Butet, Guru Merangkap Murid Sekolah Rimba*
Namanya Saur Mariana Manurung. Tetapi, dia lebih akrab dipanggil Butet Manurung. Sarjana Antropologi lulusan FISIP Unpad ini telah mengawali ‘kerja besar’ yang tidak semua orang bisa melakukannya. Berbekal tekad dan ketulusan mengabdi, dia berhasil “menyadarkan” suku-suku di pedalaman Jambi dan Riau untuk mengenali diri dan realitas rimba yang selama ini dipahami secara bersahaja.
Orang Rimba selalu menganggap kedatangan “Orang Luar” (untuk menyebut orang yang bermukim di kampung atau kota) sebagai pihak yang akan merusak adat. Sebagai seorang antropolog, Butet jelas paham dengan pola pikir semacam itu.
Membaca buku catatan harian Butet Manurung, Sokola Rimba (2007), membuat imajinasi saya terbang ke alam rimba belantara di pedalaman Jambi. Butet bercerita banyak tentang pahit-getirnya menjelajah hutan dan selama mengenal Orang Rimba yang hidup amat bersahaja.
Tidak jarang saya tertawa geli menikmati kisah-kisah udik, konyol, dan lugu, yang dituturkan secara lugas. Namun tidak jarang timbul decak kagum dalam hati sewaktu Butet mengungkap tradisi luhur dan sistem sosial yang penuh toleransi. Ternyata Orang Rimba tidak pernah mengenal kekerasan, apalagi sampai membunuh sesama. Mereka juga sangat santun dan menghormati para tamu, sekalipun berasal dari “Orang Luar.”
Sekalipun demikian, Orang Rimba sangat tertutup dengan dunia luar. Walaupun dunia luar jauh lebih maju, tetapi mereka merasa telah cukup dengan kehidupan bersahaja di dalam rimba. Keluguan Orang Rimba dimanfaatkan oleh Orang Luar. Mereka yang tidak kenal baca-tulis dengan mudah ditipu.
Orang Rimba tidak bisa mengelak karena mereka sendiri tidak tahu. Secara sistematis dan terencana, keberlangsungan hidup Orang Rimba terus tergerus oleh laju pembangunan. Sementara itu, Orang Rimba sendiri tidak memiliki daya upaya untuk menangkalnya.
Membayangkan Butet Manurung mengingatkan saya kepada sosok guru bijak di Brasil, Paulo Freire. Sekalipun latar sosio-historisnya jauh berbeda, tetapi kedua tokoh ini menghadapi fenomena serupa: penindasan. Di satu sisi, penindasan itu dijalankan oleh sistem yang mengatasnamakan pembangunan, tetapi di sisi lain menjelma dalam bentuk kultur yang turut melestarikan penindasan itu.
Baca-tulis, Berhitung
Pengalaman Butet ini juga merupakan satu bukti bahwa dia telah mengenalkan model pola pikir kepada suku-suku rimba yang tidak seperti lazimnya. Biasanya para aktivis LSM selalu mengenalkan nilai-nilai baru dengan dalih pendampingan terhadap suku-suku yang terancam punah.
Tetapi pendekatan yang dipakai selalu menyeberang dari norma-norma adat setempat. Orang Rimba dianggap tidak berperadaban, padahal mereka mengaku memiliki sistem kebudayaan sendiri. Banyak program LSM dalam rangka pendampingan terhadap suku-suku rimba sebatas formalitas belaka.
Orang Rimba menjual hasil hutan kepada orang luar, tapi mereka tidak tahu seandainya ditipu. Mereka tidak bisa baca-tulis, apalagi menghitung. Tampaknya, Butet melihat celah yang satu ini. Dia lantas mengajak suku-suku rimba untuk mengenal baca-tulis agar mereka tidak mudah dibodohi.
Dengan tekun, dia meyakinkan Orang Rimba agar mereka memiliki wawasan yang luas supaya mampu memahami sumber permasalahan hidup secara kritis. Butet pun menawarkan sekolah kepada mereka.
Setiap perjuangan selalu melewati aral yang melintang. Butet hampir saja putus asa karena OR sudah sinis duluan mendengar kata “sekolah.” Perasaan gengsi, dan mungkin curiga, sudah tertanam di benak para Orang Rimba.
