Uluk Salam Penulis: Kolaborasi saat Pandemi

MENJALANI kegiatan di rumah saja, selama masa pandemi virus korona, terasa sangat menjemukan. Perasaan terkurung, dan ini sangat mungkin memicu stres. Ingin memanfaatkan waktu, menikmati masa-masa di rumah saja—terus terang itu bukan hal mudah, lalu muncul keinginan bagaimana menghabiskan waktu selama berbulan-bulan bahkan sudah satu tahun lebih, menginjak tahun kedua di dalam rumah tanpa kehilangan kewarasannya.

Tiba-tiba saya menemukan artikel di The Japan Times (3 Mei 2020) berjudul “What Japan’s Hikikomori Can Teach Us about Self-Isolation” di mana Kementerian Kesehatan Jepang mendefinisikan hikikomori sebagai orang/individu yang mengisolasi diri di rumah selama lebih dari enam bulan berturut-turut, tidak keluar rumah untuk sekolah atau bekerja, dan hanya berinteraksi dengan orang-orang dalam keluarga mereka. Berdasarkan sensus Pemerintah Jepang, saat ini ada sekitar 1 juta orang yang masuk dalam kategori hikikomori di seluruh Negeri Sakura itu.

Secara harfiah, hikikomori berarti “menarik diri”, “mengurung diri”; istilah Jepang untuk fenomena di kalangan remaja atau dewasa muda yang menarik diri dan mengurung diri dari kehidupan sosial. Istilah hikikomori merujuk pada fenomena sosial secara umum sekaligus sebutan untuk orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok sosial tersebut.

Barangkali tidak banyak di antara kita yang pernah mendengar istilah hikikomori. Wajar saja, istilah ini lebih dikenal di Jepang. Walau bukan suatu diagnosis medis secara resmi, hikikomori secara umum digunakan masyarakat Jepang untuk menggambarkan seseorang yang mengisolasi dirinya sendiri.

Secara ringkas, hikikomori adalah seseorang yang sangat menghindari kontak sosial (misalnya melalui pendidikan. pekerjaan, atau persahabatan). Mereka akan mengisolasi dan menarik diri dari lingkungan ke dalam tempat tinggalnya selama setidaknya enam bulan sebagai akibat dari beberapa faktor.

Istilah ini sudah mulai populer sejak 1990-an. Namun, pada 2003, Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang membuat kriteria hikikomori, yakni: seseorang dengan gaya hidup yang berpusat di rumah, tidak memiliki ketertarikan ataupun kemauan untuk pergi ke sekolah, bekerja atau berinteraksi dengan banyak orang, gejala sudah berlangsung setidaknya selama enam bulan berturut-turut, tidak memilikipenyakit mental seperti skizofrenia, retardasi mental, ataupun masalah kejiwaan lainnya, tidak memiliki relasi dengan orang lain, misalnya pertemanan.

Namun, istilah hikikomori saat ini mengalami sedikit pergeseran makna akibat pandemi Covid-19. Banyak orang di Jepang yang menjuluki diri mereka sendiri hikikomori karena merasa telah mengurung diri di rumah dalam waktu lama. Padahal, seorang hikikomori yang sesungguhnya bisa menghabiskan waktu paling tidak beberapa tahun atau malah dekade berdiam diri di dalam rumah.

Membaca hikikomori, saya terdorong untuk mencari teman yang bisa saya ajak kolaborasi mengisi waktu—mengerjakan sesuatu dari rumah masing-masing. Lalu ketemu gagasan untuk menerbitkan buku dengan disisipi mini album musik yang liriknya senapas dengan isi buku.

Yang pertama saya lakukan adalah membongkar catatan yang masih tersimpan dalam direktori, lalu memetakan siapa yang akan saya ajak berkolaborasi menulis. Ketemulah Dinar Meidiana, perempuan yang rentang usianya jauh dari usia saya; bersama Dinar, saya berharap agar pilihan kata dan penyusunan kalimat dalam naskah ini lebih terbarukan untuk menutupi kejadulan pikiran dan kosakata yang saya punya.

Berikutnya saya menghubungi Doni, vokalis Kiai Kanjeng dan Widi, personel Letto. Singkat kata, dua orang itu mendukung: dari membuat lagu, mengaransemen musiknya, sampai menjadi nyanyian yang semoga saja bisa menginspirasi Anda semua.

Di dunia maya saya ketemu dengan seniman muda Ayu Laksmita Anindyanari. Saya mengajaknya merancang grafis sampul buku sekaligus sampul mini album. Jadilah sampul yang sangat elegan menerjemahkan Manusia Bersandiwara. Saya merasa belum lengkap, masih kurang teman yang menulis prolog dan epilog untuk buku kecil ini. Kawan yang sudah cukup lama dan akrab, Puthut EA, Kepala Suku Mojok dan Rony K. Pratama, penulis buku Genealogi Hoaks di Indonesia sangat berperan memperkuat apa mau-maunya buku ini. Kerja akhir buku ini berada di tangan Achmad Choirudin, editor INSISTPress, sebagai penyunting dan penyelaras akhir hingga sampai di tangan Anda semua.

Saya haturkan tabik dan terima kasih kepada kawan-kawan yang saya sebut di atas, yang telah meluangkan waktu berkolaborasi di hari-hari sangat sulit yang harus dilalui ini. Semoga hasil kerja kawan-kawan yang setulus hati ini fibrasinya bisa kawin dengan sanubari para pembaca dan pendengar sekalian.

Tak lupa juga terimakasih kepada istri, anak, mantu, dan cucucucu saya yang sehari-hari selalu mendukung dengan berbagai cara untuk kerja kolaborasi ini.

Semoga buku kecil dan mini album Manusia Bersandiwara berfaedah untuk Anda semua.

Toto Rahardjo

Nitiprayan, Agustus 2021

 

*
Buku Manusia Bersandiwara dapat dipesan melalui WA INSISTPress 085102594244. Dapatkan pula buku dan Album Mini Manusia Bersandiwara (Diska Lepas USB) melalui Bram, 082232137255.

**
Foto: Omen, Model: Cristy Kirana Kusumastuti