Mengkaji Televisi dan Media Indonesia Pasca Orde Baru

Mengkaji Televisi dan Media Indonesia Pasca Orde Baru*

Pasca-Orde Baru, kuasa negara dalam mengatur industri media jatuh ke tangan kaum oligarki. Mereka menentukan selera busana dan mendikte cara mengisi waktu luang. Memilihkan presiden dan mengarahkan ke mana kebijakan publik harus bermuara. Media tidak saja hidup sebagai bagian dari ekosistem, ia telah menjadi order. Ia memerintah dan berkuasa, di mana rakyat dinilai sekadar sebagai pasar.

Ada 37 tulisan yang mengkaji televisi dan media di Indonesia pasca orde baru. Semuanya tertuang dalam sebuah buku berjudul Orde Media. 37 kumpulan tulisan dalam Orde Baru merupakan tulisan yang telah terbit di situs remotivi.or.id dalam kurun waktu 2010-2015. Buku ini diterbitkan Remotivi, sebuah lembaga studi dan pemantauan media. Cakupan kerjanya meliputi penelitian, advokasi, dan penerbitan.

Tulisan yang yang dipilih Remotivi berdasarkan beberapa faktor, seperti ragam perspektif, representasi isu, dan mutu tulisan itu sendiri. Selanjutnya, tulisan dalam buku Orde Media dibagi kedalam empat bagian: jurnalisme, teks, konteks dan khalayak.

Pada bagian Jurnalisme misalnya, Roy Thaniago dalam tulisan berjudul “Jurnalisme Televisi dan Heroisme Simsalabim” mengulas sebuah buku yang ditulis Ishadi. Dalam bukunya yang berjudul Media dan Kekuasaan: Televisi di Hari-Hari Terakhir Presiden Soeharto, Ishadi berusaha menyorot peran yang dimainkan stasiun televisi swasta pada masa-masa kejatuhan Soeharto.

“Televisi swastalah yang ikut mendorong terjadinya proses Reformasi. Reformasi yang dipelopori mahasiswa dan berhasil melengserkan Soeharto itu berawal dari kiprah RCTI, SCTV, dan Indosiar yang semakin berani,” tulis Ishadi (hal. 127).

Sementara itu, pada bagian Teks, Ambar Arum dalam tulisan “Ada Untung di Balik Tangisan” mengatakan program acara Jika Aku Menjadi yang tayang di Trans TV, membentuk opini publik bahwa orang Jakarta melulu identik dengan bermobil dan hidup enak. Menurut Ambar, tayangan yang menggugah rasa kemanusiaan tidak akan dibuat kalau tidak memberi keuntungan banyak bagi stasiun televisinya.

Pembagian buku ini ke dalam empat bagian, diakui Remotivi bukan tanpa dilema. Hal ini bertujuan untuk penyederhanaan dan inkonsistensi kategorisasi. Meski begitu, Pendiri Remotivi, Roy Thaniago berpesan buku ini bebas ditafsir dengan cara apapun dan dibaca dengan urutan bagaimanapun. (*)

*Nurul Fildzah Zatalini | Sumber: PROFESI-UNM.COM – 18 September 2016.

*Rehal buku: Orde Media: Kajian Televisi dan Media di Indonesia Pasca-Orde Baru/ Yovantra Arief & Wisnu Prasetya Utomo/ INSISTPress & Remotivi, 2015.