Bukan untuk Kesejahteraan Petani

Bukan untuk Kesejahteraan Petani*

Beberapa pakar dan pengamat pernah menyebut pangan sebagai ‘senjata politik’ pemerintah di banyak negara rawan bencana kelaparan menahun di Afrika. Maksudnya, banyak rezim diktator militer di benua itu justru sengaja terus membesar-besarkan (blow up) penderitaan rakyatnya yang kekurangan pangan untuk menarik semakin banyak bantuan internasional mengalir ke negara mereka. Hal itu menjadi bahan kampanye politik terpenting untuk mempertahankan popularitas mereka di depan mata rakyatnya. Sekaligus, pada saat bersamaan, menjadi tambahan logistik tentara mereka menumpas pemberontakan bersenjata berkepanjangan.

Dalam bentuk yang lain dan berbeda, di negara-negara yang nisbi tidak mengalami kekurangan pangan serius, malah surplus produksi, pangan menjadi ‘konsumsi politik’. Maksudnya, kelebihan bahan pangan dijadikan sebagai isu utama dan penting dari kampanye politik mempertahankan popularitas pemerintah. Di negara-negara Eropa, misalnya, hampir tak ada satupun pemerintahan –tak peduli apapun partai dan aliran politiknya– yang berani mengutak-utik subsidi pertanian pangan jika tak ingin kalah dalam pemilihan umum atau terjungkal di tengah masa kekuasaannya. Tidak memprioritaskan isu pangan adalah tindakan politik paling tidak populer yang sedapat mungkin dihindari.

Buku ini menambah khasanah pengertian politik pangan semacam itu dalam satu kasus pemerintahan daerah di Indonesia. Didukung oleh kompilasi data statistik makro dan contoh-contoh empirik mikro dari lapangan, buku ini menyajikan bagaimana pemerintah daerah di Sulawesi Selatan menyadari benar arti penting dan strategis bahan pangan sebagai agenda politik utama mereka. Gegap gempita kampanye peningkatan dan pencapaian surplus produksi dimanfaatkan habis-habisan untuk membangun citra keberhasilan di mata rakyat, meningkatkan nilai ekspor, sekaligus alat tawar-menawar politik dengan pemerintah pusat di Jakarta. Akibatnya, hakiki produksi pangan –yakni meningkatkan kesejahteraan rakyat petani produsen bahan pangan– justru bukan menjadi dasar pertimbangan dan tujuan utama. Ironi pun berlangsung, melanjutkan dan mengulangi kontradiksi-kontradiksi panjang dan kegagalan masa lalu.

Buku ini menjadi menarik dan penting, karena banyak buku sebelumnya yang mengupas tema ini lebih fokus pada kebijakan di aras nasional. Pada bagian akhir (Bab 5).beberapa pokok pikiran dan usulan perubahan kebijakan yang diajukan oleh para penulisnya, menjadi terlalu penting untuk tidak diperhatikan, baik oleh pemerintah daerah Sulawesi Selatan sendiri maupun pembuat kebijakan pangan pada tingkat nasional.** (Beta Petttawaranie)

*Rehal buku: Melawan Ketergantungan: Kebijakan Pangan dan Pengalaman Pengorganisasian Tiga DesaAgung Prabowo, Karno B. Batiran, dan M. Aan Mansyur/ Lembaga Pengembangan Masyarakat Pedesaan (LPTP), Sekolah Rakyat Petani (SRP) PAYO-PAYO, dan INSISTPress, 2011.