Description
Gregorius Soeharsojo Goenito adalah seorang seniman yang tinggal di Surabaya, Jawa Timur. Setelah belajar kesenian di Perguruan Taman Siswa, Madiun, ia melukis, bermusik, bermain drama dan teater bareng Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada paruh pertama 1960-an. Imbas dari peristiwa 1965 membawanya “tugas belajar” dari penjara ke penjara hingga akhirnya ia diasingkan di Pulau Buru oleh rezim Orde Baru.
Sepuluh tahun ia menjalani pengasingan sebagai tahpol di Buru (1969–1979). Di bawah komando Badan Pelaksana Resettlement dan Rehabilitasi Pulau Buru (Bapreru), Gregorius bersama para tahpol lain harus menghadapi siksaan, mengalami kerja paksa, juga memendam rasa rindu kepada keluarga. Sulit. Tetapi, Gregorius mencoba sabar dan percaya bahwa manusia punya ketegaran masing-masing untuk tetap bertahan.
Di tengah situasi sulit itulah bahan memoar tulisan dan sketsa ini lahir. Gregorius mengekspresikan memori, histori, dan perenungannya sebagai tahpol dalam tulisan dan sketsa ini tidak hanya dengan marah dan meratap, tetapi juga dengan menertawainya. “Aku tak ingin mengenang Pulau Buru sebagai kenangan pahit, nyatanya setiap jalan menuju cita-cita tak selalu indah,” tuturnya. ***
Buku ini diterbitkan INSISTPress atas kerjasama dengan Asia Justice and Rights (AJAR) dan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Jawa Timur. ***
“Dalam sejarah Indonesia, Pulau Buru tahun 1969–1979 bukan hanya sebuah lokasi terjadinya kerja paksa, hinaan, siksaan, dan kematian yang dipaksakan oleh anak-anak bangsa terhadap sesama anak bangsa. Ia juga tempat jiwa-jiwa sekuat baja digembleng untuk mampu bertahan hidup di tengah kerja paksa, hinaan, siksaan dan kematian yang dipaksakan itu. Goresan-goresan sketsa Pak Greg dalam buku ini, berikut catatan-catatan yang mengiringinya, ialah saksinya. Mencermati serpihan kisah-kisah menarik dan personal yang terungkap dalam buku ini, kita tidak hanya diajak untuk “berziarah” ke pulau penuh kenangan duka itu. Kita juga dipanggil untuk bersama-sama bertanya: sejauh kita belum berani meratapi dan merefleksikan masa lalu kelam kita, layakkah kita melangkah dan menatap masa depan dengan mata berbinar penuh harapan?” Baskara T. Wardaya S.J., sejarawan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
“Pelukis Goenito melengkapi catatan yang telah ditorehkan Pram, Hersri, dan Gumelar Demokrasno tentang apa yang terjadi di Pulau Buru. Jika Anda membaca catatan dan menyimak sketsa di dalam lembaran-lembaran buku ini, lalu Anda merasa dunia seperti bergetar dan gelap, kuatkan hati dan pikiran. Buru dan semua cerita di dalamnya itu nyata. Pertanyaannya kini, bukan lagi soal apakah semua itu nyata dan fakta, tapi apakah dengan semua kita mau menundukkan kepala, mengakui ada yang salah dari masa lalu kita, dan menghaturkan maaf…” Hairus Salim, budayawan, pegiat YLKiS, Yogyakarta.