Rupanya kesalahan pendekatan dan strategi yang dilakukan para aktivis LSM yang jadi biangnya. Mereka menerapkan program pendidikan untuk para Orang Rimba tanpa memahami situasi batin, norma-norma adat, dan dan sistem sosial yang berlaku bagi masyarakat rimba. Niatan yang pada mulanya baik justru berbalik dengan disikapi secara sinis.
Mungkin ajakannya kepada mereka untuk bersekolah menjadi kesalahan yang teramat mahal harganya. Namun, di tengah-tengah situasi kritis, sebuah pemikiran cemerlang acapkali menyusup di dalam benak.
Butet berusaha melepaskan segala teori dan formalitas akademik demi menyelamatkan masyarakat rimba yang hampir punah itu. Jadilah konsep pembelajaran kritis yang tidak perlu teori muluk-muluk dan formalitas basa-basi. Bagi Butet, tujuan sekolah tidak untuk mengubah tata nilai adat setempat, namun untuk meningkatkan profesionalisme kerja.
Guru Sekaligus Murid
Ajakan Butet kepada orang-orang rimba itu justru menjadi batu sandungan baginya. Orang-orang rimba merasa gengsi ketika harus belajar kepada orang luar, apalagi kepada seorang perempuan seperti Butet. Ditambah lagi, kesalahan fatal telah dilakukan oleh para aktivis LSM sebelum Butet yang memperkenalkan sistem pembelajaran formal kepada orang-orang rimba.
Konon, metodenya statis, bahkan memiliki kecenderungan bersifat doktriner. Tidak jarang anak-anak rimba yang malas mendapat hukuman fisik. Seorang guru dengan seenaknya main instruksi suruh ini dan itu tanpa dimengerti sama sekali oleh anak-anak rimba.
Butet mengenalkan baca-tulis kepada anak-anak rimba tidak seperti lazimnya para guru yang merasa sok paling tahu. Dia memang jadi guru, tetapi pada saat yang bersamaan dia adalah murid bagi anak-anak rimba.
Inilah sebenarnya metode pembelajaran partisipatif seperti yang pernah diterapkan oleh Paulo Freire. Mungkinkah Butet Manurung telah membaca karya-karya Paulo Freire sebelumnya? Saya tidak tahu persis. Dalam buku Sokola Rimba, Butet tidak menyebut nama “Bapak Pendidikan Kritis” ini.
Dalam proses pembelajaran partisipatif, pola interaksi antara guru dan murid tidak bersifat formal. Butet malah bertelanjang kaki dan kadang hanya mengenakan kain kemben. Tidak ada instruksi ini dan itu. Juga tidak ada ceramah.
Yang ada hanyalah keterlibatan aktif antara guru dan murid. Status guru seakan-akan lebur menjadi seorang sahabat yang baik bagi murid-muridnya. Seperti Butet yang tengah mendidik anak-anak rimba, dia senantiasa siap menjadi murid bagi mereka.
Kurikulum nasional jelas tidak akan terpakai di sini. Mungkin saja masih dibutuhkan sistem evaluasi, tetapi dalam hal ini tidak terlalu diutamakan. Justru, anak-anak rimba lebih membutuhkan pengetahuan praktis berkaitan dengan kondisi alam di sekitar mereka.
Untuk meningkatkan produktivitas kerja, orang-orang rimba lebih membutuhkan pelajaran membaca, menulis, dan berhitung. Dengan kemampuan membaca, mereka bisa memahami setiap surat-surat penting yang datang dari pihak luar.
Mereka bisa menuliskan nama dan membubuhkan tanda tangan sewaktu selesai membuat suatu perjanjian. Dengan pandai menghitung, mereka bisa mengetahui sendiri jumlah hasil hutan yang dijual kepada para penadah.
Belajar dari pengalaman Butet ini, kita menemukan arti pendidikan yang sesungguhnya. Butet telah melakukan kerja besar yang menghasilkan karya besar dalam menyadarkan suku-suku rimba di pedalaman Jambi dan Riau. Lewat karya besar ini, Butet juga telah menyadarkan kita akan arti pendidikan yang sesungguhnya.
*Mu’arif. Sumber: Sinar Harapan – Rabu, 29 Agustus 2007.
*Rehal buku: Sokola Rimba: Pengalaman Belajar Bersama Orang Rimba/ Butet Manurung/ INSISTPress, 2007.