Book Review: Bebas Dari Neoliberalisme

Book Review: Bebas Dari Neoliberalisme*

Neoliberalisme dan kemiskinan merupakan isu yang menjadi trend dalam satu decade terakhir ini. Kebijakan pemerintah yang ingin mengrurangi kemiskinan dengan menjalankan kebijakan Neoliberalisme merupakan sebuah kontra-produktif. Para penganut paham ekonomi neoliberalisme meyakini bahwa dengan kebijakan kompetisi bebas pertumbuhan ekonomi dapaat dicapai. Kemudian pasar bebas dimana harga yang akan menyusaikan dengan kondisi apakah barang tersebut tersedia atau langkah, bahkan pertimbangan apakah akan ada seseorang yang melakukan investasi atau tidak. Faktor tersebut akhirnya menandakan apakah sesuatu dapat di produksi atau tidak. Tentunya kebijakan ini tidak terlepas dari bimbingan invisible hand dimana setiap individu mendapatkan berkah dari keputusannya masing-masing. Ketika kekayaan terkumpul kepada segilintir orang, akan terjadi yang disebut trickle down ke masyarakat yang lain.

Tidak jauh berbeda dengan kebijakan ekonomi liberal sebelum terjadinya Great Depression pada tahun 1930, neoliberalisme hadir dengan wajah yang lebih baru. Great Depression dimana terjadi stagnasi pertumbuhan dan akumululasi kapital yang salah satunya akibat dari proteksi, keadilan sosial, kesejahteraan bagi rakyat, dan tradisi adat pengelolaan sumber daya alam berbasis rakyat dan sebagainya. Agar tidak mengulangi kesalahan yang sama kapitalisme kemudian hadir dan menggunakan strategi baru yakni mehinglangkan segenap rintangan investasi, pasar bebas, perlindungan hak milik intelektual, good governance, penghapusan subsidi dan program proteksi pada rakyat, deregulasi, dan penguatan civil society serta anti korupsi.

Bentuk dan pola penjajahan juga telah berubah. Negara yang pernah dijajah telah memasuki masa post-kolonial atau State Led-Development, modus penjajahan tidak lagi dilakukan secara langsung namun menggunakan teori dan ideologi. Masa ini dapat diliat dengan berbagai tanda, yang diantara lain kemerdekaan secara fisik, namun negara penjajah masih mendominasi dengan teori dan kebijakan perubahan sosialnya. Inilah sesungguhnya teori pembangunan yang menjadi alat dominasi bagi negara-negara penjajah untuk melanggengkan kekuasaan dan ketergantungan negara dunia ketiga. Dengan kata lain fase lanjutan dari penjajahan ini tidak lagi melalui penjajahan secara fisik, melainkan berupa hegemoni yakni dominasi cara pandang, ideologi, dan diskursus melalui produksi pengetahuan.

Kemudian developmentalisme sebagai sistem kapitalisme negara menjadi model pembangunan yang mengglobal. Teori pertumbuhan oleh W.W. Rostow diadopsi oleh era Orde Baru dengan tahapan-tahapan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman  menggunakan teori Rostow untuk menarik negara-negara yang pernah dijajah dan juga membendung perkembangan sosialisme-komunis pada masa Perang Dingin di tahun 1950an. Tetapi pada akhir 1980an State Led-Development ini mendapatkan tantangan pada masa Ronald Reagan menjabat sebagai Presiden AS. State Led-Development kemudian hancur pada tahun 1990an dan membawa korban negara-negara model yang menganutnya, negara Asia Timur dan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Tetapi anehnya, kegagalan dari State Led-Developmentdinyatakan karena alasan korupsi dan nepotisme, sehingga kepercayaan terhadap liberalisme terlegitimasi dan negara model yang dianggap bersalah.

Salah satu contoh model pembangunanisme pada era Orde Baru ialah Revolusi Hijau. Revolusi Hijau ini mempunyai dampak yang luar biasa terhadap lingkungan sekitar, sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat pada masa itu. Diskursus Revolusi Hijau dianggap sebagai modernisasi pengelolaan pertanian sehingga menggusur pengetahuan-pengetahuan yang tradisional yang non-positivistik. Mulai dari cara bertani berserta benih-benih dan formasi sosial nonkapitalistik berubah di pedesaan. Kaum perempuan pun tergusur dari pertanian karena dianggap bahwa hanya laki-laki lah pemimpin rumah tangga, akibatnya informasi tentang modernisasi pertanian hanya sampai ada kaum laki-laki saja dan tidak menyentuh kaum perempuan padahal kaum perempuan mempunyai andil yang sangat besar dalam perihal produksi khususnya selama musim panen. Tidak hanya pada manusia, lingkungan pun mendapatkan dampaknya. Di Jawa misalnya, selama 7 tahun revolusi hijau rata-rata per hektar penggunaan pupuk kimia naik 50% tiap tahunnya, sedang penggunakan pestisida naik dua kali lipa perhektarnya. Kedua hal ini jelas menghancurkan ekosismtem lingkungan pedesaan dan juga menceptakan ketergantungan.

