Review buku “Memahami Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga”

Memahami Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga

Menurut Peter Worsley (2000:1095) dalam Ensiklopedia ilmu-ilmu sosial, istilah Dunia Ketiga pertama kali diperkenalkan oleh Alfred Sauvy. Dia adalah seorang ahli demografi prancis untuk menggambarkan Negara-negara bangsa yang baru bermunculan diakhir perang dunia kedua terutama di asia dan afrika. Namun istilah tersebut kian menjadi populer setelah kosolidasi Negara-negara anti kolonialisme yang dicetuskan melalui konferensi asia afrika (KAA) 1955 di Bandung, yang kemudian disusul oleh negara-negara Amerika latin. Ada banyak istilah yang sering dilekatkan dengan Dunia Ketiga ini misalnya; Negara pasca-kolonial, Negara-negara non-blok, Negara-negara terbelakang, Negara-negara selatan, kelompok 77 dan sebagainya.

Oleh karena itu, setelah babak pembangunan mulai berkuasa melalui Negara (state led development), yang terjadi di Negara-negara dunia ketiga setelah pecahnya Uni-Soviet dan runtuhnya tembok Berlin didecade akhir abad 20an adalah semakin berkuasanya dominasi Neoliberalisme yang terapkan oleh Negara-negara pemenang. Neoliberalisme ini dipicu dan dipompa oleh perusahaan-perusahaan transnasional, Negara-negara kapitalis  dan badan-badan pembangunan internasional yang dibentuk atas inisiatif politik ekonomi Negara-negara maju dalam memberikan bantuan sekaligus mengontrol Negara-negara Dunia ketiga.

Dominasi kapitalisme terhadap perekonomian di Dunia Ketiga tersebut sampai pada ranah pedesaan dengan menguasai sektor-sektor pasar dan moda produksi pertanian. Sehingga menimbulkan ketidakberdayaan petani dalam memproduksi, mendistribusikan dan menentukan harga komoditi serta penguasaan lahan pertaniannya. Ketidak berdayaan tersebut dinilai sebagai bentuk penindasan yang dilakukan terhadap petani. Oleh karena itulah, sehingga medorong terjadinya perlawanan melalui pemberontakan-pemberontakan terhadap pemegang kuasa sektor ekonomi politik yang tidak lain adalah korporasi-korporasi dan Negara.

Meskipun penindasan atas suatu golongan rakyat di pedesaan Dunia ketiga bukanlah cerita baru. Demikian juga dengan perlawanan terhadap penindasan tersebut. Bagi sejarawan pedesaan dunia ketiga, penindasan dan perlawanan ini telah mengisi wajah pedesaan yang menentang dari dulu hingga sekarang. Setelah feodalisme ditaklukan dan kehilangan kuasa utama di pedesaan, para penguasa kapitalis dan Negara colonial telah menjadi sumber penindasan dan perlawanan itu.

Hasil studi beberapa tokoh seperti Barington Moore (1966:457) dalam karya klasiknya “social origin of dictatorship and democracy” yang menyatakan bahwa moderenisasi itu sebagai derajat dan bentuk yang khas dari komersialisasi  dapat memicu dan membuka kemungkinan terjadinya pemberontakan petani melawan kelas-kelas diatasnya. Sementara itu Eric R. Wolf (1969), Joel Migdad (1974), Jaime Paige (1975), James Scott (1976), dan Samuel Popkin (1979) menelusurinya pada pada konteks makro struktural  yang mendorong pembentukan gerakan petani. Mereka beranggapan bahwa, dari setiap gerakan yang dilakukan oleh petani tersebut selalu ada perubahan sosial kemasyarakatan yang lebih luas melingkupinya dan bahkan keduanya memiliki hubungan yang saling mengikat (entangled).

Beberapa bentuk gerakan perlawanan di Dunia Ketiga tersebut dilakukan dengan berbagai metode, yang tentunya didasarkan pada kondisi sosial politik di Negaranya masing-masing. Seperti yang terjadi di Brazil, dimana Movinto Dos Trabalhadores Rurais Sem Terra (MST) atau pergerakan pekerja pedesaan melakukan perlawanan terhadap kapitalisme dengan menerapkan aplikasi ilmu sosial modern, yakni berpartisipasi dalam pembangunan dengan menetapka tujuan-tujuan yang kongkrit dan berjangka waktu dengan merundingkannya dengan pihak pemerintah tentang kuasa dan hak  yang mereka miliki dengan mengorganisir koperasi yang menguntungkan mereka.

Beda halnya dengan Brazil, di Meksiko gerakan rakyat pedesaan dimotori oleh Eljercito Zapatista de Liberacion Nacional (tentara pembebasan nasional Zapatista-EZLN). Gerakan Zapatista ini merupakan revitalisasi semangat Emilio Zapata yang tidak lain adalah pahlawan petani meksiko yang memperjuangkan reforma agrarian di Meksiko dengan keuatan pasukan bersenjata dan massa disepanjang revolusi 1910-1917. Gerakan tersebut dipicu oleh kegagalan gerakan tani yang dilakukan secara terus menerus terhadap neolatifundismo sebelumnya, akan tetapi ekspansi kapitalisme dalam bentuk penguasaan tanah ejido terus berlangsung dibawah presiden yang berganti-ganti namun dengan partai penguasa yang sama yakni Partai Revolusi Institusonal (PRI). Sehingga menimbulkan pemberontakan Zapatista yang menimbulkan perubahan sosial politik yang menempatkan sebagai sebuah kekuatan yang diperhitungkan seperti dengan adanya dewan yang bertemu mingguan dalam membahas masalah kerja sosial dan uang rakyat.

Lain halnya dengan gerakan yang dilakukan di Negara-negara sebelumnya, petani pedesaan di Ecuador melalui bendera pelangi, the confederation of indigenious nationalities of Ecuador (CONAIE) puluhan ribu masyarakat adat melakukan demonstrasi dalam menentang kapitalisme dengan berkeliling di kota Qoito, ibukota Ecuador. Gerakan perlawanan ini dimaksudkan untuk menandingi pandangan umum bahwa mereka adalah warga Negara kelas dua dan pandangan bahwa orang-orang Indian pasif dan tidak mampu untuk merangkal moderenitas dan apolitis.  Namun konstruksi akan identitas yang ditujukan untuk menegaskan klaim-klaim tanah dan hak politik para konstituen mereka dalam mendefenisikan kembali pemahaman merejka tentang kewarganegaraan dan kekayaan nasional berhasil mentransormasi dan menandingi pemahaman resmi tentang kewarganegaraan versi pemerintah.

Gerakan lain terjadi di Afrika Selatan, yakni dilakukan oleh Landless People’s Movement (LPM) dalam melawan rasisme setelah rejim apartheid tumbang. Gerakan dilakukan atas tanggapan rakyat tidak bertanah atas kegagalan land reform pemerintah pasca apartheid yang mengubah struktur penguasaan tanah yang sangat timpang. Mereka menggunakan pertemuan-pertemuan dunia dalam menggemakan tuntutan dan kritik mereka. Waktu diselenggarakan the world conference against racism (WCAR) tahun 2001, mereka menggencarkan kampanye “Landlessness=Racism” dan begitu pula sewaktu The Summit on Sustainable Development (WSSD) tahun 2002 mereka menyelenggarakan “Week of the Landless” yang langsung diiringi dengan demonstrasi  berjalan oleh puluhan ribu orang ketempat konferensi berlangsung. Sehingga mulai saat itu mereka berkoalisi dengan kelompok anti neoliberalisme yang juga menentang kehadiran dan pengaruh badan-badan pembangunan multilateral seperti Bank Dunia, IMF dan Negara-negara Barat serta perusahaan-perusahaan transnasional yang mencanangkan program the new partnership for africa’s development (NEPAD).

