnya, sampai-sampai merasa dirinya terpanggil secara pribadi untuk meneliti lebih mendalam agar bisa menjelaskan apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Saya menyebutnya sebagai ‘panggilan beretnografi,’ yakni cara bagaimana sesuatu peristiwa, atau rangkaian peristiwa, tertentu datang menghampiri seseorang, lalu menjadi fokus perhatian, dedikasi, dan keterlibatannya. Dia lalu memutuskan untuk menelitinya.
Setelah datanya cukup dan situasinya memadai, maka dia pun bisa menerangkan apa yang sesungguhnya terjadi melalui tulisan dan cara cara penyajian lainnya. Awal keterpanggilan itu bisa jadi merupakan awal dari pemenuhan tanggung jawab etis untuk mengungkap ‘misteri’ yang meliputi peristiwa. Dalam salah satu buku teks mengenai etnografi kritis, ada pernyataan: “etnografi kritis dimulai dari tanggung jawab etis untuk mengatasi proses ketidakwajaran atau ketidakadilan dalam wilayah kehidupan tertentu” (Madison 2005: 5).
Apa yang ia maksud dengan ‘tanggung jawab etis’ adalah rasa tanggung jawab dan komitmen yang kuat berdasar prinsip-prinsip kebebasan dan kesejahteraan manusia, dan karenanya, adalah juga rasa belas kasihan terhadap penderitaan makhluk hidup. Kondisi-kondisi kehidupan mereka dalam suatu konteks tertentu tidaklah seperti yang dialami oleh si etnograf. Akibatnya, ia merasakan kewajiban etis untuk memberikan andil dalam mengubah kondisi tersebut menuju kebebasan dan kesetaraan yang lebih besar. Etnografi kritis melihat permukaan, lalu mendalaminya ke lapisan lapisan bawah yang bisa memberi pengertian bagaimana yang di permukaan tadi bisa terjadi, sehingga mampu mengungkapkan cara kerja kekuasaan, termasuk dengan membentuk atau membiarkan, atau mengendalikan-akibat dan situasi yang melestarikannya.
Etnografi dalam pengertian ini adalah dalam rangka menjawab pertanyaan utama: ‘apa sesungguhnya yang terjadi’, kemudian dilanjutkan dengan meneliti lebih rinci dan mendalam ‘bagaimana situasinya’ (empiris), ‘siapa melakukan apa’ (aktual), serta ‘bagaimana mekanisme dan prosesnya yang membentuk kejadian kejadian’ (real)-sebagaimana yang dianjurkan dalam panduan metodologisnya Bhaskar (2008) dan Sayer (2000).
Lebih dari sekedar menjalani proses sebagai tahapan-tahapan yang diharuskan, maka setiap etnograf semestinya membangun otoritas etnografis (ethnographic authority), yakni berperan membuat peristiwa dan situasi yang diteliti bisa diperlihatkan secara otoritatif atas dasar pengamatan dan keterlibatannya secara langsung. Keampuhan etnografis (ethnographic authority) itu bukanlah sesuatu yang dengan demikian saja bisa diperoleh. Pertama-tama, seperti dinyatakan oleh Clifford (1988), para penulis etnografi tidak dapat mengabaikan dan mampu mengeksplisitkan “asumsi politik dan epistemologis yang terkandung di dalam penelitian dan penulisannya.” Perlu ditegaskan bahwa klaim ‘netral’ dan ‘komprehensif’ tidak (di)berlaku(kan) di sini. Gugatan atas netralitas dan, pada sisi sebaliknya, dukungan pada keunggulan sifat parsial dan partisan (berpihak) telah mendapat tempat penting dalam perdebatan filsafat ilmu (Hammersley 2000; Harawai 2016).
Otoritas etnografis harus dibuat dan tidak bisa lagi diasumsikan sudah tersedia begitu saja (Clifford 1983; Wellman 1994). Validitas dari etnografi itu bukan hanya karena penulisnya hadir menyaksikan peristiwa dan situasi yang melingkupinya. Salah satu metode yang sangat berguna untuk membentuk otoritas tersebut adalah dengan mendeskripsikan proses kerja lapangan, merinci proses yang dilalui, mengakui para kolaborator lokal dan andilnya, mengandalkan kekuatan dan kesahihan catatan catatan lapangannya, hingga akhirnya menunjukkan cara menuliskannya. Jadi, otoritas itu dibangun berdasarkan cara-cara yang handal dalam setiap langkahnya, dalam penyediaan dan kecukupan bahan-bahannya, tata caranya, peralatannya, hingga resep ‘memasaknya di dapur’ produksi pengetahuannya.
Jalur etnografi demikian itu berbeda dengan jalur ‘menguji teori’ yang umumnya dipakai dalam penelitian skripsi sarjana hingga tesis pascasarjana di perguruan tinggi. Di perguruan tinggi, mahasiswa memang dibiasakan untuk fasih dalam teori-teori. Teori memang memiliki kedudukan tinggi sebagai pengetahuan otoritatif dalam dunia akademik. Berdasarkan teori tertentu, mahasiswa diminta menyusun argumen atau hipotesis untuk menjelaskan permasalahan atau tema penelitiannya. Sudah biasa diajarkan dalam perkuliahan bahwa metoda penelitian dipilih secara leluasa oleh peneliti karena keampuhannya, bagaikan peralatan tangkap ikan yang bisa dipilih sesuai dengan keperluan si nelayan. Anggapan ini terns hidup dan dihidupkan oleh para dosen dari satu generasi ke generasi mahasiswa berikutnya. Bagi para mahasiswa yang sedang belajar meneliti, ia menyusun argumen yang diturunkan dari teo ri tertentu untuk diperiksa keberlakuannya dalam hal memilih metoda penelitian, merancang alat ukur dan prosedur perolehan datanya. Data yang diperoleh merupakan fakta atau in formasi yang digunakan oleh si peneliti untuk mengetahui hubungan-hubungannya dengan pertanyaan penelitian dan argumennya. Semua tahapan penelitian tersebut dilakukan dalam rangka memberi alasan pembenaran atas teori (in the context of justification) (Reichenbach 2006/1938: 6-7).
