Gagasan-gagasan yang membebaskan bisa saja lahir dari rahim politik pengetahuan yang sangat tidak demokratis—yaitu soal siapa yang berhak memproduksi dan menggunakan pengetahuan, sejauh mana, bagaimana caranya, dan untuk tujuan apa? Pengetahuan siapa yang dianggap absah? Di tingkat global, sirkulasi pengetahuan—bagaimana pengetahuan dihasilkan, diberi nilai, diedarkan, dipertukarkan, dan dimanfaatkan—mirip seperti barang dagangan lain dalam kehidupan sehari-hari: dikuasai segelintir pihak, dimonopoli, dan diperjualbelikan demi keuntungan. Di dunia sekarang ini, setidaknya di bidang ilmu sosial, sirkulasi pengetahuan terpusat di perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian yang kaya sumberdaya di negara-negara Utara, dengan bahasa Inggris sebagai bahasa dominan. Untuk bisa mengikuti perkembangan mutakhir dunia akademik—yang menjadi prasyarat agar seseorang bisa menghasilkan ide penelitian, proposal, atau publikasi yang dianggap “orisinal”—seorang peneliti harus punya akses ke kerbagai hal: pendanaan penelitian, kesempatan menulis untuk jurnal dan penerbit buku bergengsi, langganan jurnal akademik, biaya menerbitkan tulisan dalam skema akses terbuka (open access), dan perpustakaan dengan koleksi lengkap.
Namun, berbagai syarat keuangan dan logistik semacam itu jelas jauh di luar jangkauan banyak pemerintah, perguruan tinggi, maupun peneliti di negara-negara Selatan. Pada 2024, biaya langganan tahunan untuk salah satu jurnal ilmu sosial papan atas mencapai US$6.500 (sekitar Rp110 juta)—dengan jumlah artikel per edisi yang lebih banyak dibandingkan jurnal pada umumnya. Jurnal lain dari penerbit yang sama, yang juga tergolong “papan atas” tapi lebih rata-rata, mematok biaya langganan tahunan sebesar US$2.700 (sekitar Rp45 juta). Dengan langganan jurnal, masyarakat luas bisa mengakses artikel-artikel di balik “gerbang berbayar”. Penulis bisa memilih skema Akses Terbuka agar tulisannya dapat diakses secara bebas, tapi dengan membayar penerbitnya. Biaya penerbitan satu artikel berskema Akser Terbuka (yang dikenal sebagai Article Publishing Charge [APC]) di jurnal yang pertama tadi itu, misalnya, mencapai US$4.300 (sekitar Rp70 juta) belum termasuk pajak. Bandingkan dengan gaji dosen tetap di perguruan tinggi negeri di banyak negara berpendapatan rendah–menengah di Afrika, Asia, Amerika Latin, dan Karibia, yang mungkin saja sekitar US$300 (sekitar Rp5 juta per bulan). Gambaran ini menunjukkan betapa tidak demokratisnya struktur global dalam politik pengetahuan. Dari struktur timpang ini, muncul berbagai pandangan menyimpang tentang dunia beserta kehidupan di dalamnya. Dan dunia akademik bisa—dan memang pernah—dipakai untuk memproduksi pengetahuan yang justru membenarkan eksploitasi, penindasan, dan perusakan ekologi.
Tidak ada yang alamiah dari struktur politik pengetahuan global yang tidak demokratis ini. Ia merupakan perpanjangan dari logika kapital—dari perkembangan kapitalisme global yang penuh ketimpangan. Perguruan tinggi di seluruh dunia telah mengalami neoliberalisasi dalam berbagai bentuk, di mana keberhasilan peneliti dan lembaga secara individual lebih dihargai ketimbang etika moral komunitas akademik secara kolektif.
Para peneliti dan aktivis di balik serial buku kecil Kajian Petani dan Perubahan Agraria (yang tergabung dalam Initiatives in Critical Agrarian Studies [ICAS]), yang mulai digagas pada 2008, tidak ingin menjadi bagian dari sistem yang turut melegitimasi status quo politik pengetahuan global. Mereka ingin memberikan sumbangsih kecil untuk mempertanyakan watak tidak demokratis dan struktur tidak adil dari sirkulasi pengetahuan yang berlaku saat ini. Mereka ingin ikut membongkar struktur tersebut—dari cara pengetahuan diproduksi, diberi nilai, diedarkan, dipertukarkan, hingga digunakan—seraya secara bersamaan membangun alternatifnya. Demokratisasi politik pengetahuan hanya bisa terwujud melalui banyak prakarsa serupa di berbagai penjuru dunia, dan melalui gerakan massa. Para peneliti akademik yang berada di posisi bawah dalam piramida politik pengetahuan global yang tidak adil ini harus mengambil peran penting dalam upaya membongkar sistem yang berlaku sekaligus merintis jalan baru. Inilah yang mendasari terbentuknya Collective of Agrarian Scholar-Activists in the South (CASAS, Kolektif Sarjana-Aktivis di Selatan) sebagai sesuatu yang menjanjikan, menggugah, dan menginspirasi.
