Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali

Rp 45.000

Penulis: Puthut EA
Penerbit: INSISTPress
ISBN: 978-602-8384-20-9
Edisi: I, Maret 2009
Kolasi: 15×21 cm; xii+ 160 halaman

Category: Tags: , , Product ID: 3662

Description

Adalah kumpulan cerpen terbaru Puthut EA. Buku ini berisi cerpen-cerpen memesona dari fragmentasi; gempa bumi yang meluluhlantakkan tanah, rumah-rumah dan hubungan-hubungan keluarga.

Peristiwa-peristiwa politik berakhir seiring lenyapnya desa-desa dan orang-orang secara misterius. Anak-anak ditinggalkan dan harus bertahan hidup sendiri di usia dini. Kekerasan juga masih hadir disana, tersembunyi, namun tiba-tiba bisa begitu saja terlihat, muncul di tengah-tengah kehidupan sehari-hari. Cerpen-cerpen indah dan menarik ini sangat puitis, detail, dan merakyat, menyuguhkan kepada pembaca sebuah kenyataan hidup yang sebenarnya. Di sana, misteri bercampur seperti resep masakan. ***

“Ini bukan sekadar kumpulan cerita. Ini sejarah, penggalan sejarah dari negara-bangsa yang__setelah hampir satu abad__ belum saja selesai dengan diri mereka sendiri. Apapun yang dikatakan oleh pejabat resmi pemerintah, kalangan cendekiawan dan kaum terpelajar, juga para politisi dan aktivis sosial, semuanya terlalu sering berbeda dengan apa sebenarnya yang dialami nyata dan dirasakan oleh jelata awam, warga terbanyak di negeri ini. Mereka punya nalar dan pandangan hidup sendiri terhadap setiap kejadian, termasuk yang menjadi bagian langsung maupu tak langsung dari peristiwa-peristiwa besar nasional atau bahkan global. Seperti kumpulan cerpen ini, karya-karya sastra-lah yang terbukti selama ini paling mampu mengungkapkan kembali ‘sejarah orang kebanyakan’ itu dengan penuh nuansa dan kedalaman yang sulit ditemukan dalam karya-kaya ‘ilmiah akademis’.” Roem Topatimasang, penulis buku Sekolah Itu Candu.

“Dalam cerpen-cerpennya ini, Puthut harus bergelut imajinasi kolektif dimana keadilan telah dilumpuhkan. Demi pembangunan, demi kedewasaan berbangsa. Demi Peradapan. Imaji kolektif yang tidak lagi mampu membedakan antara yang bohong dan benar, dimana keadilan dibiarkan bergandengan dengan kembar-palsunya, ketidakadilan, mengambang dalam ambiguitas berbahaya. Kalaupun publik masih mampu membedakan, perbedaan itu harus cepat-cepat dipendam di alam bawah sadar. Bingkai “aku” Puthut di samping memberi suara kepada kemurnian pertanyaan belia__yang terlalu sering dianggap gangguan__ menambahkan sesuatu yang barangkali belum tampil dalam penuturan Paramoedya pada awal berdirinya nasion Indonesia, yaitu pergantian generasi dan efek pengaburan konseptual yang telah berlangsung lebih dari 40 tahun.” Sylvia Tiwon, pengajar di University of California, Berkeley.

Daftar Isi: Ucapan Terima Kasih •vii | Pengantar – Sylvia Tiwon •xi | Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali •1 | Kawan Kecil •13 | Obrolan Sederhana •23 | Rahasia Telinga Seorang Sastrawan Besar •35 | Doa yang Menakutkan •45 | Di Sini Dingin Sekali •55 | Sambal Keluarga •65 | Dongeng Gelap •75 | Anak-Anak yang Terampas •85 | Retakan Kisah •95 | Koh Su •105 | Ibu Tahu Rahasiaku •117 | Rumah Kosong •127 | Bunga Pepaya •139 | Berburu Beruang •149 | Biografi Karya •159


Opini, komentar, ulasan, dan tulisan terkait: