REZIM PANGAN DAN MASALAH AGRARIA

PENGANTAR EDISI INDONESIA

Oleh: Laksmi A. Savitri, Koordinator Penerbitan Seri Kajian Petani dan Perubahan Agraria

Buku-buku yang diterbitkan dalam Seri Kajian Petani dan Perubahan Agraria tak mungkin terhindar dari kesan ‘buku serius’. Kebanyakan dari buku-buku ini memerlukan kesediaan pembaca untuk mendialogkan tiap buku dengan bacaan-bacaan lain yang memosisikan diri dalam pembahasan, bahkan debat, atas topik yang ditulis. Demikian pula buku Rezim Pangan dan Masalah Agraria yang ada di tangan Anda sekarang. Buku ini, sebagai buku terjemahan dari naskah asli yang diterbitkan pada 2013, bisa dikatakan telah diselamatkan oleh kelambatan kedatangannya ke dalam khazanah bacaan berbahasa Indonesia. Andai saja buku ini diterjemahkan pada tahun yang sama atau sebelum 2016, pembaca mungkin belum memiliki akses pada perdebatan bernas yang cukup keras, antara Henry Bernstein, Philip Mcmichael, dan Harriet Friedmann tentang Analisis Rezim Pangan yang diterbitkan oleh The Journal of Peasant Studies Vol. 43, No. 3.

Karena perdebatan tentang analisis rezim pangan tak mungkin dilepaskan dari keberadaan buku kecil di tangan Anda ini, sebagai pengantar membaca, kami mencoba mengajak untuk membayangkan serbasekilas saja cerita tentang perdebatan antara Bernstein, Friedmann, dan McMichael tentang analisis rezim pangan. Ajakan ini sekedar upaya untuk membuat kita bersama dapat mendudukkan argumentasi-argumentasi di dalam buku ini secara lebih jernih. Jernih dalam mengartikan perbedaan-perbedaan arah analisis yang mencuat dari buku ini, maupun jernih dalam memaknai posisi politik tulisan ini ke dalam aksi. Kemudian, dalam rangka mengantarkan buku ini, refleksi atas konteks Indonesia atau konteks negara-negara jajahan pada umumnya akan sedikit disinggung, karena sangat mungkin pembaca kehilangan sangkutan diri pada teks akibat nasib Dunia Belahan Selatan kerapkali tertelan ceritanya oleh dominasi narasi tentang kuasa negara-negara digdaya dalam rezim pangan internasional.

Beberapa keberatan tentang arah, atau katakanlah, unsur pembentuk dari analisis rezim pangan datang pertama kali dari Henry Bernstein, seorang ahli agraria Marxis ternama dan penulis buku pertama yang diterbitkan dalam serial ini. Bernstein menyampaikan kritik cukup mendasar atas penggunaan rezim pangan sebagai metode analisis untuk memahami perubahan agraria global. Dengan sangat cermat, Bernstein (2016) mengurai delapan elemen dalam konsep rezim pangan dan memeriksanya satu per satu untuk memperlihatkan kegunaan yang canggih dari analisis rezim pangan, sekaligus menemukan kekosongan analisis pada satu-dua atau keseluruhan elemen tersebut. Misalnya, ia menggarisbawahi ketiadaaan kejelasan atas bentuk gerakan sosial seperti apa yang sesungguhnya memicu ketegangan dan kontradiksi sehingga memungkinkan terjadinya transisi dari  rezim pangan satu ke yang lainnya. Selain itu, Bernstein juga menjadi pendebat keras dari konseptualisasi rezim pangan ketiga yang disebut McMichael sebaga Rezim Pangan Korporat. Menurut pandangannya, McMichael terjebak pada kategorisasi ‘peasant’ secara  politik, alih-alih mengupasnya secara analitis. Hal yang sama juga terjadi pada kategorisasi korporat yang terlalu struktural sehingga lebih berbau politis. Akibat dari ‘politisasi’ ini, Bernstein memandang bahwa analisis rezim pangan menghasilkan posisi biner semata-mata, bukan memperlihatkan kontradiksi internal dari proses akumulasi kapital pertanian. Langkah ini menutup kemungkinan untuk menghasilkan pertanyaan lebih jauh tentang dinamika kelas petani dan implikasinya pada transisi menuju rezim pangan ketiga. Bernstein mempertanyakan argumentasi McMichael yang memosisikan gerakan petani untuk kedaulatan pangan sebagai penanding dari konsolidari korporasi pangan dan pertanian, karena gerakan petani tersebut tidak diletakkan dalam analisis yang jernih tentang pendefinisian siapa yang disebut ‘peasant’ dan dalam dinamika kelas seperti apa ia muncul.

