Cengkeh: Dulu, Kini & Nanti

Cengkeh: Dulu, Kini & Nanti*

Bahwa cengkeh(1) (Syzygium aromaticum) –bersama pala (Myristica fragrans)– adalah dua tanaman asli (endemik) Kepulauan Maluku, sudah tak terbantahkan. Cengkeh dikenal dan diakui berasal dari ‘Empat Pulau Gunung Maluku’ (Maloko Kie Raha): Ternate, Tidore, Moti, dan Makian. Adapun pala, berasal dari empat pulau kecil lainnya di tengah Laut Banda: Lonthor, Neira, Rhun, dan Ai. Pada penjelasan peta abad-16 oleh penjelajah dari Semenanjung Iberia, Fransisco Rodriguez, tertulis: “Estas quatro Ilhas Azures suam as de molluquo homde nace ho crauzo” (Adalah empat pulau berwarna biru [dalam peta] yang disebut sebagai Kepulauan Maluku di mana rempah-rempah berasal), (Pires, 1512- 1515:213).

Sejak beberapa abad sebelum Masehi, adalah para saudagar Arab –melalui Samudera Hindia melintasi Iskandariyah dan Laut Tengah– serta para pedagang Cina –melalui jalur ‘Jalan Sutra’ melintasi Asia Tengah dan Asia Barat– yang membawa dan memperkenalkannya ke daratan Eropa. Bandar-bandar besar Tyre di Yunani dan Venesia di Italia menjadi pelabuhan utama rempah-rempah Maluku memasuki kehidupan dan peradaban Eropa. Selain sebagai bumbu masakan, rempah obat, dan ramuan wewangian, cengkeh dan pala juga menjadi bahan utama pengawet bahan pangan(2). Inilah yang membuat orang-orang Eropa untuk pertama kalinya dapat mengawetkan dan menimbun makanan selama bermusim-musim. Prosa indah Blair bersaudara menggambarkannya dengan sangat baik:

“Kemampuan menyimpan makanan lebih dari yang kami makan sekaligus berarti kemampuan menjual dan membelinya dalam jumlah besar –dan kota-kota dagang pun mekar. Perekonomian yang dihasilkannya mengarahkan kami ke zaman Pencerahan dan kemudian Revolusi Industri. Tak lama setelah kami menghirup aroma yang sangat kuat dari Timur itu dan mengubah kimiawi makanan kami, maka kami pun mampu melakukan lompatan besar dalam bidang budaya dan seni.” (Blair & Blair, 2010; 30-31).

Bukan hanya membuat perekonomian dan perdagangan serta ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang, cengkeh dan pala bahkan adalah faktor yang paling menentukan dalam kemunculan satu babakan paling mengenaskan dalam sejarah politik dunia, yakni zaman penjajahan (kolonialisme) Eropa, terutama atas-atas negeri-negeri Asia Selatan, Timur dan Tenggara, termasuk Indonesia. Tergerak oleh sahwat menguasai rempah-rempah yang menggiurkan itu, bangsa-bangsa Eropa –terutama Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda– pun menggelar ekspedisi-ekspedisi besar untuk menemukan cengkeh dan pala langsung di tanah asalnya. Ketika armada-armada mereka akhirnya mencapai perairan Kepulauan Maluku, pada abad-16, perang pun tak terhindarkan. Mereka silih berganti saling mengalahkan, tetapi pemenang terakhir adalah Belanda. Melalui Perusahaan Dagang Hindia Timur (Vereenigde Oostindische Compagnie, VOC) yang dibentuk pada awal abad-17 (tepatnya tahun 1609), Belanda melancarkan ekspedisi Pelayaran Hongi (Hongie Tochten), untuk memusnahkan semua tanaman cengkeh di Ternate, Tidore, Moti, dan Makian, lalu membatasi ketat penanamnya hanya di Pulau-pulau Ambon dan Lease –yang lebih dekat ke Banda sebagai pusat pemerintahan mereka sebelum akhirnya dipindahkan ke Batavia. Praktis, sejak akhir abad-16, Belanda pun menguasai penuh perdagangan rempah-rempah Maluku dengan jumlah produksi rerata 2.500 sampai 4.500 ton per tahun (3).

Meskipun peran utama rempah-rempah Maluku itu kemudian tergusur pada abad-18 dan 19 oleh beberapa barang eksotika tropis lainnya –hasil perkebunan-perkebunana besar baru di Pulau Sumatera dan Jawa: tebu, tembakau, lada, kopi, teh, nila, kelapa sawit, dan kayu jati– namun sejarah sudah mencatat bahwa dua jenis rempah-rempah Maluku itulah yang mengawali penjelajahan sekaligus penjajahan kepulauan Nusantara oleh bangsa-bangsa Eropah, terutama Belanda (Topatimasang, ed., 2004:32).