Peran negara dalam pembangunanisme ialah menjadi komando segala kebijakan ekonomi. Pertembuhan ekonomi secara kuantitatif jangka pendek memang mampu mengatasi permasalahan produktivitas padi, tetapi agar memisahkan pandangan kita dengan redesionisme dan melihat secara jangka panjang, maka akan terdapat permasalahan-permasalahan. Dalam diskursis Revolusi Hiijau, pengatuahuan adalahpower maka penetahuan dan budaya petanipun dikontrol. Pengetahuan postivistik ini berhasil melakukan disempower atau menggusur pengetahuan mereka yang telah bertani selama ribuan tahun dan juga dampak yang telah disebutkan diatas.

Perkembangan ekonomi neoliberalisme yang ditandai dengan pembaharuan model ekonomi liberalisme tidaklah terlepas dengan perjalanan pemikiran lainnya. John Maynard Keyness adalah salah salah satu pemikir alternatif sejak terjadinya Great Depression. Keynes dengan gagasan nya full employment mengatakan bahwa buruh mempunyai peran strategis dalam perkembangan kapitalisme dan Bank Sentral juga mempunyai peran penting dalam pembukaan lapangan pekerjaan. Gagasan ini kemudian diadopsi oleh Presiden AS Roosevelt sebagai program New Deal dan dianggap berhasil karena berhasil mengeluarkan rakyat AS. Sejak itulah peran pemerintah dalam perekonomian dapat diterima lebih baik oleh masyarakat.

Tetapi bangkitnya peran negara dalam bidang ekonomi dan tenggelamnya paham neoliberalisme membuat korporasi-korporasi global ingin merebut dan mengembalikan sistem liberalisme. Hal ini disebabkan karena menurunnya pendapatan korporasi global sehingga melalui corporate globalization, mereka merebut kembali paham liberalisme bahkan dalam skala global.

Untuk melancarkan strategi neoliberalisme maka dibuatlah kesempatan konsensus yaituWashington Consenssus, kesepakatan dimana para pembela ekonomi privat terutama perusahaan-perusahaan besar yang ingin mengontrol dan menguasai ekonmi international dan dapat mempengaruhi opini secara global. Pada intinya paham neoliberalisme berdasarkan pertama, biarkan pasar bekerja dan lenyapkan kontrol atas harga, biarkan pasar bekerja tanpa distorsi. Kedua, kurangin pemborosan dengan memangkas semua anggara negara yang tidak produktif seperti subsidi untuk pelayanan sosial (pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial lainnya). Ketiga, deregulasi ekonomi karena batasan yang ada dapat mengakibatkan mengurangnya keuntungan. Keempat, keyakinan terhadap privatisasi, dengan alasan keyakinan terhadap persaingan bebas dan demi efisiensi dan mengurangi korupsi. Kelima ialah menghilangkan keyakinan gotong royong, kebersamaan, barang-barang publik dan digantikan dengan tanggung jawab individual.

Tentunya mitos-mitos tersebut ternyata tidak benar adanya. Pertama, bahwa dengan perdagangan bebas akan menjamin murahnya harga dan kelaparan tidak terjadi, kenyataannya perdagangan bebas malah menaikkan harga. Kedua, bahwa WTO dan Trans National Companys akan memproduksi pangan yang aman, kenyataannya TNCs menggunakan rekayasa genetika dan penggunaan pestisida dan racun kimia yang justru lebih membahayakan. Ketiga, kaum perempuan akan diuntungkan dengan pasar bebas, kenyataannya petani perempuan semakin tersingkir. Keempat, bahwa paten akan melindungi inovasi dan pengetahuan, kenyataannya paten dan hak kekayaan intelektual dibidang mikroorganisme selain melegalisasi malah mencuri keanekagraman hayati petani serta bibit dan menjualnya kembali. Kelima, bahwa perdagangan bebas akan dibidang pangan akan menguntungkan konsumen karena banyak pilihan dan harga murah, kenyataannya perdangangan bebas malah menguntungkan TNC dan memarginalkan negara Dunia Ketiga sehingga negara Dunia Ketiga tidak mampu lagi memenuhi kewajiban konstitusinya dalam bidang keamanan dan persediaan pangan.