Tentu saja kritik dan argumentasi yang disampaikan Bernstein tidak cuma itu, juga tidak sesederhana dan sesingkat itu. Banyak sekali dasar-dasar argumentasi disampaikan dengan sangat rinci dan sistematis yang justru sangat membantu pemahaman kita tentang daya kerja analisis rezim pangan. Oleh sebab itu, tidak kalah menarik sanggahan yang disampaikan oleh Philip McMichael atas kritik Berstein. Apalagi, dua perdebatan tersebut juga dibahas oleh Harriet Friedmann dengan sangat konstruktif.

McMichael mempertahankan argumentasinya tentang penyebutan rezim pangan ketiga sebagai rezim pangan korporat yang ditantang oleh politik kedaulatan pangan. Bagi McMichael poin tersebut menjadi poin kunci karena ia bisa menunjukkan bahwa ketika kerusakan ekologis akibat rezim pangan mulai dirasakan dampaknya dalam satu kurun historis, politik kedaulatan pangan muncul secara epistemik dan politik sebagai penanding dari sistem pangan yang berbasis relasi nilai atau relasi kapital dalam wujud agroindustri. Kapital agroindustri memiliki pengaruh besar dalam kemunculan institusi-institusi perdagangan global yang menundukkan kedaulatan nasional dan menyebabkan produksi makanan tak lagi diketahui asal muasalnya (Friedmann 2016: 664–665). Dengan kata lain, ia menandingkan cara ekonomi global menyubordinasi relasi produksi dan konsumsi pangan pada relasi nilai (harga terkendali, ekstraksi surplus terjamin) dengan cara-cara ekonomi lokal menghasilkan makanan yang lebih adil terhadap alam dan manusia. Baik McMichael maupun Friedmann memasukkan pertimbangan dan ulasan tentang bagaimana masalah lingkungan dan ekologi menjadi elemen penting dalam proses perubahan rezim pangan, meskipun mereka berpisah arah analisis ketika sampai pada peyimpulan apakah sudah terbentuk rezim pangan korporat-lingkungan sebagai rezim pangan ketiga. McMichael lebih condong meng-iya-kan adanya rezim pangan ketiga dengan menyebutnya sebagai rezim pangan korporat, sementara bagi Friedmann hal itu masih berupa pertanyaan terbuka.

Harriet Friedmann yang menulis bersama McMichael tentang rezim pangan sejak 1989, dan sebagai kawan intelektual yang menghargai Henry Bernstein sebagai ahli terkemuka dalam analisis masalah agraria dan perubahan agraria, menerima posisi sebagai pengulas debat dua kawan intelektual dengan sangat tidak enak, demikian pengakuan Friedmann. Hanya karena dilandasi oleh kepercayaan atas perkawanan yang kuat dan intelektualitas yang matang, maka perdebatan ini bisa dikembangkan oleh Friedmann menjadi percakapan meluas tentang transisi. Pisah-pandang antara Bernstein dan McMichael soal kapital, kelas, dan ‘peasant’ bisa berakhir pada kesimpulan bahwa kalau rezim pangan ketiga sudah selesai dijelaskan, maka tidak lagi ia berguna dalam mendedahkan masalah agraria. Untunglah, Friedmann berhasil menarik keluar analisis rezim pangan dari potensi stagnasi tersebut.  Dengan bernas ia mengajukan pertanyaan dalam hal apa rezim pangan masih berguna sebagai metode analisis?

Friedmann menunjukkan bahwa tekanan McMichael pada politik kedaulatan pangan perlu dipisahkan dari analisisrezim pangan, karena tidak membuka kesempatan untuk menelaah lebih jauh secara diakronis dan sinkronis berbagai elemen rezim pangan lainnya. Ia menganjurkan untuk memasukkan kembali metode McMichael, yaitu: ‘perbandingan yang diinkorporasikan’ (incorporated comparison), untuk melihat lebih luas dan rinci elemen-elemen yang menyusun rezim pangan kontemporer dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Salah satu yang penting adalah bagaimana pengondisian saling dukung antara kapital dan kekuasaan terhadap korporasi pangan-pertanian (soal input, perdagangan, pengapalan, pengolahan, restoran, dan supermarket), terhadap praktik-praktik regulasi (standar, sertifikasi, buruh, masalah lingkungan), yang muncul bersamaan dengan hadirnya komoditas unggulan dan posisi penting/tidaknya pertanian secara nasional (Friedmann 2016: 674). Analisis atas elemen-elemen ini seakan dihablurkan oleh McMichael menjadi dua proposisi saja, yaitu: food from nowhere vs. food from somewhere. McMichael telah menanggalkan metodenya sendiri yang telah berkontribusi penting dalam analisis rezim pangan, itulah hal yang disayangkan oleh Friedmann.

Ketika mengaitkan analisis rezim pangan dengan masalah agraria, Friedman juga menunjukkan ada hal yang luput dari analisis Bernstein, yaitu masalah lingkungan dan ekologi. Bagi Friedmann, aspek tersebut bisa menjadi cara baru untuk melihat jalur linear perubahan menyejarah dari bertani (farming) menjadi usaha budidaya pertanian (agriculture) yang didasari oleh logika bagaimana kapital menginkorporasi peasant, seperti diajukan Bernstein. Jika dipandang secara sirkular, rezim pangan dapat menarik pelajaran berguna dengan menilik-ulang endapan sejarah yang tertinggal dari satu rezim ke rezim lainnya. Dalam hal perubahan historis dari bertani menjadi sektor usaha budidaya pertanian, Friedmann memandang analisis sejarah secara sirkular memungkinkan melihat adanya upaya-upaya untuk kembali ke bertani (farming) yang sekarang bermunculan di sana-sini sebagai sebuah gerak-balik, tapi dengan corak yang berbeda. Dengan demikian, arah linier menuju kapital industri pangan dan pertanian bukan jawaban akhir. Pada titik itulah pertanyaan transisi menjadi penting untuk memanfaatkan analisis rezim pangan dalam mencari jawabannya.

Buku ini berada di tengah perdebatan teoretis yang sangat padat, namun pada bagian Pengantar ini terpaksa dipersingkat sedemikian rupa, juga terpaksa harus mereduksi banyak pengertian yang laiknya terbuka untuk eksplorasi lebih lanjut oleh pembaca. Eksplorasi lanjutan juga sangat dianjurkan untuk mempertimbangkan sejauh mana analisisrezim pangan ini bisa direfleksikan pada konteks Indonesia atau jejak sejarah kolonialisme di negara-negara bekas jajahan. Seringkali, kemampuan untuk bisa menemukan diri kita dalam sebuah narasi besar tentang dunia lebih memudahkan pemahaman atas hal-hal yang abstrak. Untuk membuka pintu ke arah penemuan itu, lagi-lagi secara serbasekilas, pengantar ini mencoba mengilustrasikan bagaimana kondisi pangan dan pertanian Indonesia bisa diceritakan dalam analisis rezim pangan internasional.

