Mencari Energi Alternatif Untuk Desa*
Selama ini masyarakat Indonesia hidup bergantung pada konsumsi bahan bakar fosil. Padahal cadangan minyak fosil di perut bumi semakin habis. Harga minyak dunia semakin merangkak. Pemerintah pun mengambil kebijakan untuk menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Pemberian subsidi tak mungkin dilakukan karena akan membebani kas negara.
Dampaknya, masyarakat desa yang tergolong menengah ke bawah menjadi korban. Kenaikan harga BBM membuat daya beli masyarakat desa menurun. Para pedagang pun akan menaikkan harga barang dagangannya dengan dalih harga BBM naik.
Melihat masalah tersebut, sudah saatnya masyarakat desa menyadari betapa pentingnya mencari energi alternatif untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bahan bakar fosil sudah tidak bisa diharapkan lagi, mengingat keberadaannya yang kian langka.
Pesan itulah yang ingin disampaikan oleh buku Desa Butuh Energi Alternatif, Sekarang! ini. Produksi minyak di Indonesia telah dieksploitasi dalam periode waktu yang sangat lama. Buku ini menuding rezim Orde Baru sebagai penyebab semuanya. Akibat swastanisasi dan inisiasi budaya korupsi, masyarakat terjebak dalam gaya hidup boros energi. Layanan dan jaringan transportasi yang buruk juga berdampak terhadap borosnya konsumsi energi (hal. 4).
Pemerintah dinilai telah gagal memanfaatkan keuntungan dari kenaikan harga minyak pada masa lampau untuk kemakmuran rakyat (hal. 17). Data BP Statistical Review of World Energi tahun 2008 menunjukkan, pada 1970-an produksi minyak Indonesia mencapai 1,7 juta barel perhari. Hingga sekarang produksi minyak menurun drastis menjadi kurang dari 1 juta barel perhari. Sebaliknya, konsumsi masyarakat terhadap bahan bakar minyak justru meningkat hingga 1,2 juta barel perhari.
Sebuah penelitian menyebutkan, antara tahun 1960 sampai 1976, belanja per kapita riil di pulau Jawa meningkat 40% di daerah perkotaan, 50% khusus di Jakarta, dan 20% di perdesaan. Hal ini menunjukkan ketimpangan antar kelas ekonomi. Kelas menengah urban menduduki sebagai pembelanja yang paling banyak (hal. 21). Rumah mereka berisi berbagai alat rumah tangga yang membutuhkan banyak energi.
Michael Bodden mengatakan, kondisi semacam itu mirip dengan gaya hidup Amerika Utara yang sangat boros energi. Sebagai contoh, Negara Amerika Serikat adalah negara yang dikenal dengan negara yang “kecanduan minyak”. Hampir seluruh kebutuhan hidup mereka diproduksi pabrik atau agroindustri yang membutuhkan BBM dalam jumlah yang cukup besar.
Kondisi minyak bumi dunia yang semakin habis ternyata membuat beberapa negara tergerak untuk mencari energi alternatif lainnya. Pemerintah Indonesia sendiri membuat kebijakan untuk menanam jarak pagar sebanyak-banyaknya. Lagi-lagi justru para petani kecil yang menjadi korban. Petani kecil menjadi alat penguasa untuk menghasilkan jarak dalam jumlah besar untuk memenuhi pasar dunia.
Upaya untuk mencari energi alternatif tak berhenti di situ. Dalam buku ini dikisahkan, sejumlah pemuda yang tergabung dalam Sekolah Rakyat Petani (SRP) Payo-Payo di Sulawesi Selatan berupaya mengajak masyarakat agar tidak lagi bergantung pada energi minyak. Mereka bahu membahu membuat biomigas yang memanfaatkan kotoran sapi. Ada juga yang memanfaatkan biji jarak untuk membuat kompor hemat energi.
Semula berjalan dengan baik. Masyarakat mampu menghasilkan gas untuk memasak dan listrik untuk penerangan rumah dan jalanan. Namun, pelan-pelan masyarakat mulai mengabaikan jerih payah tersebut. Sarana yang dibuat banyak yang rusak. Mereka enggan untuk memperbaiki lagi. Masyarakat lebih terbiasa hidup dengan mengonsumsi minyak fosil.
*Abdul Arif, Mahasiswa Tadris Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Walisongo Semarang. Sumber: amanat-online.com – 4 Juni 2013.
*Rehal buku: Desa Butuh Energi Alternatif, Sekarang!/ Nurhady Sirimorok, Hasriadi Ary/ INSISTPress, 2013.