Struktur politik pengetahuan global yang timpang tidak hanya terjadi di dalam dunia akademik. Dalam ilmu-ilmu sosial—khususnya di bidang Kajian Agraria Kritis—setidaknya ada tiga ruang yang bisa dimanfaatkan untuk kelahiran dan penggunaan pengetahuan yang membebaskan, yakni dunia akademik, komunitas lokal beserta basis rakyat gerakan sosialnya, dan lembaga penelitian serta pengembangan yang bersifat otonom. Komunitas ICAS memandang ketiganya sebagai komunitas-komunitas horizontal yang saling beririsan, bukan sebagai struktur hierarkis dengan para akademisi di puncaknya. Para pengorganisir dan pemimpin serikat tani, misalnya, punya pengetahuan sangat mendalam tetang kehidupan petani—pengetahuan yang bahkan tidak bisa digapai oleh kalangan akademisi atau peneliti dari ornop, sekalipun mereka bisa menghasilkan pengetahuan tersendiri dari mempelajari kondisi produksi dan reproduksi sosial kalangan petani yang sama. Dunia akademik memang kerap memegang peranan dominan, dan tak jarang juga secara sadar dipandang sebagai satu-satunya sumber pengetahuan ilmiah yang absah. Anggapan seperti ini layak dipertanyakan, karena komunitas ICAS memandang pengetahuan yang lahir dari luar dunia akademik juga sama pentingnya. Yang tak kalah penting adalah kemungkinan sinergi dari pertemuan tiga lingkaran penghasil pengetahuan yang berlainan ini. Inilah bagian dari proses demokratisasi politik pengetahuan.
Serial buku kecil ICAS merupakan suatu prakarsa yang bertujuan memberikan sumbangsih kecil dalam upaya demokratisasi politik pengetahuan. Edisi Indonesia ini kami anggap sangat penting dalam serial ini. Buku-buku ICAS—meskipun penyebarannya kami sadari belumlah merata—telah tersedia dalam belasan bahasa, antara lain Inggris, Spanyol, Portugis, Mandarin, Jepang, Thai, Korea, Italia, Rusia, Arab, dan Burma. Tidak semua volume/jilid edisi awal bahasa Inggris diterjemahkan ke tiap bahasa tersebut, karena masing-masing tim penerjemah kolega kami di setiap bahasa memilih sendiri judul-judul yang mereka terjemahkan, dan mereka tidak punya sumberdaya logistik yang memadai untuk menerjemahkan dan menerbitkan semua jilid secara bersamaan.
Dengan hadirnya edisi Indonesia serial buku kecil ICAS, kami berharap prakarsa sederhana ini dapat membantu membuka ruang-ruang interaksi dalam politik pengetahuan, khususnya di bidang Kajian Agraria Kritis, dan secara lebih luas dalam kajian pembangunan. Kami berharap edisi Indonesia ini bisa memberikan dorongan tambahan bagi para peneliti dan aktivis di Indonesia untuk terlibat lebih aktif dan berkesinambungan dengan rekan-rekan mereka di mancanegara. Dunia punya banyak hal untuk dipelajari dari Indonesia, dan begitu pula sebaliknya.
Dalam konteks inilah Erasmus University Professor Programme (demi dampak sosial yang positif) dari Erasmus University Rotterdam, Belanda, melalui sub-program khusus bertajuk “Democratizing Knowledge Politics Initiative”(Prakarsa Demokratisasi Politik Pengetahuan), memberikan dukungan sederhana untuk menjadikan edisi Indonesia ini tersedia secara gratis (untuk format PDF). Prakarsa dari universitas ini mendukung pendekatan kerja bergaya sarjana-aktivis, yang berupaya membangun ruang-ruang interaksi antara komunitas produsen dan pengguna pengetahuan—baik dari dalam maupun luar dunia akademik. Perluasan serial buku kecil ICAS ke dalam bahasa Indonesia merupakan langkah besar dalam proses demokratisasi politik pengetahuan.
Saturnino M. Borras Jr.
Guru Besar Kajian Agraria, International Institute of Social Studies (ISS)
Erasmus Professor, Erasmus University Rotterdam, Belanda
5 Mei 2025
Buku Seri Kajian Petani dan Perubahan Agraria ini dapat diunduh secara gratis.