Sebagaimana disampaikan oleh Friedmann (1987), Friedmann dan McMichael (1989), serta McMichael (2009), analisis rezim pangan dapat membantu untuk memahami peran pangan dan pertanian dalam proses akumulasi kapital yang merentang dalam waktu dan ragam tempat secara global. Rezim pangan adalah sistem relasi, aturan, dan praktik yang membentuk struktur pembagian kerja internasional dan perdagangan pertanian dalam kapitalisme dunia sejak 1870-an, yaitu: ketika pertama kali dalam sejarah sistem pangan, sebuah produksi pangan pokok dilakukan secara masif dan ditransportasikan dalam jarak yang jauh dari petani-petani pemukim baru di Amerika Utara ke Inggris. Karena inilah, revolusi industri bisa memasuki fase kejayaan kedua dan menjadikan negara-negara Eropa Barat dan Amerika sangat hegemonik dalam percaturan kapital industri dan perdagangan di dunia. Seterusnya adalah proses panjang memasuki rezim pangan kedua yang dikendalikan oleh hegemoni Amerika Serikat yang residunya masih cukup pekat hingga hari ini. Bagaimana nasib negeri-negeri nusantara pada masa-masa itu? Di manakah ia tersangkut di jejaring relasi produksi dan konsumsi pangan global?

Beberapa kata kunci dalam cerita tentang nusantara sampai dengan Indonesia bisa kita temukan kaitannya dalam analisis rezim pangan internasional, misalnya: a) pada Rezim Pangan Pertama (1870–1914): Agrarisch Wet 1870, pertanian monokultur dan perkebunan, produksi komoditas ekspor untuk industri, kuli kontrak dan buruh migran; b) pada Rezim Pangan Kedua (1945–1973): pelimpahan pangan (food dumping) oleh Amerika Serikat, revolusi hijau, diferensiasi kelas dan petani gurem, politik swasembada pangan; c) pada Rezim Pangan terkini: WTO, impor pangan, penggusuran dan perampasan tanah, ekspansi perkebunan sawit, dan food estate. Untuk menempatkan kata kunci-kata kunci ini dalam proses analisis rezim pangan, pembedahan Henry Bernstein (2016: 614) atas elemen-elemen yang menentukan, mendorong, membentuk, mendatangkan konsekuensi, menimbulkan ketegangan, krisis dan transisi dari sebuah rezim pangan ke rezim pangan lainnya, sangat membantu. Delapan elemen tersebut adalah: 1) sistem internasional negara; 2) pembagian kerja internasional dan pola perdagangan; 3) aturan dan legitimasi ideologis (Malthusian); 4) hubungan antara pertanian dan industri, termasuk perubahan teknis dan lingkungan pertanian; 5) bentuk dominan kapital dan akumulasinya; 6) kekuatan sosial ekologis; 7) ketegangan dan kontradiksi; dan 8) transisi antar-rezim pangan.

Tak cukup ruang di sini tentunya untuk mengoperasikan kedelapan elemen rezim pangan dalam rangka sekedar mengantarkan membaca diri dalam memahami dunia. Tapi setidaknya pada rezim pangan pertama, para pembelajar kajian agraria mungkin sudah cukup dekat dengan penjelasan-penjelasan bagaimana tanah Sumatera Timur diabdikan untuk menghasilkan tembakau, lalu getah karet, yang diekspor ke mancanegara, dengan mempekerjakan buruh migran dari Jawa dan Tiongkok, melalui pemberian hak erfpacht selama 75 tahun kepada pekebun dan perusahaan perkebunan yang dimiliki oleh pemodal-pemodal luar negeri. Nasib Sumatera Timur ini mirip dengan wilayah-wilayah perkebunan karet di Amerika Selatan. Keduanya memasok getah karet yang diolah menjadi ban atau bahan lainnya yang memperlancar arus transportasi komoditas dan sirkulasi logistik di Eropa. Sumbangan seorang antropolog, Eric Wolf (1992), sesungguhnya dengan sangat baik menunjukkan bagaimana sistem perkebunan adalah kunci dari akumulasi kapital global dalam rezim pangan internasional, seperti dijelaskan pada bukunya yang berjudul Europe and People Without History. Dari pemetaan Wolf yang sengaja melakukan decentering terhadap Eropa, kita bisa mendapatkan narasi lengkap bagaimana Birma dan Thailand yang dikuasai oleh Inggris mulai memproduksi beras untuk diekspor ke India. Ternyata, pasokan pangan dari negeri tetangga tersebut telah memberi makan buruh industri kapas dan tekstil India dengan murah, sehingga memampukan India untuk terus-menerus membayar pungutan dan pajak yang menggemukkan kapital finansial di Inggris. Dalam cerita terakhir itu, spesialisasi regional untuk pergerakan komoditas—dalam istilah Wolf (1992)—mencerminkan sedikit banyak pembentukan beberapa elemen rezim pangan internasional, seperti: pembagian kerja internasional, hubungan antara pertanian dan industri, serta bentuk dominan kapital dan akumulasinya pada penghujung abad XIX dan awal abad XX yang terjadi di Asia dan Eropa.

