Berbagi Pengalaman Menangani Bencana*
Indonesia termasuk negara yang rentan terkena bencana alam, seperti gempa bumi, banjir, atau tanah longsor. Namun, negara ini belum memiliki metodologi penanganan bencana. Setiap terjadi bencana besar, kita selalu terkaget-kaget. Masalahnya hampir selalu sama: keterlambatan bantuan vital yang merupakan pertolongan pertama seperti makanan dan obat-obatan.
“Manuver para politisi yang tidak mempercepat pembangunan sistem kebencanaan itu indikator bahwa orientasi politik mereka belum pada kesejahteraan rakyat” (halaman 93).
Buku Merancang-Bangun Sistem Keselamatan Rakyat mencoba membagi pengalaman mereka yang terlibat langsung menangani bencana di sejumlah tempat. Buku ini menceritakan program pengurangan risiko bencana yang dilaksanakan organisasi-organisasi anggota Indonesian Society for Social Transformation (Insist) di Maluku Tenggara, Sinjai, Ende, Bengkulu Utara, dan Bengkulu Tengah.
Mereka melihat bahwa masalah kebencanaan sebenarnya merupakan salah satu isu strategis untuk mulai memengaruhi kebijakan publik secara lebih nyata dan langsung. Kerusakan yang diakibatkan suatu peristiwa atau bencana dapat sangat merugikan upaya-upaya pembangunan kesejahteraan atau perbaikan taraf dan mutu kehidupan, terutama di negara-negara yang nisbi belum memiliki berbagai kesiapan memadai menghadapi bencana.
Data sejarah kebencanaan di seluruh dunia memperlihatkan bahwa lebih dari 95 persen kematian yang disebabkan bencana terjadi di negara-negara berkembang. Adapun nilai kerugian ekonomis (persentase dari produk domestik bruto) mencapai 20 kali lebih besar dibanding di negara industri.
Bencana selalu berpotensi besar mengancam pemenuhan hak-hak dasar manusia, baik hak-hak ekonomi, sosial, budaya, sipil, maupun politik. Pendek kata, peristiwa bencana berpotensi besar menghancurkan martabat manusia dan kemanusiaan.
“Setiap orang berhak dan wajib turut serta dalam penanganan bencana tanpa dibatasi oleh status kewarganegaraan, suku, agama, ras, dan sebagainya. Ini berangkat dari suatu keyakinan bahwa hidup manusia pada hakikatnya sangat berharga dan karena itu semua potensi harus dikerahkan demi mencegah atau meringankan penderitaan manusia yang terkena bencana” (halaman 1).
Filosofi atau keyakinan dasar akan martabat manusia dan kehidupannya itulah yang menjadi landasan dan kesepakatan internasional tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana. Karena itu, tidak satu pun pihak, termasuk negara, boleh mencegah atau menghalang-halangi, apalagi mengabaikan sama sekali, tugas dan kewajibannya dalam upaya-upaya penyelenggaraan penanggulangan bencana.
“Mengurus bencana langsung berkaitan dengan keselamatan dan kesejahteraan hidup warga negara. Pemerintah yang gagal atau tak sungguh-sungguh menangani bencana dengan baik sebenarnya gagal mengukuhkan hakikat keberadaannya di mata dan hati rakyatnya” (sampul depan)
“Dalam pelaksanaannya, penanganan bencana mengharuskan penyelarasan semua sektor pelayanan sosial dasar (mata pencaharian, lapangan kerja, perumahan dan sanitasi, keamanan, dan sebagainya) sebagai bagian dari pemenuhan hak-hak dasar warga negara yang tak boleh ditunda atau dikurangi dengan alasan apa pun atau non-derogable rights” (sampul belakang).
Pada pengendalian bencana, biasanya yang menjadi kendala adalah kekurangan informasi dan pengetahuan tentang wawasan atau cara pandang baru dan metodologi mutakhir pengelolaan bencana.
Pada intinya, buku ini berisi tentangan pengalaman pengelolaan bencana pada lima daerah di kabupaten yang memunyai corak dan latar belakang berbeda, tetapi wilayah-wilayah itu sama-sama sering terkena bencana.
*Juniaty Ginting, pustakawati Koran Jakarta | Sumber: Koran Jakarta – Jumat, 22 Juni 2012.
*Rehal buku: Merancang-bangun Sistem Keselamatan Rakyat: Pengalaman Kelola Bencana di Lima Kabupaten (Maluku Tenggara, Sinjai, Ende, Bengkulu Utara, Bengkulu Tengah) •Penulis: Hedar Laudjeng, Saleh Abdullah, Roem Topatimasang, Ishak Salim, Lubabun Ni’am •Penerbit: INSISTPress •Edisi: Pertama, Mei 2012.