Gerakan lainnya lagi terjadi di Zimbabwe, yang dilakukan dengan pendudukan tanah dengan maksud untuk mengambil kembali tanah mereka yang telah dicuri. Gerakan ini juga dipicu oleh ketidakadilan yang jauh terbentuk sejak masa colonial, namun ekspresi berkembangnya didasarkan atas kondisi politik yang terjadi yang perubahannya terjadi diluar dari gerakan itu sendiri, mengingat Zimbabwe baru merdeka pada tahun 1980. Aksi- aksi langsung menduduki dan menggarap tanah milik pengusaha kulit putih oleh para veteran perang yang tidak memiliki tanah, miskin dan menjadi buruh semasa colonial. Yang secara historis penuh dinamika dalam kepemilikan tanah tersebut, yakni dibabak land reform berdasarkan mekanisme pasar yang dianjurkan oleh pemerintah inggris pemerintah membeli semua tanah milik pengusaha pertanian komersil kulit putih untuk di distribusikan kepada mereka yang tidak bertanah, veteran perang, orang miskin dan para buruh yang bekerja di pertanian komersil dengan menggunakan uang Negara. Namun hal ini tidak tercapai sehingga menimbulkan ketimpangan dan pembelahan kelas serta menjadi problem utama dimasa kemerdekaan (Moyo 2001). Sehingga pengalaman ini member kesan bahwa land reform adalah masalah politik yang melibatkan actor mulai dari yang sangat local, nasional hingga internasional.

Gerakan lainya terjadi di India yang dilakukan oleh Narmadha Bachao Andolan (NBA) dalam menolak kehadiran Waduk di desa mereka. Perlawanan ini berlangsung selama 15 tahun yang diorganisir sejak tahun 1985 oleh NBA yang terdiri atas aktifis-aktifis yang gigih, berpendidikan tinggi dan professional dengan menjalankan keputusan-keputusan pokok gerakan mengenai sumberdaya, strategi, dan politik.  P. Routledge (2003) dalam “voices of the dammed: discursive resistence amidst erasure in the narmada valley, India” telah sangat baik melukiskan bagaimana pembangunan dipersepsikan sebagai pengenyahan, baik pengenyahan ekonomi, pengenyahan ekologis, pengenyahan budaya dan pengenyahan politik. Oleh karena itu NBA melancarkan dua bentuk perjuangan yang saling terkait, pertama: mereka melancarkan perjuangan representasional mengenai makna proses-proses semacam demokrasi dan pembangunan yang dilakukan dengan perang kata-kata seperti kesaksian, lagu, syair, narasi (slogan-slogan) serta analisis rinci tentang dampak waduk dan alternative-alternatif pembangunan berkelanjutan, dan kedua: melencarkan perjuangan riil atas tanah dan sumberdaya air tempat pendudukan lembah berjuang untuk melindungi tanaman pangan dan penghidupan subsisten mereka, serta budaya mereka dari eksploitasi dan pengenyahan. Ini dilakukan dalam bentuk konflik intitusional dan ekstrainstitusional serta aneka bentuk aksi langsung non-kekerasan mulai dari demonstrasi dan pawai, perkemahan dan pendudukan satyagraha, puasa serta mogok makan.

Gerakan lainnya juga terjadi pada masyarakat petani pedesaan di Thailand, melalui Assembly of the Poor (AOP). Gerakan ini dilakukan atas dampak dari revolusi hijau yang menimbulkan krisis dengan beban hutang petani yang tinggi dan semakin besarnya ketergantungan mereka kepada pemberi hutang yang juga adalah makelar perdagangan serta hutang ini mereka harus bayar dengan bunga yang tinggi dan mencekik para petani. AOP dibentuk pada desember 1995, semasa kampanye besar-besaran menyuarakan masalah rakyat pedesaan yang menjadi korban politik pembangunan pemerintah. Mereka menggunakan kesempatan pertemuan tingkat tinggi tingkat ASEAN (the ASEAN summit) di bulan desember 1995 itu guna merensonasikan tuntutan agar pemerintah Thailand mengubah kebijakan pembangunannya agar lebih tepat untuk orang miskin dengan mengakui hak-hak rakyat untuk mengelolah sumberdaya alamnya, mendensentralisir kewenangan pada organisasi-organisasi local, mengubah sistem politik agar sejalan dengan konsep pembangunan berpusat pada rakyat (people sentred development), mengamandemen undang-undang agar cocok dengan prinsip pembangunan berwawasan lingkungan, mengakui dan mendukung partisipasi organisasi rakyat dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek-proyek pembangunan. Selain itu mereka juga melakukan protes sosial berupa demonstrasi dan kampanye “desa kaum miskin” yang menyimbolkan krisis pedesaan.

