Description
“Seorang bangsawan Sunda mendanai pembuatan film cerita pertama yang diproduksi di Hindia Belanda─yang kelak disebut film Indonesia. Seorang Belanda membuat film yang dilarang, karena dianggap menyinggung perasaan orang Sunda. Kisah-kisah tadi terekam dalam buku yang mencakup berbagai topik ini, antara lain teater, kesenian rakyat, sinematografi, arsitektur, dan spiritualisme. Sudut pandang penulisnya menunjukkan sebuah komitmen terhadap pengungkapan kebenaran dan pelestarian budaya.” Linda Christanty ─ sastrawan dan wartawan
“Seni tradisi sebagai bagian dari produk kebudayaan terlalu penting untuk dilupakan begitu saja. Terlebih perjalanannya melintasi panggung sejarah di negeri ini tetiba saja harus melompat ke sebuah zaman yang ditandai oleh produk teknologi informasi yang mengubah kebiasaan orang menikmati hiburan. Buku yang ditulis Fandy Hutari, sarjana sejarah alumnus Unpad ini, merawat ingatan kita tentang bagaimana perjalanan─bahkan lompatan─seni tradisi dan hiburan dari masa lalu ke masa sekarang. Buku ini memberikan kita tentang gambaran bagaimana peradaban manusia takkan pernah bisa lepas dari tanggapan manusia atas tantangan zamannya.” Bonnie Triyana ─ pendiri dan pemimpin majalah Historia
“Di tangan Fandy Hutari, fakta sejarah yang tidak jarang terasa beku__kering atau penuh monotonitas, dihidupkan kembali menjadi narasi yang segar. “Basah”, karena penuh data, dan renyah untuk dikunyah hingga tuntas. Tiap tulisan dalam buku ini tidak saja berupa gundukan informasi, namun juga cercah pemetaan persoalan dan analisis yang inspiratif, sehingga berpeluang membangun sikap bagi pembacanya.” Kuss Indarto ─ pemimpin redaksi majalah Mata Jendela, kurator seni rupa
“Melalui buku ini, penulis menyampaikan dengan menarik wajah modernitas yang membentuk koloni Hindia Belanda. Pendekatan kebudayaan terhadap sejarah, memungkinkan pembaca buku ini menelusuri kembali proses globalisasi imperial yang menjadikan budaya yang sebelumnya spesifik Eropa menjadi fenomena global, termasuk persinggungannya dengan beragam budaya lain di koloni. Serangkaian perjumpaan dari latar budaya yang beragam itulah yang melahirkan beragam kisah sejarah yang menarik, dan sekaligus menjadi inspirasi bagi para pembaca masa kini memahami kenyataan kontemporer Indonesia. Ini adalah buku yang layak dibaca, acuan bagi mahasiswa ilmu sosial dan humaniora sebagai cara memperkaya pandangan mereka.” Andi Achdian — sejarawan
“Buku Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal karya Fandy Hutari ini mengingatkan saya pada ujaran sejarawan Belanda, Johan Huizinga, dalam karya masyhurnya Homo Ludens, bahwa: ‘all play means something’. Melalui sekumpulan tulisannya, Fandy pun menyadarkan kita bahwa segala bentuk hiburan dan tradisi adalah sesuatu teramat berarti dalam membentuk perjalanan sejarah dan budaya Indonesia.” Fadly Rahman ─ penulis dan sejarawan
“Buku ini seperti mengajak kita untuk “merenovasi” visi sejarah maupun visi kebudayaan manusia Indonesia masa kini dalam melihat masa lalu kita yang kemajemukannya kian jauh tergerus oleh lintasan berbagai sejarah (kolonialisme, modernisme, nasionalisme, globalisasi), dan rapuh untuk terkubur kian jauh dalam kegelapan wilayah masa lalu, cahayanya kian kita curi untuk menguasai “indonesia masa depan.” Afrizal Malna, penyair & pegiat seni
“Seni pertunjukan, sastra, dan kebudayaan tradisional di Nusantara seringkali dilupakan dan menghilang begitu saja. Bahkan, karena dogma-dogma dan ideologi pemerintah, banyak di antaranya dianggap haram dan tidak layak dikenang. Namun, Fandy Hutari bukan saja mengenang, melainkan juga menyusuri kembali jejak-jejak historis ini di dalam artikel-artikelnya.” Soe Tjen Marching — akademisi, komponis, penulis, dan pendiri majalah Bhinneka
“Adalah pilihan yang tidak mudah menjadi pemburu yang bergerak dalam samar puing-puing sejarah; terbatasnya data, minimnya dokumentasi. Mungkin ini adalah tantangan yang menggoda bagi kawan Fandy: menguak yang tertimbun dan tersamar menjadi terang; seperti halnya kalimat-kalimat yang mengulas tentang perjuangan panjang para pejuang budaya di dalam buku ini.” F.W. Pei — pemimpin portal www.indonesiaseni.com
“Potret pergulatan seni Indonesia modern pada masa kebangkitannya dan resistensi seni tradisi terhadap gilasan pengaruh budaya asing pada masa kini. Buku yang sangat perlu dibaca.” Supriatna—ketua sanggar Motekar Jatinangor, budayawan Sunda
Daftar Isi:
- Pengantar: Fiksi politik vs Fiksi budaya ~ Afrizal Malna — xiii
- BAGIAN I PANGGUNG SANDIWARA — 1
- Sepenggal Kisah Miss Riboet Orion dan Dardanella — 3
- Fasisme di Panggung Sandiwara — 10
- Sandiwara Humor dan Propaganda Jepang — 21
- Riwayat Sandiwara Penggemar Maya — 30
- Wayang Orang Bharata Bertahan di Rimba Jakarta — 46
- BAGIAN II BUDAYA LOKAL — 59
- Rumah Betawi, Oase di Kampung Sendiri — 61
- Gotong Domba, Seni Tradisi Kiara Beres — 69
- Tari Cikeruhan — 75
- Menyoal Aliran Kepercayaan — 80
- BAGIAN III LAYAR BIOSKOP — 87
- Ketika “Bangkong” Menyingkirkan Krugers — 89
- Masuknya Film-Bitjara di Indonesia — 97
- Menonton Bioskop di Bandung Tempo Doeloe — 105
- Mengenang Kesuksesan Java Industrial Film — 112
- BAGIAN IV OBITUARI MEREKA — 121
- Wiranatakusumah V dan Film Loetoeng Kasaroeng — 123
- Pak Raden dan Buku Dongeng — 130
- Nurnaningsih yang Tersisih — 137
- Kamadjaja, Perjuangan di Atas Panggung — 152
- Jejak Tuan Tan di Rawajati — 159
- BAGIAN V SEKELILING KITA — 171
- Kebaya, Sarung, dan Politik Pencitraan — 173
- Panjat Pinang dan Kolonialisme — 178
- Gondrong, Simbolisasi Sepanjang Zaman — 182
- Kota dan Punggung Kuda — 191
- Balada Pengamen Ondel-Ondel — 208
- Balada Topeng Monyet — 215
- Maaf, Dilarang Bercelana Pendek di Sini — 220
- Riwayat Penerbitan Artikel — 233
- Daftar Referensi — 235
- Tentang Penulis — 245
>> lihat edisi tahun 2011 #cetakan pertama
>> opini, komentar, ulas buku, bacaan terkait:
- Fiksi politik vs Fiksi budaya (Dongeng menguasai “Indonesia masa depan”): Gergaji Akar Majemuk | insistpress.com – 31 Januari 2018.
- Bedah Buku Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal | www.citrust.id – Minggu, 4 Maret 2018.