Icip-lcip 10 Naskah Etnografi
Bacalah satu per satu esai-esai etnografis di setiap bab buku ini. Para pembaca, khususnya yang berlatar belakang sebagai pekerja lapang atau pernah sebagai pekerja lapang-akan mendapat contoh hasil panen pengetahuan dari hasil kerja-kerja lapangan yang tersaji dengan ciamik, sehingga kita yang membacanya bakal menikmatinya dan, pada gilirannya, bisa jadi terpengaruh.
Penulis esei-esei etnografis dalam buku ini, Roem Topatimasang dan Ahmad Mahmudi, dengan mantap menggunakan kata ‘saya’ sebagai subjek, mengungkap permasalahan yang disajikan sejak dari judul-judul yang mereka gunakan pada setiap tulisan untuk menunjukkan ironi. Mereka menyajikan catatan-catatan lapangan mereka dalam gaya bertutur, hasil kombinasi kalimat-kalimat dari pengamatan langsung, potongan percakapan, rujukan pengetahuan yang relevan, peta-peta lokasi, dan foto-foto yang dipilih untuk membantu ceritanya mengalir lancar, tetapi tetap mengikuti cara-cara penulisan ilmiah. Inilah ciri penting dari semua naskah mereka, bukan hanya dalam buku ini, tetapi juga dalam banyak laporan kegiatan dan perjalanan mereka yang pernah saya baca.
Naskah pertama buku ini, “Menapak Jejak Surga yang Hilang”, menguraikan ironi-ironi perubahan ruang dan sosial ekologi di Papua berdasar hasil-hasil pengamatan, percakapan, perjalanan, juga dari keterlibatan langsung dua penulis. Misalnya, menghubungkan peristiwa ‘bencana kelaparan Yahukimo’ pada November-Desember 2005 dengan perubahan pola konsumsi pangan, dengan pengetahuan budidaya usaha tani tradisional, dan dengan daya dukung alam yang melimpah. Semuanya untuk memberi alas lokal atas kehadiran kontroversi proyek raksasa ‘Lumbung Pangan dan Energi Merauke’ (Merauke Food and Energi Estate [MIFEE]).
Naskah kedua bertajuk “Kepala Kampung yang Kepalanya Tidak di Kampung”, suatu pilihan judul yang-seperti di naskah pertama mewakili ironi yang diceritakan. Irani itu adalah gelontoran berbagai ‘dana pembangunan’ dari pemerintah-‘dana kampung’ atau ‘dana desa’, ‘alokasi dana desa’, ‘dana otonomi khusus’ yang telah membentuk perubahan ruang gerak para pemimpin lokal di Provinsi Papua dan Papua Barat semakin menjauh jaraknya dengan rakyat mereka. Banyak kepala kampung di sana menghabiskan waktu mereka lebih banyak di kota-kota hanya untuk mengurus perolehan dan pemanfaatan dana-dana tersebut. Begitu pula para pemimpin pemerintah daerah di aras yang lebih tinggi (kabupaten dan provinsi). Kritik disampaikan melalui ungkapan telak dari salah seorang kepala kampung yang frustasi: “Tapi, bagaimana ujung tombak mau tikam sasaran dengan baik kalau gagang tombaknya melanglang buana terus ke Jakarta, Bali, Manado …?”
Naskah ketiga, “Menuju ‘Kiamat’ Pulau-pulau Kecil”, menceritakan akibat langsung dari ekstraktivisme oleh perusahaan-perusahaan tambang di pulau-pulau kecil. Lebih dari sekedar menggunakan hasil pengamatan, ungkapan atau pernyataan kesaksian, rujukan pengetahuan etnografi dengan gambar-gambar hasil teknologi penginderaan jauh yang tersaji pada tulisan ini, membuat kita sebagai pembaca menjadi yakin akan kerusakan yang dituturkan. Contohnya adalah gambar citra satelit Pulau Gie di Teluk Maba, Kecamatan Maba, Kabupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara. Citra satelit itu jelas-jelas memperlihatkan bentang alam pulau kecil seluas 176,81 ha tersebut tampak nyaris gundul total dikeruk oleh PT Aneka Tambang sejak tahun 2000. Mengikuti tuturan ceritanya sampai selesai, dapat membuat kita tidak sekedar bertanya mengenai apa makna keberlanjutan dari pembangunan berkelanjutan, tetapi juga apa yang sebenarnya terjadi adalah kebalikan dari apa yang didengungkan.
Naskah keempat, “Ke Mana Semua Perahu Nelayan itu Pergi?”, dibuka dengan satu pintu basil pengamatan lapang yang mengejutkan pada satu saat, yakni hilangnya semua ‘kendaraan air’ di pantai-pantai sepanjang Teluk Kao, teluk penghasil ikan teri (ngafi) yang masyhur di pasar-pasar kota di seluruh Maluku Utara, juga di sebagian Sulawesi Utara dan Tengah. Tulisan etnografis ini mampu bertutur secara memesona, dengan memberi tempat pada persepsi dan pengetahuan umum yang dipunyai oleh penduduk lokal mengenai musabab dari gejala itu, yakni pencemaran laut oleh limbah industri pertambangan PT Nusa Halmahera Mineral yang marak di sana sejak awal 1990- an. Inilah andil etnografi. Hanya 0,01 persen saja dari material yang dikeruk yang diambil emasnya, dan sisanya adalah limbah (tailing) yang dibuang. Bayangkan, berapa besar sampah yang terbuang! Ketika pemerintah tidak bisa menangani dan mengabaikan saja efek dari limbah dari tambang emas, etnografi dapat mengabadikannya dalam tulisan.