Selain gerakan-gerakan diatas, gerakan lainnya juga terjadi di Filipina yang dilakukan oleh Pambansang ugnayan ng Nagsasriling Lokal na mga Samahang Mamamayan sa Kanayunan (UNORKA) yang dimaksudkan untuk menekan pemerintah dalam melaksanakan Land Reform dengan menggunakan strategi ganda; tekanan dari massa rakyat di bawah dan inisiasi kebijakan pemerintah yang reformis. Sebagaimana yang dijelaskan dalam karya Salvador H. Veranil (2005:272-273) bahwa “dominasi tuan tanah menjadi konteks dan objek dari mobilisasi-mobilisasi UNORKA dalam mereaksi perlakuan kasar dan tidak manusiawi dari para tuan tanah dan dengan demikian diarahkan untuk menyasar tanah-tanah milik tuan tanah tersebut. Selain okupasi tanah secara langsung melawan para tuan tanah, UNORKA juga secara berulang-ulang menggecarkan rapat-rapat umum, demonstrasi, dan juga melakukan aksi menyegel kantor-kantor pemerintah dalam rangka menekan departemen pembaruan agrarian (depertment of agrarian reform) untuk mewujudkan tuntutan mereka.

Untuk konteks gerakan lainnya juga terjadi di Indonesia, yang dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Gerakan ini muncul atas protes yang dilakukan oleh komunitas adat nusantara dalam memperjuangkan masyarakat adat yang komunitas-komunitasnya hidup berdasarkan asal usul leluhur secara turun temurun diatas wilayah adat, memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga-lembaga adat sebagai pengelolah keberlangsungan hidup mereka. Selain itu juga karena dipicu oleh berbagai model proteksi Negara dicetuskan melalui pelbagai UU seperti, UU No. 5 tahun 1960, UU No. 5 tahun 1967, UU No. 11 tahun 1967 yang mendasarkan diri pada konsep penguasaan Negara dalam mengambil alih kedaulatan masyarakat adat atas tanah dan kekayaan alamnya. Sehingga menimbulkan berbagai permasalahan diberbagai aspek yang menempatkan masyarakat sebagai orang-oramg yang tidak berdaya dan Negara sebagai pemegang control utama atas kesemuanya. Sehingga menimbulkan gerakan perlawanan masyarakat adat nusantara yang awalnya dilakukan secara diam-diam, hingga sekarang sudah tampil secara terbuka dengan cara bergerak yang hight profil (Moniaga 2003), yang dijiwai oleh semboyan “kalau Negara tidak mengakui kami, kamipun tidak akan mengakui Negara”. Bentuk gerakan yang dilakukan tersebut sudah merembes berbagai pelosok nusantara dengan berjuang bersama komunitas adat untuk melakukan klaim, baik pendudukan kembali atas tanah adat dengan berbagai kekayaannya maupun dengan aksi-aksi negosiasi yang berkenaan dengan hal tersebut.  Selain itu, AMAN juga sudah menjelajah ke arena internasional bersama dengan organisasi sejenisnya untuk memperjuangkan eksistensi dan hak-hak indigenious people.

Berangkat dari sepuluh gerakan perlawanan dengan metodenya masing-masing, hingga dipandang perlu untuk melakukan analisis dari berbagai faktor terkait dengan gerakan perlawanan tersebut. Namun jika kita memperhatikan berbagai gerakan diatas dengan dalil yang sebagaimana Scott, Popkin dan Paige bahwa dari setiap gerakan yang dilakukan oleh petani tersebut selalu ada perubahan sosial kemasyarakatan yang lebih luas melingkupinya dan bahkan keduanya memiliki hubungan yang saling mengikat (entangled). Maka kita bisa mengerti tentang peran besar kapilaisme yang merubah seluruh aspek terkait dengan masyarakat pedesaan yang dulunya memiliki kedaulatan penuh atas tanah dan sumberdaya disekitarnya. Sehingga menimbulkan terjadinya gerakan sosial pedesaan yang dimaksudkan untuk melawan dominasi kapitalisme tersebut. Selain itu kapitalisasi ganda yang diterapkan didunia ketiga melalui bentuk-bentuk konvensional dari usaha produksi kapitalis yang memproletarisasi kaum petani dan merusak lingkungan sejak dua puluh tahun lalu telah berubah bentuk menjadi kapitalisasi alam berupa proyek-proywk konservasi wilayah yang didanai oleh Negara dan bantuan hibah dalam bentuk utang dari badan-badan internasional ataupun Negara-negara Barat.

