Description
Di satu desa di pesisir utara Flores Timur, peladang tempatan mengenal satu perilaku tertentu curah hujan yang mereka namai ‘ura timu’. Secara harfiah berarti ‘hujan timur’. Dalam bahasa tempatan, ‘timu’ juga sebutan untuk musim kemarau. Sehingga, ungkapan ‘ura timu’ juga bermakna ‘hujan [yang terjadi pada] musim kemarau’, amsal yang bagus untuk menggambarkan kekacauan iklim yang kian sering terjadi di gugus pulau-pulau kecil Nusa Tenggara Timur (NTT).
Buku ini menyajikan rangkuman cerita para peladang tradisional di NTT—khususnya di Pulau Lembata, Alor, dan jazirah timur Pulau Flores—tentang ‘kekacauan’ iklim mikro. Buku ini juga berisi cerita-cerita tentang upaya mereka melakukan pencegahan (mitigasi) dan penyesuaian (adaptasi) cara-cara berladang demi memperkecil risiko bencana akibat kekacauan iklim tersebut. Buku ini memberi sumbangan penting bagi pengembangan kajian dan ilmu iklim berbasis praktik-praktik dan pengetahuan tradisional tempatan (etnoklimatologi).