Naskah kelima, “Hijau Tunggal, Biru Payau, Kerah Coklat”, suatu judul metaforis. Inilah naskah yang jelas sekali menunjukkan bagaimana kemelut perubahan agraria lokal berlangsung sebagai akibat dari intervensi serba-terpusat. Salah satu kemelut yang diangkat adalah intervensi Dinas Perkebunan Kabupaten Polewali Mamasa, Sulawesi Barat, yang mengarahkan warga petani lokal menanam kakao, menjadikan lahan-lahan mereka sebagai tapak produksi komoditas global. Naskah ini dengan jeli memperlihatkan bagaimana ‘kondomisasi coklat’, misalnya, yang disarankan secara serampangan oleh petugas Dinas Perkebunan untuk menghindari serangan penyakit, ternyata gagal total. Hama sudah ada di dalam buah ka kao. Selain mendokumentasikan peristiwanya, etnografi juga sanggup menggambarkan situasi rakyat yang tak terlihat. Contohnya, pem baca mendapatkan gambaran kemerosotan pendapatan petani kakao yang berhasil ditunjukkan melalui penggambaran neraca keuangan yang sudah minus dalam empat bulan masa pemantauan.
Naskah keenam, “Rindu Seribu Batang Jagung”, adalah ungkapan sang penulis sendiri, mengambil latar Desa Lambanapu di daratan bagian timur Pulau Sumba, tempat di mana pemerintah pernah amat giat menggencarkan anjuran-bahkan paksaaan dan ancaman-kepada para petani tempatan agar menanam jenis padi unggul. Apakah terbayangkan yang kemudian terjadi setelah intervensi tersebut? Ya, setelah sekian tahun, para petani lokal di sana sampai menjual beras produksi mereka sendiri dengan harga pasaran umum, lalu membeli ‘beras miskin’-jatah beras bantuan pemerintah yang (ternyata) diperjualbelikan-dengan harga hanya setengah atau bahkan sepertiganya. Etnografi dapat mengungkap kerinduan sebagian warga petani Desa Lambanapu akan pertanian jagung. Mereka kecewa dan terpaksa menerima sistem pangan lokal berbasiskan padi, sebagai akibat mengikuti apa yang pemerintah gencarkan itu.
Naskah ketujuh berjudul “Sepucuk Nipah, Serumpun Nibung, Sejuta Sawit”, judul yang memberi kesan kronologi perubahan bentang alam (landscape). Selama lebih satu dekade saja, bentang alam agroekologi sawah, kebun-kebun tanaman pangan lainnya, pekarangan rumah warga, bahkan juga kawasan hutan lindung gambut (HLG), telah berubah menjadi kebun-kebun sawit. Selain perubahan pada tata guna lahan, penghidupan masyarakat warga lokal desa-desa transmigran di Kabupaten Tanjung Jabung Timur pun ikut berubah drastis, karena menjadi bagian hulu dari pemenuhan keharusan pasar global minyak kelapa sawit. Pada tulisan ini, naskah etnografi menjadi cara memperlihatkan kenyataan perubahan yang terjadi dengan memberi tempat bagi kesaksian para warga sendiri atas peristiwa tertentu. Yang istimewa, naskah ini menunjukkan perubahan ruang dari waktu ke waktu dalam masa (durasi) yang panjang.
Naskah kedelapan, “Bantuan yang Cuma ‘Bikin Repot”‘ menunjukkan suatu ironi klasik model pembangunan yang melumpuhkan kemampuan masyarakat justru dengan memberi ‘bantuan’ kepada mereka. ‘Bantuan’ kok bisa melumpuhkan? Ceritanya: bantuan dalam bentuk traktor dari Dinas Pertanian Kabupaten Merangin kepada kelompok tani di Desa Pulau Tengah, Kecamatan Jangkat, teronggok di bawah kolong rumah salah seorang petani. Si pemilik rumah punya gurauan: “Kalau petani lain punya kandang sapi di bawah rumahnya, rumah saya punya kandang sapi peminum minyak solar ini.” Ini cerita jamak tentang banyaknya bantuan pemerintah yang ujung-ujungnya sekedar menjadi barang tidak berguna, sekedar pajangan, tidak terawat, terbengkalai. Ujung ujungnya … rusak!
Naskah kesembilan dan naskah kesepuluh, berbeda nadanya dengan delapan naskah sebelumnya. Dua naskah terakhir ini menceritakan kabar baik.