Dengan demikian, maka tidak perlu kita heran dengan pendapat bahwa usaha dari badan-badan internasional yang memperjuangkan dan membiayai penetapan kawasan-kawasan konservasi di Dunia Ketiga dijuluki dengan istilah “ conservation industry” atau istilah yang berusaha mengingatkan orang akan watak kapitalisme. Oleh karena itu, sangat penting bagi gerakan sosial untuk menyadari bagaimana diaturnya dan proses manajemen internalisasi dari alam, komunitas local dan pengetahuan yang tadinya eksternalisasi dari produksi. Sehingga komponen gerakan juga harus membentuk suatu strategi politik tertentu agar penduduk local dapat mempertahankan wilayah, budaya dan identitas yang melekat pada kelompoknya. Karena pelaku gerakan-gerakan sosial juga harus mengingat bahwa watak dasar egoistic dari peruhaan kapitalisme transnasional  itu adalah bagaimana menciptakan situasi hingga kondisi mendukung dirinya namun berbeda cara kerjanya. Sehingga hal yang mereka lakukan adalah dengan mendesak Negara dunia ketiga untuk mereformasi Negaranya agar dijadikan sebagai kekuatan pendukung proses transaksi dan investasi pasar. Selain IMF, Bank Dunia juga adalah actor penting yang pada dasarnya sebagai lembaga pemberi utang multilateral.

Meskipun kondisi yang menyedihkan dihadapi oleh Negara Dunia Ketiga, namun hampir semua pengamatan terhadap gerakan-gerakan rakyat Dunia Ketiga menunjukan bahwa perubahan politik nasional mempengaruhi bagaimana sususan kekuasaan di pedesaan dipertarungkan, khususnya kekuasaan yang berbasis pada penguasaan tanah. Seperti yang di nyatakan oleh Jonathan Fox (1990:1) bahwa distribusi kekuasaan pedesaan dinegara-negara yang sedang berkembang ikut membentuk dan dibentuk oleh politik nasional. Sehingga turut merubah tatanan gerakan-gerakan sosial di pedesaan. Perubahan tatanan tersebut turut memicu perubahan wajah organisasi non pemerintah dalam meprakarsai gerakan-gerakan sosial dipedesaan. Dari organisasi non pemerintah yang memihak pada gerakan rakyat juga melahirkan organisasi non pemerintah yang anti gerakan rakyat.

Perubahan tersebut, mengakibatkan terjadinya perubahan defenisi terhadap pemimpin petani yang dulunya melakukan gerakan atas dasar moral dan keguncangan kondisi sosial yang mendorongnya dan sekarang berubah menjadi pemimpin yang organisasi dan basis pengetahuan yang hebat seperti aktifis kota. Seperti yang dikemukakan oleh James Petras (1997) bahwa suatu generasi baru petani yang terdidik muncul dan berkembang lebih dari sepuluh tahun terakhir ini dengan kemampuan organisasi yang handal dan pemahaman politik internasional dan nasional yang canggih untuk menciptakan kader yang tangguh. Namun bukan hanya hal ini saja yang berubah, akan tetapi juga pada persoalan komposisi jenis kelamin yang turut menempatkan perempuan sebagai tokoh gerakan petani abad ini. Sehingga dalam hal ini saya sepakat bahwa kita bisa menemukan berbagai aksi-aksi kolektif yang dilakukan oleh berbagai pelaku utama dengan masing-masing pendukukngnya dibentuk dan bekerja untuk berhadapan dengan: pertama, kekhususan pergelaran kuasa yang dihadapi dan objek yang dipertarungkan, kedua, kekhususan kesempatan politik yang dimanfaatkan, termasuk arena-arena pertarungan yang dimasukinya. Sehingga karakterostik baru ini; pelaku, aksi kolektif, pergelaran kuasa yang dihadapi dan kesempatan politik yang dimanfaatkan telah membuat kita tidak lagi semata mengandalkan pandangan-pandangan klasik mengenai petani dan argument yang menjelaskan mengenai pemberontakan petani untuk memahami dan menjelaskan gerakan gerakan rakyat pedesaan kontemporer.

Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga

Rakyat dengan Identitasnya sendiri: Menuju sebuah Politik Kebudayaan Pembangunan di Amazonia Ecuador.

            Dengan berbagai intrik, pemujaan, dan kritik yang dipikat oleh kegiatan pembangunan dapat dilekatkan pada fakta bahwa pembangunan ditafsirkan dengan berbagai perspektif dan cara yang terkadang saling berkontradiksi diantara kesemuanya. Namun oleh Bank Dunia IMF, pembangunan ditafsirkan sebagai upaya untuk penghapusan kemiskinan dan upaya pemberdayaan dan membebaskan masyarakat yang tidak mampu. Meskipun para penganut aliran kiri mengritik bahwa upaya tersebut hanya sebagai alat hegemoni barat dalam menjeret Negara Dunia Ketiga ke arus utang yang membuat mereka terperengkap dalam cengraman global. Selain itu, sejak awal tahun 1990 para tokoh anti pembangunan juga telah menggambarkan bagaimana terjadinya upaya-upaya yang buruk dari kegiatan pembangunan dan dampaknya bagi Dunia Ketiga yang bermuara pada depolitisasi, pelucutan keberdayaan, dan penghancuran kebudayaan-kebudayaan (Escobar, 1992; 1995; Sachs, 1992; Yapa, 1996a;1996b).

Ditengah perdebatan para tokoh mengenai pembangunan tersebut diatas, dan dengan berbagai konsep dan pendekatannya masing masing kali ini akan dicoba untuk melihat gerakan rakyat dalam memperjuangkan identitasnya untuk mewujudkan politik kebudayaan di Amazonia Ecuador. Gerakan tersebut dilakukan sebagai wujud nyata dari protes dan ketidaksepakatan mereka terhadap praktek pembangunan yang dinilai menempatkan mereka sebagai kaum yang tidak berdaya dengan berbagai pelekatan-pelekatannya. Gerakan ini dilakukan melalui organisasi-organisasi dengan melibatkan masyarakat Indian di Ecuador dalam melakukan praktek kelembagaan serta memproduksi wacana pembangunan yang dimaksudkan untuk memediasi pelaksanaan pembangunan, mengonstruksi identitas, dan mempertarungkan kekuasaan. Organisasi masyarakat adat tersebut bergerak dalam bidang politik dan kebudayaan yang menyajikan situs-situs kelembagaan yang menarik untuk dilakukan pengkajian kebudayaan dan pembangunan.

Kehadiran organisasi-organisasi politik dan kebudayaan masyarakat adat Ekuador ini berfungsi untuk melakukan proses pendampingan pada masalah pengkajian kebudayaan pembangunan. Organisasi adat yang pertama yang masuk dalam proyek pembangunan adalah FOIN bertujuan untuk memperbaiki penghidupan para anggota konstituennya dan membela hak-hak masyarakat adat tersebut atas status kewarganegaraan, sumberdaya dan teritori mereka. Selain itu juga harus membangun relasi kepada agen-agen Negara, ornop-ornop nasional dan internasional, lembaga-lembaga donor multilateral, dan juga dengan lembaga yang bergerak dalam bidang yang sama. Sebagai bentuk protesnya, Masyarakat adat dan organisasinya bersama-sama terlibat dalam modernisasi, nasionalisasi dan pembangunan yang lebih kompleks, terutama yang berkaitan nilai-nilai kebudayaan tradisional dan identitas berbasis masyarakat setempat untuk memahami gagasa-gagasan kewarganegaraan. Hal ini sangat penting untuk dijadikan dasar dalam  memahami strategi-strategi politik yang di ambil dan bentuk-bentuk organisasi sosial. Oleh karena itu meraka melakukan praktek pembangunan dengan memperhatikan relasi dengan jaringan-jaringan kerja internasional serta merundingkan proses kebijakan pembanguanan dan mewujudkan transformasi sosial.