Mungkin tak terbayangkan sebelumnya bahwa kuli Sumatera Timur senasib dengan flagelados (buruh karet migran) di Brasil, sama-sama sebagai tenaga kerja pelancar sirkulasi kapital industri pangan dan pertanian bagi Dunia Belahan Utara sana. Sementara itu, petani Birma, buruh India, dan para bankir di London berada dalam satu putaran sirkuit laba yang sama, hanya saja dalam posisi ekstraktif yang timpang. Imajinasi demikian ibarat tak henti ditarik ke sana-kemari oleh analisis rezim pangan, sangat mungkin bergerak dinamis sambil terus-menerus tersistematisasi. Oleh sebab itu, seperti disinggung di awal, buku ini tak mungkin berdiri sendiri. Ia perlu berada dalam sebuah percakapan meluas dengan beragam buah pikir lainnya yang dengan tekun mengeksplorasi bagaimana pangan dan pertanian menjadi bagian penting, kalau bukan pusat, dari proses akumulasi kapital yang terjadi secara mendunia. Setiap titik desa, setiap napas keluarga petani di tanah-tanah yang meradang, bisa jadi terjalin dalam rangkaian kecil dan besar rantai nilai yang menggemukkan dan melaparkan penduduk di sudut-sudut metropolis bumi. Seperti dikatakan Eric Wolf dua dekade lalu, kapitalisme adalah tentang kesalingterhubungan dan kekuasaan yang timpang; rezim pangan persis berguna untuk memahami tentang itu.

Pustaka

bernstein, h. 2016. “Agrarian Political Economy and Modern World Capitalism: The Contributions of Food Regime Analysis.” The Journal of Peasant Studies 43 (3): 611–647. DOI: 10.1080/03066150.2015.1101456.

friedmann, h. 2016. “Commentary: Food Regime Analysis and Agrarian Questions: Widening the Conversation.” The Journal of Peasant Studies 43 (3): 671–692. DOI:10.1080/03066150.2016.1146254.

___. 1987. “The Family Farm and The International Food Regimes.” Dalam Peasants and Peasantsocieties, SecondEdition, disunting oleh t. shanin, 247–258. Oxford (Inggris): Basil Blackwell.

friedmann, h. dan p. mcmichael. 1989. “Agriculture and The State System: The Rise and Decline of National Agricultures,1870 to the Present.” Sociologia Ruralis 29 (2): 93–117.

mcmichael, p. 2009. “A Food Regime Genealogy.” The Journal of Peasant Studies 36 (1): 139–169.

___. 2016. “Commentary: Food Regime for Thought.” The Journal of Peasant Studies 43 (3): 648–670. DOI: 10.1080/03066150.2016.1143816.

wolf, e. 1992. Europe and People Without History. Berkeley (Amerika Serikat) dan London (Inggris): University of California Press.