Bacalah naskah kesembilan, “Saat Perempuan Hadir dalam Majelis Adat”, adalah cerita pengakuan atas kedudukan dan ruang perempuan dalam adat di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara. Diceritakan keterlibatan penulis ketika melakukan pemetaan partisipatif di Desa Watlaar, memetakan wilayah ulayat (petuanan) adat Maur Ohoiwut, termasuk mendaftarkan berbagai biota di wilayah petuanan laut. Pesertanya semua para lelaki nelayan yang dengan mudah berhasil mendaftar sumberdaya di laut dangkal (hangar soin) sampai ke laut dalam atau laut lepas (tahit ni wear). Sebagai fasilitator, penulis menyadari bias pengetahuan hanya dari lelaki. Melalui satu cara, ia menanyakan jenis-jenis biota di kawasan pasang surut (met atau ruat met soin), yang sesungguhnya adalah ruang yang dikendalikan perempuan. Satu dari para lelaki mengaku: “Di bagian itu katong seng banyak tau. ltu daerahnya parampuang deng anak-anak. Dorang hampir tiap hari di sana, cari bia deng umpan. Dorang yang labe tau.” (Di bagian itu kita tidak banyak tahu. Itu daerahnya perempuan dan anak-anak. Mereka hampir tiap hari di sana, mengumpulkan kerang dan ikan-ikan umpan. Mereka yang lebih tahu). Naskah ini pun menceritakan bagaimana kedudukan perempuan dalam adat, termasuk satu cerita penting dan menarik, yakni di Pulau Tanimbar Kei, di mana ada seorang perempuan tua adat dihormati dan menduduki peran istimewa memimpin pembukaan masa panen tanaman sereal (hotong), salah satu bahan pangan pokok tradisional di sana. Hanya perempuan tua itu yang boleh memimpin upacara tersebut. Semua keputusan yang dibuatnya wajib dipatuhi oleh semua warga, termasuk para pemuka atau tetua adat laki-laki.
Terakhir, naskah kesepuluh, “Ketika Si Kucing Besar Muncul Kembali”, yang menceritakan keberhasilan usaha masyarakat lokal merestorasi ekologi hutan desa di wilayah Kecamatan Nawangan, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Naskah ini mengisahkan secara rinci dan runtut keberhasilan tersebut berkat penghargaan atas pengetahuan para petani desa sebagai ‘pakar’ lokal, meningkatnya pendapatan masyarakat dari basil hutan bukan kayu (daun cincau hijau), munculnya sumber-sumber mata air baru, semakin sedikitnya kejadian bencana longsor, pengolahan sampah menjadi ekonomi sirkuler, sehingga hutan desa di sana menjadi satu wilayah edar dari macan tutul Jawa.
Etnografi dalam Konteksnya
Dalam lintasan sejarah etnografi di negeri-negeri terjajah, pengetahuan mengenai wilayah dan rakyatnya dihasilkan secara ekstraktif untuk dipergunakan sedemikian rupa dalam rangka mengukuhkan bangunan (struktur) kekuasaan kolonial, demi memperlancar agenda-agenda penguasa kolonial. Etnografi dan cara perolehan pengetahuan kolonial lainnya telah diletakkan dasar-dasarnya oleh kalangan pakar dari negara-negara Barat (Eropa, kemudian Amerika) untuk mempelajari seluk beluk negeri, bangsa, etnik, ras, dan kehidupan sekelompok rakyat yang jauh di negeri-negeri terjajah. Hakikat pengetahuan kolonial-berupa berbagai bentuk dan kumpulan pengetahuan seperti sejarah, catatan etnografi, peta, studi geografis, jurnal perjalanan, dan lain-lain-yang dihasilkan oleh penjajah Eropa tentang rakyat, tanah, bahasa, budaya, dan sumberdaya di negeri-negeri yang mereka jajah, jelas merupakan bagian penting dari upaya untuk mencapai dominasi penuh atas rakyat dan wilayah yang terjajah.
Berkelindan dengan etnografi kolonial tersebut adalah etnografi misionaris. “Karya-karya etnografi yang ditulis oleh para misionaris dipengaruhi oleh keyakinan agama mereka serta posisi mereka di dalam masyarakat kolonial” (Trouwborst 1990: 32). Para misionaris dikirim dari markas (home base) mereka, menyandang misi yang harus ditunaikan: memperkenalkan pesan-pesan, membiasakan cara-cara upacara keagamaan baru, hingga menggantikan keyakinan dan praktik ‘jahiliah’ yang mereka temukan di tempat-tempat mereka bertugas.
Etnografi dengan karakter kolonial demikian itu terus memperoleh penandingnya, baik dari dunia kaum terjajah maupun para pembela kaum terjajah dari kalangan yang sama dengan para penjajah. Situasi kolonial memang telah berubah, namun studi-studi kritis mengenai cara-cara produksi pengetahuan kolonial masih terus berlangsung, sebagian karena masih terus berlanjutnya cara-cara produksi pengetahuan demikian itu. Yang terbaru adalah mengenai ‘colonial matrix of power’ (Quijano 2000, 2001; Mignolo 2008) serta tandingan paradigmatiknya-yakni ‘pemikiran dekolonial’-termasuk pembangkangan epistemis (Mignolo 2011a, 2011b) terhadap cara-cara produksi pengetahuan yang mengukuhkan dominasi ‘penjajah atas kaum terjajah’.
Dasar etnografi kritis adalah penolakan anggapan terhadap masalah-masalah nyata yang dihadapi kaum yang lemah, yang tertindas dan marjinal, sebagai keadaan yang harus diterima begitu saja. Kita masih terus mendengar (karena masih saja terns digencarkan) pandangan bahwa orang-orang miskin memiliki budaya kolot, sekedar mengikuti irama alam, pemalas, enggan mencoba inovasi baru, kurang termotivasi untuk berprestasi, tidak punya budaya risiko, gagap dalam memahami teknologi maju, dan sebagainya. Lebih lanjut, ada pula yang menambahkan anggapan bahwa kaum miskin mempunyai kebiasaan dan sifat yang menjadi sebab mereka terus berada dalam kemiskinan dan menghambat diri mereka sendiri.
