Description
Jurnal WACANA No.21/2005 | Pilkadal
Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkadal) dilaksanakan berdasarkan keputusan politik UU No. 32/2004 mengenai Pemerintahan Daerah yang memuat ketentuan tentang Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung. UU ini mulai dijalankan pada bulan Juni 2005 ditandai dengan Pilkada langsung pertama di kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Padahal UU No. 32 tersebut tidak memberikan alternatif pada calon-calon independen di luar Parpol. Ini mengakibatkan para calon-calon kepala daerah yang maju, akhirnya merupakan para wakil ‘oligarki partai-partai utama’ seperti Golkar dan PDIP atau yang mendapat dukungan dari kedua partai tersebut. Alhasil Pilkadal secara keseluruhan di dominasi oleh calon-calon bupati/walikota/gubernur dari dua partai utama ini, yang keduanya mempunyai akses luas ke birokrasi dan sumber-sumber logistik.
Gagasan utama dari Pilkadal memang sungguh ideal. Di tingkat lokal, rakyat dapat menentukan sendiri pimpinan daerah mereka. Dengan cara ini maka cara pengangkatan oleh orang pusat seperti zaman sebelumnya akan berakhir. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa alat-alat politik partisipatoris rakyat’ ditingkat lokal sama sekali tidak siap dalam pertarungan elektoral Pilkadal. Akibatnya, Pilkadal diambil alih dan dikuasai oleh alat-alat dan struktur politik milik partai atau kekuatan politik mainstream yang memiliki dukungan birokrasi dan logistik yang tak terbatas dan memang khusus disiapkan untuk Pilkadal.
Tidak mengherankan jika kemudian, Pilkadal semakin menjauh dari sosok idealnya. Pilkadal tidak lain adalah turunan dari ‘oligarki pusat’ dalam baju ‘oligarki lokal.’ Siapakah para pemain utama dalam oligarki pusat? Tentu saja adalah para pengusaha, mantan birokrat, mantan militer atau petinggi parpol. Mereka inilah yang kemudian menjalankan alat-alat politik dan menghidupi struktur politik dalam pertarungan Pilkadal. Tidak jarang mereka yang telah lama bermain di pusat kemudian memenangkan pertarungan Pilkadal dan mematahkan kerja keras alat-alat politik partisipatoris rakyat yang dibangun dengan susah payah.
Dalam WACANA edisi ini, kita akan melihat sejauh mana proses demokratisasi di tingkat lokal melalui pemilihan kepala daerah langsung (Pilkadal) direspon oleh politik mainstream dan gerakan sosial-politik. Bagi kekuatan politik mainstream jelas, pertarungan Pilkadal berorientasi kepada ‘peneguhan kekuasaan’ di tingkat lokal, bukan untuk kepentingan sosial warga lokal itu sendiri. Namun, bagaimana gerakan sosial-politik kerakyatan merespon Pilkadal dalam strategi perjuangannya?
(WILSON, Pengantar: Demokrasi dan Social Progress, h.3-11)
Daftar Isi:
- Pengantar | Demokrasi dan Social Progress | Wilson | h.3-11
- Kajian | Demokrasi Partisapatoris: Contoh Kasus Pemiliahan Umum di Kuba, | Coen Husain Pontoh | h.13-31
- Kajian | Pilkada dan Kaum Pergerakan: Belajar Bersatu, Belajar untuk Dewasa | Dita Indah Sari | h.33-48
- Kajian | Pilkadal: Menguntungkan Oligarki Kekuasaaan atau Konsolidasi Gerakan Rakyat, | Simon | h.49-62
- Kajian | Menakar Perlawanan Politik Elektroral: Pengalaman Gerakan Rakyat di Bengkulu | Hendra Budiman | h.63-77
- Kasus | Pilkada: Otonomi Elitis Vs Otonomi Rakyat | Siti Aminah | h.79-104
- Rehal | Mengganti Globalisasi Ekonomi Menjadi Lokalisasi Demokrasi [Tinjauan buku Mengganti Globalisasi Ekonomi menjadi Lokalisasi Demokrasi karya Colin Hines] | Redaksi | h.105-115
>> edisi lainnya, lihat daftar jurnal WACANA