Description
Prahara akhir 1965 yang melanda banyak wilayah Indonesia, menjadi begitu mengacaukan bagi pikiran dan suasana batin rakyat, bukan karena yang disebut musuh penghianat adalah orang Indonesia sendiri, terutama karena kebenaran dan keadilan tidak berada pada tatanan yang dipahami orang pada umumnya. Di mata rakyat biasa saat itu, kebenaran dan penentu keadilan berada di tangan orang-orang yang berkuasa, dan orang yang berkuasa adalah mereka yang memegang senjata. Saat itu, memikirkan kebenaran dan keadilan menjadi sangat menakutkan.
Catatan keluarga yang berisi kisah nyata ini diharapkan menyajikan salah satu sudut pandang sejarah dari sebuah peristiwa besar yang hingga penderitaan, kemelaratan berkepanjangan dan ketidakadilan bagi ribuan keluarga yang dijadikan korban. Penerbitan buku ini pun diharap turut mengundang pengungkapan-pengungkapan kebenaran dalam berbagai bentuk lain yang telah dirintis oleh banyak pihak yang peduli dengan hak-hak dasar manusia dan rekonsiliasi bangsa, sehingga tragedi besar pada tahun 1965 makin terang dan menjadi pelajaran berharga bagi bangsa agar tidak terulang di masa depan. ***
“Kebanyakan buku tentang penderitaan keluarga orang yang dianggap terlibat G-30-S tahun 1965 ditulis dengan kemarahan. Buku ini malah mengalir dengan nuansa ketabahan dan keuletan menempuh ujian sejarah. Dan muaranya adalah pencerahan hidup dan kesyukuran.” Ahmad Tohari, Novelis.
“Peran penting buku ini adalah untuk membuka mata bahwa kita semua tersandera kejahatan kemanusiaan masa lalu yang belum terselesaikan. Stigmasi tidak berhenti pada korban langsung yang sudah uzur, tetapi juga terhadap keluarga termasuk perempuan dan anak-anak. Selain pemerintah belum menghapus 30 peraturan yang diskrimitatif terhadap mereka, Negara juga belum memberikan keadilan kepada korban langsung.” Eva Kusuma Sundari, Anggota DPR-RI; Anggota Koalisi Perempuan Indonesia.
“Sekilas buku ini sekedar berkisah tentang bagaimana sebuah keluarga menghadapi suka-duka kehidupan sehari-hari di sebuah dusun di bagian barat Jawa Tengah. Jika kita menyimaknya dengan lebih teliti (termasuk mencermati catatan-catatan kaki yang ada), apa yang dikisahkan di dalamnya merupakan gambaran nyata mengenai bagaimana tragedi kemanusiaan tahun 1965-1966 memiliki dampak yang begitu jauh dan mendalam terhadap anak-anak bangsa yang menjadi korban langsung maupun anggota keluarga mereka… Sebuah kisah yang sangat layak untuk di simak bersama.” Baskara T. Wardaya, Sejarawan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
“Sering kita menundukkan kepala karena sedih dan malu atas tragedi kemanusiaan sebagai akibat pertarungan (elit) politik 1965. Jutaan orang telah menjada korban pembunuhan, penyiksaan, pemenjaraan, dan peminggiran. Karena alasan politik pula mereka tidak diakui, apalagi dipulihkan kemanusiaannya. Menuliskan kesaksian tragedi itu menjadi repertoar adalah untuk melawan penumpulan nurani bangsa ini.” M. Imam Aziz, Ketua Pengurus Nahdlatul Ulama; dan Pegiat Syarikat Indonesia.
>> opini, komentar, ulas buku, bacaan terkait:
- Peluncuran & Diskusi Buku “Berpijak di Dunia Retak” | ysik.org – 17 Feb-2014
- Berpijak di Dunia Retak: Pengingat Perjuangan Memutus Rantai Kekerasan | ysik.org – 23 Feb-2014.
- Penyintas Tragedi 1965 Menulis untuk Memulihkan Ingatan | SATUHARAPAN.COM, Minggu, 23 Februari 2014.
- Membagikan Ingatan sebagai Undangan Keterlibatan | indro-suprobo.blogspot.com – Februari 2014.
- Catatan Keluarga Penyintas Tragedi 1965. Ahmad Tohari Bedah “Bepijak di Dunia Retak” | Harian Banyumas – 30 Desember 2013.
- Ingatan yang Membahayakan | www.sesawi.net – 7 Maret 2014.
- Yuk Ikut Bedah Buku ‘Berpijak di Dunia Retak’ | tribunews.com – Sabtu, 29 Maret 2014.