Penerimaan begitu saja atas keadaan yang menimpa kaum lemah, kaum tertindas dan marjinal, tanpa memperhatikan adanya struktur-struktur ruang dan sosial yang memaksa, mengharuskan dan mengondisikan keadaan mereka tersebut, itu jelas-jelas seiring sejalan dengan pandangan yang beranggapan bahwa semua kondisi itu disebabkan oleh kaum lemah, tertindas, dan marjinal itu sendiri. Sesungguhnya mereka itu menyalahkan kaum miskin sendiri, ‘blaming the victim’ (Ryan 1971). Sebab-sebab struktural dari kondisi mereka itu tidak dengan sendirinya memang disadari oleh para korbannya. Korban dapat mengenali sebab-sebab struktural dari penderitaannya ketika ia sudah mencapai tahap kesadaran kritis (Freire 1972). Tahap kesadaran kritis ini dapat dibedakan dengan kesadaran naif, fanatik, dan magis berdasarkan ciri-ciri masalah, cara berpikir, dan arah aksi-aksinya (Smith 2001/1976). Latihan untuk menjadi berkesadaran kritis adalah terus berdialog melalui metoda ‘pendidikan hadap masalah’ (problem posing education) (Freire 1970/1985, 1973).
Dengan benar-benar menyadari dimensi ruang dan waktu untuk etnografi, akan terbentuk pandangan dasar etnograf bahwa segala sesuatu yang tumbuh dan berkembang sebagiannya bergantung pada tempat hal itu berlangsung, pada kondisi dan struktur sosial serta spasial tertentu yang sudah menyejarah di tempat itu (Pred and Watts 1992). Setiap etnograf perlu memiliki global sense of place (Massey 1991), yang akan membuatnya sadar bahwa watak masing-masing tempat ditentukan oleh jenis ‘proyek pembentukan tempat’ yang berbeda-beda dan tidak setara dalam jaringan hubungan kekuasaan global.
Etnograf perlu melengkapi diri dengan kemampuan analisis yang bisa memperlihatkan tempat yang ditelitinya terbentuk oleh pengaruh kekuatan, hubungan, dan pencitraan yang sudah bersifat mendunia, suatu ‘proyek global’ (Sheppard 2002). Setidaknya, ada empat proses dinamis yang perlu diperhatikan sehubungan dengan pengaruh kekuatan, koneksi, dan imajinasi global (Burawoy et al. 2000) pada sistem sistem sosial ekologis yang sudah tumbuh dan berkembang di suatu tempat: (a) meningkatnya kecepatan interaksi; (b) intensifikasi dan penggandaan keterkaitan antar-unsur sistem; (c) perluasan aktivitas manusia ke skala global; dan (d) proses homogenisasi yang menghasilkan terjadinya penurunan keanekaragaman sosial dan ekologis (Young et al. 2006). Meningkatnya interaksi dan keterkaitan baru ini bisa tampak tidak kentara, berlangsung dalam multisitus. Apa yang terjadi adalah ‘pemampatan ruang waktu’ (Harvey 1989). Karenanya, etnografi multisitus pun amat perlu dilakukan, juga kerja-kerja ‘investigasi’ mengikuti pergerakan orang, pergerakan benda-benda, dan pergerakan konflik (Marcus 1995).
Lebih dari sekedar menjadi latihan intelektualnya, etnograf juga mempunyai tanggung jawab atas suatu tempat (juga berbagai tempat lain) yang berhubungan dengan tempat awalnya itu. Tanggung jawab geografisnya untuk mengurus tempat awalnya tersebut, dan tempat-tempat lainnya, memang akan menjadi kerja progresif. Selain menempatkan situs tertentu sebagai tempat mereka mengamati bagaimana kekuatan, koneksi, dan imajinasi global bekerja pada tingkat lokal, yang telah melintasi berbagai batas dan skala spasial sebelum sampai ke tempat yang mereka teliti, para etnograf juga sekaligus ditantang untuk dapat menunjukkan bagaimana proses-proses global dibangun dan didasarkan pada proses-proses lokal (Burawoy et al. 2000; Gille dan Riain 2002). Hal ini memberi tantangan baru bagi mereka, baik secara konseptual dan metodologis maupun praktis.
Etnografi & Dialog Kritis
Etnografi kritis yang dihasilkan para pekerja lapang dengan kualitias seperti ditunjukkan dalam buku ini berbeda dengan ‘etnografi awam’ yang kebanyakan ditulis para jurnalis dalam rubrik-rubrik di surat kabar, majalah, atau buletin-atau di zaman internet kini oleh warganet di berbagai jenis media sosial-dan berbeda pula dengan etnografi akademis, yang menurut Ahimsa-Putra (1997) dapat meliputi ‘etnografi laci’ dan ‘etnografi analitis’.
Julukan ‘etnografi laci’ diberikannya untuk naskah laporan penelitian etnografi yang dalam susunan penyajiannya sudah tertata sistematis seperti laci-laci tempat memasukan informasi etnografis dari lapangan. Uraiannya mengenai masyarakat atau kebudayaan disajikan dengan mengikuti urutan tertentu yang telah ditetapkan-seperti bahasa, mata pencaharian, organisasi sosial, kesenian, agama, adat, dan sebagainya-yang didasarkan pada pandangan mengenai unsur-unsur kebudayaan yang bersifat umum (universal). Peneliti dan penulis etnografi demikian itu memutuskan untuk mengambil jarak dengan subyek etnografinya. Dia menempatkan diri dan tampak sebagai seorang pengamat, menghindari pandangan pandangan subyektif tampil. Bahkan, pernyataan dari narasumber atau informan yang mungkin pernah mereka dengar dan rekam tidak ditampilkan. Hal itu mereka lakukan untuk menghindarkan kesan bahwa tulisan atau laporan yang dihasilkan bersifat subyektif, yang akan dapat membuat tulisan tersebut dinilai ‘tidak ilmiah’, atau ‘tidak obyektif ‘, sehingga apa yang mereka tampilkan adalah “deskripsi yang obyektif”, menggambarkan realitas empiris yang ada di lapangan dengan bahasa sebagai medium representasi yang (konon) tidak disangsikan lagi kebenaran atau ketepatannya.