Jika saja tak pernah ada cengkeh dan pala di Maluku, mungkin sejarah kepulauan Nusantara ini akan berbeda sama sekali. ***

Masa suram cengkeh dan pala terus berlangsung sampai pertengahan abad-20. Rempah eksotika yang pernah membuat tergila-gila para saudagar Arab, pedagang Cina, serta kaum ningrat Eropa itu, tergantikan perannya oleh penemuan teknologi mesin pendingin berkat Revolusi Industri yang dimulai di Inggris pada pertengahan abad-18. Pasaran cengkeh di Eropa pun merosot tajam.

Nasibnya terselamatkan berkat penemuan oleh seorang Haji Djamhari di Kudus, Jawa Tengah. Pada akhir tahun 1880-an, Haji Djamhari menemukan kegunaan baru cengkeh sebagai ramuan utama rokok. Lahirlah satu produk baru yang unik, khas dan asli Indonesia: kretek! (Hanusz, 2000:ii). Setelah seperempat abad hanya berkembang dalam skala kecil usaha rumah tangga, produksi kretek akhirnya menjelma menjadi industri besar sejak awal abad-20 yang dirintis oleh Haji Nitisemito (pendiri pabrik ‘Jambu Bol’) di Kudus dan Liem Seng Tee (pendiri pabrik ‘Dji Sam Soe’ dan ‘Sampoerna’) di Surabaya. Puncaknya adalah pada pertengahan tahun 1950-an, ketika produksi kretek mulai berkembang pesat menjadi industri raksasa modern dengan munculnya beberapa pabrik baru, antara lain, yang terkemuka, oleh Oei Wei Gwan (pendiri pabrik ‘Djarum’) di Kudus dan Tjou Ing Hwie (pendiri pabrik ‘Gudang Garam’) di Kediri (Topatimasang, et.al., eds., 2010:131).

Cengkeh, bahan baku paling esensial dari kretek –selain tembakau, tentu saja– pun kembali berjaya. Bahkan, sejak dasawarsa 1970an, telah menjadi salah satu penyumbang terbesar keuangan negara Republik Indonesia. Pada tahun 2012 dan 2013, pemasukan cukai dari industri kretek mencatat 95,5% dari seluruh pemasukan cukai ke kas negara. Nilainya tak tanggung-tanggung: Rp 87 triliun! (el-Guyanie, et.al.: 2013:4-5).

Nilai ekonomisnya yang sangat besar sempat menggoda penguasa otoriter rezim Presiden Soeharto, pada 1990-an, memberlakukan satu kebijakan ‘Hongi Gaya Baru’: monopoli perdagangan cengkeh dalam negeri melalui Badan Penyanggah dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang sangat merugikan petani. Harga cengkeh di tingkat petani penghasil anjlok sampai hanya Rp 2.000 – 3.000 per kilogram, lebih murah dari harga sebungkus kretek yang dihasilkan darinya. Akibatnya, ratusan ribu pohon cengkeh di daerah-daerah penghasil utama –Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan– ditebangi atau dibiarkan terlantar tak terurus.

Gelombang reformasi sistem politik dan hukum nasional yang dimulai pada tahun 1998, akhirnya menjungkalkan rezim Soeharto dan BPPC dibubarkan, Pelan tapi pasti, harga cengkeh kembali merangkak naik, sehingga pada tahun 2012, bahkan melewati angka Rp 200.000 per kilogram. Para petani cengkeh di seluruh negeri kembali tersenyum.

Tetapi, sampai kapan?  ***

Belajar dari sejarah panjang pasang-surut cengkeh sejak masa penjajahan dulu, pertanyaan ini sama sekali tak bisa dijawab hanya dengan logika pasar atau nalar ekonomi murni. Kebijakan politik sangat pekat mewarnai nasib benda yang pernah menjadi rebutan berbagai bangsa dan kalangan ini.

