Studi Konflik Ala Minangkabau

Studi Konflik Ala Minangkabau*

Relakah kita bila negeri ini dikategorikan sebagai “negeri konflik”?—Pastinya tidak. Namun, bayang-bayang  itu memanglah fakta sejarah. Lihatlah bukti yang amat ngeri dan pedih menggetir hati, semisal kasus-kasus konflik; Baligate, Lippogate, Timor Timur, Ambon, Aceh, dan lain lain yang sekedar  menjadi retorika digdaya sang elite demi kuasa, tanpa mata realita. Sebuah realita kehidupan yang mengharap aman, damai, dan sejahtera. Darinya, Nampak, Indonesia bagai “kapal limbung” yang bocor disana-sini, tanpa adanya perbaikan diri. Yang menjadi pertanyaan, masihkah elite-elite itu prihatin dengan nasib bangsa berbudaya konflik ini?

Mestinya wajib. Indonesia memang berbudaya konflik. Melihat  itu, kita bisa belajar dari dinamika konflik yang menjadi kearifan lokal Minangkabau. Di sana, konflik lebih merupakan tradisi yang merupa tata nilai yang luhur dalam masyarakat. Dimana konflik yang menjadi benang merah haruslah benar-benar diselesaikan secara win-win solution lewat pemangku adat setempat. Tak ada kekerasan, anarkis, dan amuk massa. Dan, menjadi persoalan runyam tatkala muncul sebuah kepentingan yang memorakporandakan budaya itu.

Dari sana, muncul gejala baru sabagai wujud sinkronisasi motif budaya, lewat ekses-ekses negatif terselubung. Contoh, yang menjadi sumber konflik, pembahasan Pemilikan Tanah; dibagi dalam  3 corak yaitu tanah kaum (milik satu kaum—mamak, ibu, dan anak), tanah ulayat (milik suku), dan tanah nagari (tanah Negara). Mutlak, dari sana, budaya Minangkabau tak tersentuh kapitalisme tanah. Hingga wujud jual beli tanah pun tak ada, yang boleh adalah pegang gadai (prosesi gadai), dengan syarat. Eksistensi konflik menjadi dikotomi sosial, sebab keruhan pendidikan Barat, mewujudnya mindset sekuler. Terdorong kearah reduksi nilai kebudayaan, hingga munculah “bacakak banyak”, perang besar antarkampung (halaman 148).

Kalau di Jawa, upaya dialog konflik diharap menjelma transformasi budaya yang memuaskan lewat jalur priyayi ataupun pembangunan elite birokrasi. Tradisi itu tak dikenal, yang ada metodologi penghulu/wali nagari yang khas—adanya prosesi jamuan dan ritual, ditunjuk dari setiap suku. Namun, legacy itu semakin tergerus akibat tautan globalisasi. Dalam buku berjudul “Budaya Konflik dan Jaringan Kekerasan” karya Zaiyardam Zubir ini, hal ihwal itu dikemukakan secara gamblang, disertai gambaran studi kasus dalam tradisi Minangkabau yang faktual. Buku ini memang dirancang sebagai  acuan pendekatan penyeleseian konflik berdasar tata nilai kearifan lokal Minangkabau.

Diungkapkan, sudah menjadi darah, bila konflik dipicu ketidaksepahaman dan ketidakpuasan. Dan, krisis konflik itu lebih akibat jelmaan arogansi kapitalisme yang merambah dan menjarah kekayaan sumber daya alam Sumatera Barat secara umum. Lebih, adanya illegal loging dan pertambangan liar yang ujung-ujungnya merusak dan merugikan negeri ternyata mendapat legitimasi birokrasi.

Benar, apa yang diutarakan Bung Hatta; “rakyat yang utama, Hidup matinya Indonesia Merdeka semua bergantung pada semangat rakyat. Begitu pula tradisi konflik dan solusinya akan menjadi tanggung jawab rakyat sepenuhnya, menisbikan political will penguasa sistem Negara. Semoga.**

*Muhammad Bagus Irawan, peneliti muda pada Pena Walisongo Center, mahasiswa FUPK IAIN Walisongo Semarang.  Lansir dari: Koran Opini – 6 Agustus 2011.

*Rehal buku: Budaya Konflik dan Jaringan Kekerasan: Pendekatan Penyelesaian Berdasarkan Kearifan Lokal Minangkabau/ Zaiyardam Zubir/ INSISTPress, 2010.