‘Etnografi laci’ berbeda dengan ‘etnografi analitis’, yang biasanya berangkat dari suatu permasalahan tertentu, kemudian dicari jawabannya melalui suatu penelitian, baik lapangan maupun kepustakaan. Data dan informasi etnografis yang diperoleh kemudian disusun sedemikian rupa untuk menjawab permasalahannya, lalu disajikan secara sistematis dan teratur dengan alur argumentasi pemikiran yang jelas. Etnografi analitis ini umumnya memiliki kerangka teori yang eksplisit, berfungsi membimbing penulisnya menata data sedemikian rupa. Etnografi jenis ini bersifat argumentatif, karena ditujukan untuk memperluas wawasan pengetahuan dan membuka dimensi-dimensi pemikiran baru yang dianggap lebih dalam dibanding yang pernah ada, atau guna mengkritik argumen-argumen lama yang dianggap sudah usang. Kerangka teori eksplisit yang digunakannya pun mengukuhkan status ilmiahnya. Lebih dari sekedar informatif (memberitahu), naskah etnografi analitis juga bersifat eksplanatif (menjelaskan) dan interpretif (menafsirkan).
Saya mau menambahkan satu jenis lainnya yang saya beri nama ‘etnografi kampanye’. Para pegiat atau penggerak (aktivis) gerakan sosial selama ini biasa menjadikan kampanye dan advokasi kebijakan publik sebagai salah satu jenis kerjanya. Niat kampanye yang terlampau kuat dapat memengaruhi kandungan isi naskah etnografi yang dituliskan, baik untuk menunjukkan kesalahan pihak lain, untuk perayaan pencapaian (prestasi) tertentu, atau untuk promosi mengenai apa yang seharusnya terjadi atau dilakukan. Pada konteks seperti ini, naskah etnografi dihasilkan dan dimaksudkan sebagai bagian dari siasat atau cara ‘mempersalahkan dan mempermalukan’ (shaming and blaming) dengan menunjukkan contoh-contoh buruk dari lapangan. Atau, sebaliknya, menunjukkan ‘contoh-contoh terbaik’ (best practices) dengan maksud mempromosikan suatu saran pemecahan masalah, atau dalam rangka mengajukan suatau usulan proyek atau program, atau bahkan untuk agenda kebijakan tertentu. Semangat berlebihan dalam instrumentasi naskah etnografi demikian itu bisa saja memengaruhi etnograf, termasuk dalam merumuskan masalah komunitas yang dialami di lapangan. Naskah etnografi dibuat untuk membenarkan agenda yang dikampayekannya. Permasalahannya dirumuskan berdasar solusi yang sudah ditetapkan.
Ada pepatah mengatakan: “Kalau saya adalah palu, semua yang lain dilihat sebagai paku.” Alih-alih menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi, mereka banyak mengemukakan apa-apa yang seharusnya terjadi.
Berbeda dengan empat jenis etnografi yang dijelaskan tadi, adalah ‘etnografi kritis’, jenis yang saat ini kita sedang bahas sebagai ‘etnografinya para pekerja lapang’. Tentu, pertama-tama harus memenuhi panggilan beretnografi yang intinya menjelaskan apa yang sesungguhnya sedang terjadi atau berlangsung melalui keterlibatan, partisipasi dan pengamatan atas kenyataan, serta percakapan-percakapan sang etnograf dengan subjek-subjek di lapangan.
Menurut Charles Hale (2008: 2) karya-karya ilmiah yang tergolong ‘activist-scholarship’, punya tingkat kesulitan yang lebih dari peneliti akademis biasa dan, menurut saya, itu berlaku bagi para pekerja lapang yang menjadi etnograf. Mereka menghadapi kompleksitas dan beragam kontradiksi sehubungan dengan misi perubahan yang diembannya saat mencoba memahami dan menerangkan dengan lebih baik objek dan topik yang diteliti. Memang, dalam upaya apa pun untuk memahami diri sendiri dalam rangka mengupayakan perubahan, sang etnograf harus mampu memahami dan menerangkan efek dari keterlibatannya. Sungguh ini memerlukan refleksi kritis terhadap pengalaman, dan kenyataan.
Etnograf selayaknya bekerja lebih dari sekedar mendeskripsikan saja apa yang sedang terjadi, tetapi juga menganalisis mekanisme dan proses pembentukan dari apa-apa yang tampak dan terlihat serta dialaminya. Juga, etnograf selayaknya dapat memanfaatkan pengetahuan yang relevan dari berbagai sumber lain, hingga bisa kritis untuk mengoreksi apa yang menjadi argumen-argumen pihak lain yang tidak sesuai. Jadi, sifat kritisnya dapat tampak, termasuk terhadap posisi, pandangan, dan apa yang dilakukannya sendiri. Inilah yang disebut sebagai ‘refleksivitas’ (untuk berbagai pengertian reflexivity, lihat Marcus 1998: 193 dan seterusnya).