Namun seiring berjalannya waktu, para pemimpin-pemimpin FOIN ini sering kali memberikan pernyataan yang bukan representasi dari masyarakat adat terutama mengenai keseluruhan kebudayaan Quichua. Meskipun demikian, namun tidak merubah peran serta FOIN dalam memberikan gambaran yang difungsikan untuk melihat cara-cara federasi dalam memediasi upaya dan praktek pembangunan serta transformasi kebudayaan. Hal ini memberikan penjelasan tentang gagalnya ideologi dominan demokrasi dan kewarganegaraan di Ekuador dalam menciptakan keterlibatan dan partisipasi masyarakat adat. Selain itu, hal ini juga memberikan fakta bahwa telah terjadi sumbangan peningkatan dalam partisipasi simbolis melalui politik non-parlementer. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Carlos de la Torre (1995) dalam menjelaskan kewarganegaraan di Ekuador telah terkonseptualisasikan secara sempit dalam memberikan hak pilih dan hibah-hibah terbatas pada tunjangan Negara. Walaupun sebenarnya Pemerintah sudah melakukan itu dengan melibatkan kelompok-kelompok masyarakat adat dan Afro-ekuador pada tahun 1998 dalam upaya untuk perluasan proses-proses politik dalam meningkatkan partisipasi yang lebih besar daripada sebelumnya, namun setelah ditemukan fakta bahwa agenda tersebut hanya dalih dari pemerintah dan mereka masih belum bisa mengubah kekuasaan ekonomi dan politik oligarki yang sangat kuat dan tidak bisa tergoyah tersebut. Sehingga hal ini kemudian yang menjadikan krisis ekonomi dan politik di Ekuador semakin parah yang terjadi pada Januari 2000 dan februari 2001.

Oleh karena itu, masyarakat adat yang dipimpin oleh CONAIE, mahasiswa, dan buruh melakukan demontrasi turun kejalan untuk melakukan protes atas terjadinya krisis ekonomi di Ekuador tersebut. Selain itu, mereka juga melihat bahwa permasalahan yang menempatkan mereka sebagai komunitas yang tidak berdaya merupakan dampak dari adanya bantuan dari IMF yang dianggap hanya untuk menghisap mereka dan saja bukan upaya untuk memberikan bantuan. Protes tersebut juga mempertanyakan lembaga-lembaga demokrasi, dan kemampuan negara dalam mengupayakan bahwa rakyat yang menjadi prioritas utama dari Negara. Selain ityu, mereka juga menyoroti konseptualisasi tentang negara dan mendiskusikan kembali makna kewarganegaraan sendiri bagi masyarakat Ekuador.

Dalam konteks ideologi kontemporer tentang nasionalisme dengan dibentuknya Quichua modern yang dimaknai sebagai identitas regional dan menyatukan masyarakat yang terbentuk oleh negaranya sendiri bukan karena ada campur tangan dari bangsa asing/luar. Konstruksi yang di bangun oleh FOIN tersebut merupakan identitas yang dihasilkan oleh pembangunan ekonomi dan dimaksudkan untuk modernisasi yang besar ini ditunjukkan untuk mengklaim tanah dan hak-hak politik para anggota konstituen dan juga sebagai upaya untuk mendefinisikan kembali makna kewarganegaraan dan kekayaan nasional. Gambaran di atas tersebut merupakan bentuk yang dirujuk Pratt (1994) sebagai otoetnografi yang berfungsi untuk mengontrol dan menanggapi narasi dominan serta obyektifitas dari pengetahuan. Oleh karena ungkapan yang dikeluarkan oleh FOIN merupakan mediasi dan dan intervensi ke dalam wacana-wacana hegemonik  modernisasi nasionalis, enviromentalisme dan etnisitas. Selain itu, hal yang dianggap penting disini adalah memasukkan diskursus tentang dominasi pembangunan dan kewarganegaraan untuk bisa mendiskusikan kembalu temuaan mengenai masyarakat adat. Sehingga proses pembangunan juga bisa dimaknai sebagai pembentukan organisasi yang difungsikan sebagai mesin dan  anti politik untuk langkah aksi politisasi dan perlawanan dari masyarakat adat sebagaimana keberhasilan FOIN dalam memperjuangkan masyarakat suku Indian di Ekuador.***

[Bogor, 30 April 2015.]

*Sumber:  bonerateislands.wordpress.com – 30 April 2015.

*Rehal buku: Memahami Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga •Penulis: Noer Fauzi •Penerbit: INSISTPress •Edisi: I, Juli 2005.