“Jenderal Besar Soeharto meniru setepat-tepatnya metode penjinakkan Orde Kolonial terhadap “pembangkang” atau kaum yang dijadikan tumbal dari sebuah persekongkolan mahajahat. Seperti Digul yang diciptakan untuk “pembangkang ‘26”, Buru dibikin untuk menyapu sisa-sisa Genosida ‘65 bagi orang Komunis atau terkoneksi dengan kultur progresif komunis atau pendukung garis keras Sukarno. Sebagaimana pemusnahan perlahan-lahan ala kolonial Digul itu, Buru sukses melemahkan sisa kiri, tapi tak bisa merampas kehidupan dari pemanggulnya. Mereka melawan pembinasaan dengan cara-cara paling dasar: menulis, bercerita, bikin drama, dan menggambar. Pram memilih menulis untuk mempertahankan kewarasan, sementara yang lain dengan cara menyanyi, bikin tonil, dan menggambar. Kombinasi tiga hal itulah yang dipilih Gregorius Soeharsojo Goenito menjadi papilon dalam kamp kerja paksa “binaan” Jenderal Besar. Dengan nyanyian ia tawar kesepian yang merampas kewarasan; dengan tonil ia tapis keterpisahan yang panjang dari kolektivisme; dan dengan gambar/sketsa ia gubah kesakitan menjadi kesaksian atas sebuah orde yang berdiri di atas pemusnahan massal. Ini buku penting yang memberitahu binatangisme manusia atas manusia yang berlangsung dalam kereta sejarah Indonesia modern.” Muhidin M. Dahlan, penulis dan peneliti Warung Arsip dan Radio Buku.
“Sebagai sebuah sumber sejarah, memoar semacam ini sama kedudukannya dengan arsip-arsip ‘resmi’ yang selama ini menjadi sumber utama penulisan sejarah.” Grace Leksana, sejarawan, Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI)
>> lihat edisi tahun 2017 #cetakan kedua
>> opini, komentar, ulas buku, bacaan terkait:
- Bekas Tahanan Politik Bukukan Sketsa Pulau Buru | Tempo.com – Senin, 20 April 2015.
- Angkringan Buku – Gregorius Soeharsojo Goenito | radiobuku.com – Mei 2015.
- Greg Sembunyi-sembunyi Buat Sketsa dengan Alat Seadanya | info buku: insistpress.com – 30 Juli 2016.
- Baskara T. Wardaya: Sketsa Pak Greg, Saksi Pulau Buru 1969–1979 | info buku: insistpress.com – 19 Agustus 2016.
- Hairus Salim: Pulau Buru dan Semua Cerita di Dalamnya Itu Nyata | info buku: insistpress.com – 28 Agustus 2016.
- Muhidin M. Dahlan: Mereka melawan pembinasaan dengan cara-cara paling dasar: menulis, bercerita, bikin drama, dan menggambar | info buku: insistpress.com – 1 September 2016.
- Muhidin M. Dahlan: inilah buku kesaksian atas pemusnahan massal dalam kereta sejarah Indonesia modern | info buku: insistpress.com – 2 September 2016.
- Tiada Jalan Bertabur Bunga (book trailer) | Youtube – September 2016.
- Peluncuran Buku Sketsa, Diskusi Publik & Pameran karya Gregorius Soeharsojo Goenito. 15 Oktober 2016. Jakarta: Beranda KeKini | insistpress.com – Penyelengara: IKOHI Jawa Timur, INSISTPress, IKA (Indonesia untuk Kemanusiaan), & KKPK (Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran).
- Diskusi Buku dan Pameran Sketsa “TIADA JALAN BERTABUR BUNGA”. 21 Oktober 2016. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma | insistpress.com – Penyelengara: Pusdema (Pusat Kajian Demokrasi dan HAM), INSISTPress, dan AIFIS (American Institute for Indonesian Studies).
- Pameran Lukisan & Diskusi Buku “TIADA JALAN BERTABUR BUNGA”. 10-11 November 2016. Surabaya: Universitas Ailangga | insistpress.com – Penyelengara: Komite Kawan Om Greg.
- Para “Pahlawan Repelita” Orde Harto: Memoar dan Sketsa Gregorius Soeharsojo Goenito | Sumber: Harian JAWA POS – Minggu, 23 Oktober 2016.
- Grace Laksana: memoar semacam ini sama kedudukannya dengan arsip-arsip ‘resmi’ sumber sejarah | insistpress.com – 12 November 2016.
- Review: Tiada Jalan Bertabur Bunga | ivanakurniawati.blogspot.co.id – 3 Desember 2016.
- Memaknai Hidup Orang Buangan | Sumber: GATRA Edisi 15/XXIII/15 Februari 2017.
- Sketsa Kehidupan Tapol di Pulau Buru | jurnalruang.com – 21 September 2017.