Ahmad Mahmudi, salah seorang penulis buku ini, menyampaikan bahwa etnografi oleh para pekerja lapang perlu dilanjutkan dengan ‘dialog kritis’ atas dasar prinsip ‘komunikasi rasional’ yang diilhami teori tindakan komunikatif dari Jurgen Habermas (1981), Theorie des komunikativen handelns (lihat Hardiman 1993). Para pekerja dan peneliti sosial dengan pendekatan etnografi kritis, saat membangun komunikasi sosial rasional kolaboratif harus selalu belajar mengatasi berbagai tantangan yang akan selalu dan pasti dihadapi dalam kehidupan sehari-hari di lapangan: luapan emosi dan multibias, ketidaksepakatan dan konflik, keterbatasan informasi, keterbatasan waktu, ketidakjelasan bahasa, perbedaan budaya dan nilai, bahkan juga ketidakpercayaan. Kegagalan mengatasi tantangan-tantangan tersebut dapat menjerat para peneliti etnografi terhenti pada ‘etnografi fungsional’ atau ‘etnografi analitis’ yang tidak akan menghadirkan proses perubahan sosial.
Selanjutnya, Mahmudi menyampaikan lima sikap yang diperlukan agar dialog kritis itu bisa berlangsung:
a. Selalu mendengarkan dengan penuh kecermatan dan memberikan penghormatan yang tinggi terhadap pandangan orang lain, serta selalu berusaha mencapai pemahaman bersama. Inilah yang dalam praktik dapat memperkuat hubungan-hubungan sosial;
b. Selalu berhati-hati terhadap adanya dominasi dan manipulasi informasi, upaya memaksakan pandangan kita kepada orang lain yang justru berpotensi meneguhkan ketidakadilan atau menciptakan ketidakadilan baru;
c. Pekerja lapang dan peneliti sosial bukanlah ‘pengkhotbah’ atau ‘penasihat sosial’. Hanya dengan usaha terus-menerus meningkatkan keterampilan mendengar dengan saksama dan berbicara secara tertata yang akan membantu memperkuat komunikasi dan membangun hubungan sosial yang lebih baik;
d. Pelalu berusaha agar semua pihak dalam masyarakat berkontribusi dengan memberikan pandangan, informasi yang benar, mendiskusikan opsi, menganalisis risiko, dan mencari solusi bersama. Inilah inti dari partisipasi dalam pembuatan keputusan dan aksi bersama;
e. Membantu membangun terciptanya dialog kritis juga mensyaratkan adanya perenungan mendalam (refleksi) atas nilai dan norma dalam kehidupan sehari-hari. Selalu menghadirkan pertanyaan (seperti, Apakah tindakan ini adil atau tidak adil?; Apakah ini menjunjung tinggi martabat sosial atau justru merendahkannya?; Apakah ini memperkuat kehidupan sosial atau justru melemahkannya?; dan seterusnya), akan sangat membantu lahirnya refleksi kritis dan membantu memperbaiki fondasi kehidupan sosial.
Sepuluh naskah etnografi di buku ini sudah dipakai berkali-kali untuk keperluan sebagai bahan belajar peserta pelatihan, melalui dialog-dialog kritis yang mereka fasilitasi. Para pekerja lapang dapat menjadi fasilitator dialog kritis itu, atau bekerjasama dengannya, dalam mempersiapkan apa yang dimaksudkan oleh Paulo Freire sebagai ‘ruang kependidikan’:
“Mari kita bayangkan kita berada di satu kelas, di mana guru dan siswa berada. Apa tugas guru? Secara sederhana kita dapat mengatakan tugas guru adalah mengajar, dan tugas siswa adalah belajar. Maka kita melihat bahwa unsur pembentuk pertama dari situasi pendidikan adalah kehadiran subjek, yaitu pendidik, yang mempunyai tugas khusus, yaitu mendidik. Situasi edukatif juga mempersyaratkan hadirnya pembelajar, yakni peserta didik, yang menjadi unsur kedua dari situasi edukatif. Yang kita temukan dalam praktik dan pengalaman, pertama-tama, kita menemukan bahwa kehadiran pendidik dan peserta didik tidak terjadi begitu saja. Pendidik dan peserta didik dipersiapkan bertemu pada suatu ruang tertentu. Ruang tersebut adalah ruang kependidikan, yang sering kali diabaikan oleh para guru.” (Freire 2014: 16-17)
Jadi, berbeda halnya dengan sekedar mempublikasi karya etnografi dalam jurnal-jurnal untuk memperoleh reputasi dalam dunia akademik, para pekerja lapang melanjutkan kerja etnografinya-tidak hanya dengan tulisan, tetapi juga dengan menggunakan sajian-sajian etnografis dalam beragam bentuk seperti esai-esai visual atau audio-visual (foto-foto atau video), infografik, dan lain-lain-untuk melancarkan proses dialog-dialog kritis dalam ruang-ruang kependidikan. Dalam rangkaian dialog-dialog itulah orang, kelompok, dan komunitas menyadari mekanisme, proses dan struktur yang selama ini menjadikan mereka sebagai korban, yang melumpuhkan daya laku perubahan mereka.
Selanjutnya, yang perlu diusahakan adalah bangkitnya motivasi kritis dan aksi-aksi perubahan, yang dapat digerakkan oleh individu, kelompok maupun komunitas. Partisipasi dalam aksi-aksi perubahan ini pada gilirannya akan kembali mengembangkan kesadaran kritis mereka. Inilah praksis: arus refleksi, aksi, dan kembali lagi ke refleksi berikutnya.