Dan, itulah yang sangat mencengangkan pada sikap pemerintah negeri ini. Sejak dulu, kebijakan pemerintah nyaris hanya memperlakukan cengkeh tak lebih dari sekedar barang jualan yang hanya diperhatikan jika harganya memang memungkinkan untuk memungut cukai, retribusi atau pajak lebih besar. Minat dan perhatian mereka pada benda ini hanyalah pada besarnya rente ekonomi yang dapat mereka peroleh. Sampai sekarang pun, nyaris tak ada sama sekali kebijakan bersengaja dan berpandangan jauh ke depan untuk melindungi jenis tanaman yang –oleh keberadaan muasal dan sifat alamiahnya– justru sangat patut menjadi salah satu ‘warisan alam dan budaya khas Nusantara’. Sama sekali tak ada konservasi, proteksi atau subsidi. Bahkan pembinaan yang sangat elementer pun alpa, misalnya, dalam hal kebutuhan perbaikan teknis budidaya, perluasan lahan, penyediaan bibit, sampai ke penyediaan prasarana dan sarana khusus untuk kelancaran tataniaga yang lebih menguntungkan bagi petani lokal.

Apalagi dalam hal pengembangan. Para anggota tim ekspedisi ini menemui kesulitan, jika tak ingin disebut gagal, menemukan para peneliti dan pakar khusus di bidang percengkehan, bahkan di kampus-kampus perguruan tinggi atau lembaga-lembaga penelitian di jantung daerah penghasil cengkeh utama itu sendiri. Kecuali segelintir peneliti dan pakar sejarah ekonomi dan politik rempah-rempah secara umum, sumber-sumber informasi di Universitas Hasanuddin di Makassar, Universitas Tadulako di Palu, Universitas Sam Ratulangie di Manado, Universitas Khairun di Ternate, dan Universitas Pattimura di Ambon, menggelengkan kepala jika ditanyai tentang keberadaan pakar khusus mengenai tanaman cengkeh atau pala. Seorang dosen Fakultas Pertanian Universitas Pattimura di Ambon(4) juga mengakui belum ada seorang pun rekannya, termasuk dirinya sendiri, yang secara terus-menerus dan tekun melakukan riset dan pengembangan tanaman cengkeh. Para mahasiswa Fakultas Pertanian –yang umumnya semakin berkurang jumlahnya dan kian jadi minoritas di beberapa perguruan tinggi tersebut– juga tak ada yang mengaku berminat melakukan riset untuk menjadi pakar khusus mengenai cengkeh di masa depan. Dibandingkan dengan berbagai jenis tanaman perdagangan atau tanaman industri lainnya –terutama kayu dan selama beberapa tahun juga kelapa sawit dan kakao– riset-riset ekosistem, agronomi, dan biokimia tentang cengkeh nyaris tak pernah terdengar, termasuk riset pengembangan produk olahan dari bahan baku cengkeh. Padahal, misalnya, kebutuhan zat eugenol dari cengkeh –sebagai bahan baku untuk pengobatan dan penahan rasa sakit– sebagian besarnya masih diimpor. Bahkan, cengkehnya itu sendiri, sampai sekarang pun, sebagiannya masih tetap diimpor.

Lebih ironis lagi adalah fakta bahwa hampir semua pemerintah daerah penghasil cengkeh utama cenderung semakin mempersempit ruang hidup tanaman yang justru pernah mengharumkan nama daerah mereka. Dengan satu perkecualiaan di Sulawesi Utara, khususnya wilayah Minahasa sebagai penghasil cengkeh terbesar sejak beberapa tahun terakhir, luas lahan tanaman cengkeh semakin terancam oleh konsesi-konsesi besar baru pertambangan dan perkebunan besar kelapa sawit, terutama di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Maluku. Peneliti hukum dan sejarah Maluku Utara(5)  bahkan dengan tegas mengakui bahwa pemerintah daerahnya belum pernah mengeluarkan satu peraturan daerah pun, khusus untuk perlindungan dan pelestarian tanaman cengkeh. Selain melupakan sejarah masa lalu, pemerintah di daerah-daerah tersebut tak tergerak oleh fakta bahwa ratusan ribu warga mereka, para petani lokal, sampai sekarang pun masih sangat bergantung kehidupan dan kesejahteraannya dari cengkeh. Salah satu ungkapan populer yang ditemui di mana-mana pun di daerah itu adalah: “Anak saya bisa jadi sarjana karena cengkeh…”. Atau, seperti kata Pak Tua Yan Kulinog, salah seorang perintis pertama perkebunan cengkeh di pedalaman Minahasa: “Tahun 1977, hanya dengan 250 kilogram cengkeh, saya sudah membeli mobil Datsun, sedan pertama di daerah ini waktu itu….”(6)

Lagi-lagi ironis. Tak banyak dari anak-anak yang dibesarkan oleh hasil tanaman cengkeh orangtua mereka itu yang akhirnya memilih untuk melanggengkan usaha tani cengkeh. Sebagian besar mereka malah menjadi pegawai negeri sipil, menjadi bagian dari mesin birokrasi yang justru makin tak akrab dan kian melupakan cengkeh.

