Description
Buku ini menawarkan telaah komprehensif atas tata kelola ruang dan lingkungan di Bali masa kini yang dilanda krisis. Di masa desentralisasi, delapan kabupaten dan satu kota di Bali mendapatkan kewenangan lebih besar untuk mendongkrak pendapatan daerah, terutama dari industri pariwisata, sembari mengabaikan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan, budaya, dan masalah kelembagaan di luar wilayahnya. Masalah-masalah ini coba diatasi melalui penataan-ulang ruang. Namun, upaya tersebut utamanya ditujukan untuk menggelar ruang bagi investasi pariwisata serta perluasan pasar. Melalui lensa antropologi hukum dan geografi kritis, buku ini menunjukkan bagaimana reorganisasi ruang di Bali tidak lepas dari dinamika kekuasaan yang berkelindan dengan tatanan hukum dan kelembagaan yang kian kompleks. Tatanan kompleks ini, pada kenyataannya, membuka arena lebih banyak bagi berbagai kepentingan sempit untuk bermanuver, tetapi pada saat bersamaan juga menyediakan ragam bentuk legitimasi bagi kekuatan-kekuatan lokal untuk melawan dominasi. Buku ini menggambarkan berbagai mekanisme yang digunakan para pelaku sosial dalam menggalang dan menggerakkan tatanan hukum-kelembagan untuk memajukan kepentingan mereka.