Etnografi & Peluangnya
Saya megakhiri pengantar ini memberi pesan penting bahwa etnografi perlu diberi kesempatan oleh pekerja lapang untuk berperan, mengingat keampuhannya dalam membantu melihat dan memahami apa yang sedang berlangsung. Sudah lazim para pekerja lapang mempunyai suatu misi, termasuk menjadi ‘pengeras suara’ dengan menyampaikan ke warga masyarakat apa-apa yang harusnya masyarakat anut dan lakukan. Kalau itu yang terjadi, maka mereka berubah menjadi sekedar ‘para pendakwah’. Itu yang bisa membuat para pekerja lapang luput memahami apa sesungguhnya yang berlangsung. Mereka hanya bisa menjelaskan ‘apa yang sedang terjadi’ sebagai ‘apa yang tidak seharusnya terjadi’. Alih-alih menjelaskan apa sesungguhnya terjadi, mereka membuat keterangan sekedar sebagai alas keberadaan dari apa yang mereka haruskan terjadi. Sesungguhnya, cara demikian ini merupakan bentuk pelarian diri dari upaya mengetahui apa yang sedang berlangsung, yang memberinya tanggung jawab mengurus tempat yang mereka teliti.
Kemungkinan itu jelas perlu dicegah dan, jika terjadi, perlu dikoreksi. Untuk itu, saya anjurkan para pekerja lapang perlu mempelajari etnografi sebagai cara memahami perubahan sosial dan spasial yang sedang berlangsung. Meneliti dengan etnografi itu adalah kerja tekun membuat catatan-catatan lapangan hasil pengamatan, percakapan, keterlibatan dalam proses, pemahaman atas bahan bacaan, hingga mengumpulkan foto, gambar, arsip, rekaman, dan membuat peta-peta yang bisa menggambarkan ruang (geografi) yang sedang dan terus berubah dari waktu-ke-waktu (sejarah).
Selanjutnya adalah menuliskannya. Kerja menulis ini hanya bisa kalau kita berpikir dan ‘berpikir sembari menulis’. Kerja selanjutnya, membuat tulisan itu enak, penting, dan berguna untuk dibaca orang lain. Setelah itu, barulah kerja menerbitkannya. Pada tahap ini, memilih apa dan di mana akan diterbitkan perlu menjadi pertimbangan tersendiri, termasuk pertimbangan pengaruh yang diharapkan. lnilah seluruh rangkaian kerja ‘menebar benih-benih’ itu.
Di dunia akademik sekarang ini, publikasi suatu karya tulis banyak dilakukan dalam rangka perolehan kredit sesuai ‘Sinta’ (Science and Technology Index). Yang terpenting adalah secara etis tiap-tiap naskah etnografis yang di hasilkan selayaknya disampaikan kepada para kolaborator dan subjek yang topiknya dibahas dalam naskah itu, dan selanjutnya dapat dilakukan percakapan-percakapan mengenai isi naskahnya. Pada mulanya, naskah etnografis dapat mengisi kekosongan pengetahuan pembaca mengenai topiknya. Lalu, naskah etnografis dapat secara kritis menggugah kesadaran akan kenyataan sering terjadinya pengabaian keberadaan apa-apa yang biasanya tidak terlihat (invisible). Naskah-naskah etnografis juga dapat membuat yang ‘sudah biasa’ dilakukan oleh sekelompok orang selama ini menjadi sesuatu yang ‘tidak biasa’ lagi, menunjukkan dari sudut pandang baru dan berbeda adanya kegalauan dan kritik terhadap penggunaan kuasa yang sudah tidak pada tempatnya dan tidak sepatutnya. Naskah-naskah etnografis dapat pula mengandung penanda-penanda penting yang bisa diolah menjadi penunjuk jalan bagi mereka yang sedang bertarung, berunding, dan berjuang dalam berbagai situs, termasuk dalam upaya mengubah sebab-musabab peristiwa dan situasi buruk yang mereka hadapi.
Pembaca yang mencari contoh karya etnografi yang sangat baik dari para pekerja lapang yang tekun membuat catatan-catatan lapangan dalam kerja lapangannya, maka bacalah buku ini sampai habis. Saya yakin tiap-tiap naskah etnografis dalam buku ini akan membuat para pembaca mengerti lebih baik mengenai masing-masing topik, objek, dan subjek yang ditampilkan, termasuk kegalauan, kritik, dan penanda-penanda penting yang diberikan oleh para penulisnya untuk merangsang munculnya inspirasi. Setelah menikmati sepuluh naskah dalam buku ini, pembaca yang mumpuni dalam etnografi bisa saja melihat adanya kekurangan, misalnya, masih belum cukup mengangkat dimensi dan perjuangan keadilan dan kesetaraan gender, visibilitas terhadap orang-orang dengan kekhususan (difference) dan daya ubah dari mahluk bukan-manusia, hingga soal-soal metodologis dan penyajian.
Mereka berdua telah memberi tanda bahwa pekerja lapang yang cakap, juga bisa menjadi etnograf yang cakap sekaligus. Etnografi memang bukan sekedar urusan metoda perolehan data hingga penyajiannya, tetapi juga sebagai pemberi penanda dan petunjuk bagi para pegiat gerakan sosial untuk kerja tekun dan mumpuni dalam mengomunikasikannya. Lebih dari soal kecakapan-kecakapan beretnografi, apa yang saya pelajari dari contoh-contoh etnografis dari buku ini adalah kerja-kerja lapang yang konkret, spesifik, mikro, dan praktis di lapangan, dapat diperlengkapi dengan (bahkan bisa dengan pejal didasarkan pada) realisme kritis, keluasan perspektif sejarah dan geografi, kerendahan hati ilmiah, sehingga ‘kehendak untuk melakukan perubahan’ (the will to transform) sosial dan ekologi dari/di lapangan menjadi terns hidup dalam kehidupan yang juga terns berubah.
Terima kasih untuk Guru Roem Topatimasang dan Guru Ahmad Mahmudi, yang sekali lagi, memberi pelayanan prima bagi mereka yang bekerja di lapangan mengorgansir komunitas-komunitas untuk perubahan.
PONDOK CIKEDOKAN, GARUT, 08/06/2024