Walaupun negara seperti Amerika Serikat sangat getol dengan upaya menegakkan kebijakan neolib namun pemerintah AS sendiri tidak sepenuhnya menjalankan kebijakan tersebut. Dengan kebijakan Farm Bill, pemerintah AS membantu perusahaan Agribisnis besar untuk memasarkan produk mereka yang pasarnya sudah mulai jenuh.

Setelah melewati tahap konsensus agar kebijakan neoliberalisme dapat lebih memaksa lagi maka diinstitusikanlah menjadi IMF, WTO, dan World Bank. Kebijakan ini tentunya juga masuk ke Indonesia, melalui kebijakan Strutctural Adjusmetnt Program pada tahun 1998 dengan “membantu Indonesia mengatasi krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997. Program tersebut tidak lain ialah paket kebijakan neoliberal yang mempunyai ciri-ciri yakni menghilangkan intervensi pemerintah, liberalisasi perdagangan, dan memperlancar arus modal asing.

WTO juga merupakan ancaman yang nyata pada kaum miskin dan masyrakat secara keseluruhan karena pertama, WTO lebih memprioritaskan nilai perdagangan dan komersilisasi sebagai nilai dasar dan mengabaikan nilai-nilai lain seperti keadilan sosial, kemanusiaan, maupun solidaritas sesama umat manusia. Kedua, WTO merupakan organisasi yang tidak demokratis yang lebih mementingkan TNCs. Ketiga, merupakan tatanan imprealisme global yang tidak hanya berkuasa untuk meregulasi ekonomi global, melainkan juga berkuasa mengatur secara aktif perdagangan, investasi global, serta berkuasa memfasilitasi perdagangan dan investasi global diatas pembangunan ekonomi.

Sangat beragam kebijakan Neoliberalisme yang menjadi ancaman terhadap umat manusia, kebijakan tersebut dapat berupa privatisasi. Dalam buku ini privatisasi yang dibahas ialah privatisasi atas Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Privatisasi sesungguhnya merupakan bagian dari corporate led-globalization dimana sistem ekonomi ini didesak oleh korporasi global. Kebijakan privatisasi dan komodifikasi layanan publik maupun kebijakan untuk komersialisasi dan privatisasi sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik komunal seperti air, udara, dan keanekargaman hayati dan genetika. Selain itu nyata kebijakan neoliberal tersebut lebih terlihat pada sektor kesehatan dimana setelah diprivatisasi maka selanjutnya disebut “Puskemas Mandiri” dan juga Perguruan Tinggi Negeri yang menggunakan istilah “Otonomi Kampus”.

Privatisasi secara umum dapat dimaknai sebagai proses sistematis untuk memindahkan status kepemilikan Badan Usaha Milik negara atau kekayaan publik lainnya dari tangan seluruh anggota masyarakat kepada para pemilik modal perorangan. Agar mendapat dukungan publik privatisasi dibungkus dengan rapi seakan privatisasi merupakan upaya menyelematkan dan menyehatkan dari korupsi. Malah yang sering terjadi perusahaan besarlah yang melakukan upaya korupsi. Perusahaan milik negara memang bagaikan buah simalakama, jika dilanjutkan tanpa sistem pengawasan yang baik akan menjadi sumber korupsi dan pemerasan. Namun peran Perusahaan milik negara tetap menjadi sentral dalam pembangunan negara.

Dalam akhir bukunya almarhum Mansour Fakih berupaya untuk mengajak kaum miskin untuk bersatu melawan kebijakan neoliberal. Perlawanan tersebut bisa dalam bentuk pengawalan terhadap kebijakan-kebijakan yang merugikan kaum miskin atau bersatu dalam organisasi-organisasi non pemerintah yang mempromosikan keadalian sosial.

Walaupun buku ini pertama kali terbit pada tahun 2003 namun beliau dapat melihat prospek kebijakan neoliberal di Indonesia. Permasalahan seperti privatisasi dan juga tekanan-tekanan dari institusi-institusi international yang mempromosikan kebijakan neoliberal masih terjadi hingga kini.

Buku ini sangat kaya akan dasar-dasar pemahaman neoliberalisme dari lahirnya, kebijakannya, dan juga saran untuk melawannya. Tidak hanya itu beliau juga mencoba untuk memberikan contoh kasus Revolusi Hijau, dimana sebagain masyarakat masih memandangnya sebagai pencapaian tanpa melihat dampak dalam jangka panjang.

*Sumber: hedsidea.com – 30 November 2016.

*Rehal buku: Bebas dari Neoliberalisme/ Mansour Fakih/ INSISTPress/ 2010.