Description
“Sebuah buku berjudul Film, Ideologi dan Militer (Budi Irawanto, 1999), yang sementara ini boleh diandaikan wewakili pandangan generasi reformasi, membahas tentang bagaimana militer, khususnya Soeharto, di dalam film berhasil menancapkan peranannya di dalam negara republik, sehingga mengecilkan arti peranan masyarakat sipil.” ~ Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 1 Januari 2000)
“This [New Order] propaganda served as a warning to the people that any opposition would earn the wrath of the dreaded military, and the people could do nothing to stop the armed forces. This militaristic image of Indonesia is well described in the book Film, Ideologi dan Militer: Hegemoni Militer Dalam Film Indonesia (Film, Ideology and Military: The Military’s Hegemony in Indonesian Films) by Budi Irawanto…” ~ Gotot Prakosa (The Jakarta Post, 13 November, 1999)
“Melalui pengamatan terhadap tiga teks film berjudul Enam Djam di Djogja, Janur Kuning, dan Serangan Fajar, Budi Irawanto mencoba melihat relasi sipil dan militer selama perang fisik berlangsung… Dalam bahasa lisan maupun bahasa gambar terlihat ada upaya sistematis memprogandakan keunggulan citra militer dibandingkan sipil dalam ketiga film tersebut.” Titok Hariyanto (Kompas, 30 Juni 2000)
“Dominasi militer di Indonesia tidak melulu tampil dalam seragam dan senjata yang disandangnya, tapi juga menampak dalam tiga film sejarah masa Orde Baru dan Orde Lama. Semiotika dan analisa struktural memang belum populer dalam dunia akademik Indonesia, paling-paling dalam penelitian di bidang bahasa dan sastra. Budi Irawanto dalam bukunya ini mencoba menerapkan metode itu dalam bidang yang sebenarnya sangat dekat dengan bahasa, yakni dalam komunikasi, dan lebih sempit lagi dalam film.” ~ Kurniawan (detik.com, 7 Februari 2000)
“Sebuah upaya untuk menelisik hegemoni militer dalam sinema Indonesia telah dilakukan Budi Irawanto lewat buku Film, Ideologi dan Militer. Staf pengajar jurusan komunikasi UGM ini berangkat dari asumsi bahwa jalan kekuasaan bukan cuma via politik tapi juga lewat puitik. Kekuasaan memerlukan monumen, taman makam pahlawan, bahkan ikon-ikon yang mampu membangkitkan memori publik… Namun penulis buku ini memilih film sebagai fokus kajian.” ~ Djudjur T. Susila (SuratkabarCom Online, 23 Januari 2000)
***
Melalui sinema yang diklaim sebagai ‘film sejarah’ rezim Orde Baru mengkonstruksikan format relasi sipil-militer, memberi legitimasi historis yang mungkin artifisial terhadap dwifungsi ABRI serta memperkuat cengkeraman kekuasan Soeharto dengan penonjolan-penonjolan perannya semasa revolusi fisik 1945-1949.
Buku ini berisi kajian semiotik atas tiga ‘film sejarah’, yakni Enam Djam di Jogja, Janur Kuning dan Serangan Fajar. Terlihat betapa media film sangat efektif untuk membangun citra bagi kekuasaan. Peran militer dilukiskan begitu ideal dalam menjalin hubungan dengan masyarakat sipil, justru ketika secara mencolok terjadi marjinalisasi peran kaum sipil (baik rakyat jelata maupun diplomat yang berjuang di meja perundingan) dalam proses mempertahankan kemerdekaan.
Suatu ‘hiperbolisasi sejarah’ bisa dilakukan melalui media film. Namun sebuah teks sejarah akan diuji oleh sejarah itu sendiri. Sejarah yang hiperbolis tidak lebih dari sebaris teks advertensi kekuasaan yang kosong tanpa isi.
>> opini, komentar, ulas buku, bacaan terkait:
- Film Propaganda Orba: Mengherokan Soeharto, Menyingkirkan Sultan HB IX | Sumber: news.detik.com – Selasa 19 September 2017.
- Antara ’’Film Politik’’ dan ’’Politik Film’’ di Indonesia | Sumber: Jawa Pos – 24 September 2017.
- Kuasa dalam Sinema | Sumber: jurnalruang.com – 20 Oktober 2017.
- Ketika Rezim Bikin Film | pocer.co – 22 Oktober 2017.