Description
Jurnal WACANA No.22/2005 | Menuju Transportasi yang Manusiawi
Dimensi sosial dan politis dalam transportasi acapkali diabaikan begitu saja. Kegemaran melakukan studi banding –dalam hal transportasi– menunjukkan bahwa pemerintah kita sungguh tidak memahami dan menghargai sejarah Indonesia. Tidak memahami bahwa moda transportasi massal di Indonesia dibangun di atas dasar eksploitasi kekayaan alam. Lihatlah bagaimana kejamnya pembangunan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan, rel-rel kereta api dibangun menghubungkan perkebunan-perkebunan dengan kota-kota industri atau pelabuhan, hingga jalur-jalur pelayaran yang menghubungkan berbagai pulau di Indonesia. Hingga kini, pertimbangan dimensi sosial dan politis dunia transportasi selalu dikalahkan oleh manjurnya pertimbangan teknis dan keuntungan ekonomis sesaat. Selain menjadi pendukung kepentingan yang tidak jauh dari kepentingan kolonial, transportasi Indonesia semakin kehilangan sisi kemanusiaannya.
Kajian mengenai transportasi yang dipaparkan dalam WACANA edisi kali ini bukan bersifat teknis, tapi lebih bersifat makro, sehingga pembaca dapat melihat lebih jernih, bahwa masalah transportasi bukan hanya menyangkut masalah teknis (bagaimana membangun jembatan, rel kereta, jalan tol, mengapa mengutamakan kendaraan bermotor dan bukan kendaraan tidak bermotor, dll.) serta ekonomis (berapa biaya yang dibutuhkan untuk membangun itu semua); tapi juga menyangkut masalah ideologi, politik, sosial, dan budaya.
Mempertanyakan mengapa jalan tol yang dibangun dan bukan jalan rel, atau bandara udara yang diutamakan dan bukan pelabuhan, atau juga mengapa pembangunan infrastruktur jalan terkonsentrasi di Jawa dan bukan di Indonesia Timur, dan sebagainya; semuanya itu adalah masalah ideologi dan politik yang ujung-ujungnya berdampak pada perubahan konfigurasi sosial dan budaya masyarakat.
Ada banyak tema yang diangkat dalam tulisan ini, dari persoalan perlunya perencanaan makro transportasi, keberadaan angkutan tidak bermotor yang terpinggirkan, hak-hak konsumen yang terabaikan, besarnya polusi udara yang ditimbulkan oleh transportasi bermotor, keberadaan kereta api di Indonesia yang makin terpinggirkan, proses pengambilan keputusan yang tidak demokratis, sampai dengan tawaran mengenai pembangunan BRT (Bus Rapit Transit) sebagai solusi angkutan massal yang lebih aman, nyaman, dan murah. Sebuah resensi yang membahas nasib buruh angkutan tidak bermotor (angkong) di Calcuta (India) yang mengalami nasib tragis, sama tragisnya dengan pengemudi becak di Jakarta, juga dimuat dalam edisi kali ini dengan harapan dapat memberikan perspektif baru bagi pembaca dalam melihat masalah transportasi.
(DARMANINGTYAS, Pengantar: Dimensi Politik dalam Transportasi, h.3-15)
Daftar Isi:
- Pengantar | Dimensi Politik dalam Transportasi | Darmaningtyas | h.3-15
- Kajian | Menata Sistem Transpostasi: Mendekatkan Demokrasi dengan Rayat | Purwo Santoso | h.17-44
- Kajian | Bus Rapid Transit | Lloyd Wright | h.45-68
- Kajian | Non-Motorized Transportation: Sejarah dan Fakta yang Terlupakan | Darmaningtyas | h.69-92
- Kajian | Moda Kereta Api Pantas Dilirik Kembali | Djoko Setijowarno | h.93-114
- Kasus | Fakta Buruknya Transportasi Publik di Indonesia | Tulus Abadi | h.115-124
- Rehal | Mengubur Angkong dari Jalanan | Redaksi | h.125-139
>> edisi lainnya, lihat daftar jurnal WACANA