Catatan-catatan dan gambar-gambar yang terangkum sepanjang buku ini menegaskan semua ironi tersebut. Meskipun lebih merupakan sketsa-sketsa ringkas –sesuatu yang disengaja untuk membuatnya lebih mudah dicerna oleh semua kalangan– tulisan-tulisan dan gambar-gambar itu menampilkan banyak hal yang mencengangkan, menghentak, kadang menggetarkan. Tulisan-tulisan dan gambar-gambar itu merekam nuansa sejarah perkembangan cengkeh dalam beragam aspek dan dimensinya, menggugah kembali kesadaran kita tentang salah satu warisan alam kita yang sangat berharga. Agar kita tak terusan-terusan menjadi pecundang, tertulah serapah para leluhur: “Bak pungguk merindukan bulan, punai di tangan dilepaskan”!

Haruku, 24/09/2013.

  1. Beberapa sumber menyebutkan bahwa kata ‘cengkeh’ dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Mandarin, tkeng-his atau xi’jia, yang berarti ‘rempah [berbentuk mirip] paku’ (scented nails). Ini menunjukkan bahwa cengkeh sudah dikenal sejak lama oleh bangsa Cina –diketahui sejak abad-2– jauh sebelum orang Eropa mengenalnya ((lihat, misalnya: Brierly, 1994).
  2. Catatan-catatan para biarawan Fransiskan –yang disalin dan dikutip oleh van Frassen– bahkan menyebut cengkeh sebagai salah satu bahan utama pengawet mumi para Fir’aun, penguasa Mesir Kuno. Beberapa pakar sejarah dan arkeologi menyatakan bahwa rempah-rempah Maluku bahkan sudah ditemukan artefaknya di Lembah Mesopotomia (wilayah Iraq dan sekitarnya sekarang) pada 3.000 tahun sebelum Masehi. (lihat, antara lain: Brierly, 1994).
  3.  Uraian lebih rinci sejarah kolonialisme rempah-rempah Nusantara ini, terutama oleh Belanda dan Portugis, dapat dibaca pada beberapa sumber kepustakaan yang sudah dikenal luas, antara lain: Glamann (1958) dan Boxer (1965 dan 1969). Dalam risalah klasik Pires disebutkan bahwa pada tahun 1512-1521 saja, jumlah produksi cengkeh di Maluku sudah mencapai 7.250 bahar per tahun, terbesar adalah di Makian serta Amboina dan Lease (masing-masing 1.500 bahar)(Pires, 1512-1515).
  4.  Dr. Dominggus Male, pers.comm,, 28 Agustus 2013.
  5. Dr. Sahril Muhammad, wawancara tanggal 16 September 2013, di Ternate.
  6.  Wawancara tanggal 5 September 2013, di Desa Wioi.

PUSTAKA

  • Blair, Lawrence & Lorne Blair (2010), Ring of Fire: An Indonesian Odissey. Singapore: Periplus.
  • Boxer, Charles R. (1965), The Dutch Seaborne Empire 1600-1800. New York: Alfred A.Knopf.
  • ——– (1969), The Portuguese Seaborne Empire 1415-1825. New York: Alfred A.Knopf.
  • Brierley, Joanna H. (1994). Spices: The Story of Indonesia’s Spice Trade. Oxford: Oxford University Press.
  • el-Guyanie, Gugun, et.al. (2013): Ironi Cukai Tembakau: Karut-marut Hukum & Pelaksanaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau. Jakarta: Indonesia Berdikari.
  • Glamann, Kristof (1958), Dutch Asiatic Trade 1620-1740. Den Haag: Martijnus Nijhoff.
  • Hanusz, Mark (2000), Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarette. Jakarta: Equinox.
  • Pires, Tomé (1512-1515), Suma Oriental: que trata do Mar Roxo até aos Chins, Lisboa (compiled with the Chronics of Fransisco Rodriguez by Armando Cartesão in 1944 and reprinted in London for the Hakluyt Society).
  • Topatimasang, Roem, ed. (2004), Orang-orang Kalah: Kisah Penyingkiran Masyarakat Adat Kepulauan Maluku. Yogyakarta: INSISTPress.
  • ——–, Roem, et.al., eds., (2010), Kretek: Kajian Ekonomi dan Budaya Empat Kota. Yogyakarta: Indonesia Berdikari.

*Roem Topatimasang dalam pengantar buku: Ekspedisi Cengkeh/ Puthut EA, dkk/ Ininnawa & Layar Nusa, 2013.